1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialAsia

Kelangkaan Air Hantui Wilayah Pertambangan Batu Bara India

29 Juli 2021

Desa-desa di kawasan pertambangan batu bara di India alami kelangkaan air hingga tingkat ekstrem. Perusahaan tambang berkewajiban menyediakan pasokan air, namun tak kunjung menyelesaikan masalah.

https://p.dw.com/p/3y82a
Gambar ilustrasi kelangkaan air yang menimpa kawasan batu bara di India
Gambar ilustrasi kelangkaan airFoto: Himanshu Sharma/NurPhoto/picture alliance

Ketika masih kanak-kanak, Fagu Besra kerap berenang di anak sungai dan minum "air manis dan dingin" dari sumur di desanya Pundi, di timur India. Namun kini, tidak ada lagi air yang tersisa. Hal ini dialami banyak bagian di distrik kaya batu bara Ramgarh di negara bagian Jharkhand. Pertambangan bahan bakar yang berpolusi telah menyedot banyak air hingga kering dari sumber mata air yang dulunya berlimpah.

"Air, dulu tidak pernah mengering di aliran sungai dan kanal, bahkan di musim panas. Sumur kami dulu selalu memiliki air, meskipun hanya tiga meter dalamnya,” tutur Besra, yang kini berusia 50 tahun kepada kantor berita Reuters.

"Kami sekarang mendapatkan air dari sumur-sumur yang dalamnya dua ratusan meter,“ tambah aktivis politik itu, yang sudah bertahun lamanya kampanye melawan operasi pertambangan.

Himanshu Thakkar, dari organisasi nonprofit, Jaringan Bendungan, Sungai dan Manusia Asia Selatan mengatakan, saat batu bara di tambang digali, rongga yang terbentuk akan terisi dengan air tanah, yang kemudian harus dipompa keluar. "Hal ini telah mengakibatkan penipisan jumlah air tanah di semua area pertambangan, di samping masalah pencemaran" katanya.

Hilangnya vegetasi karena pembuatan jalan ke area pertambangan juga menambah rumitnya persoalan. Seperti di desa-desa lain yang tak terhitung di pusat  penambangan batu bara India, penduduk Pundi harus menggali tanah lebih dalam di dekat sungai, atau membeli air dari perusahaan untuk mengatasi kelangkaan air.

India adalah produsen batu bara terbesar kedua di dunia setelah Cina, namun tak merasa cukup untuk memenuhi kebutuhan energi industri domestiknya. Itulah sebabnya, pemerintah terus meningkatkan produksi batu bara. Perusahaan batu bara terbesar di negeri itu, Coal India Limited (CIL) berencana memproduksi satu miliar ton batu bara hingga tahun 2024, naik dari sekitar 800 juta ton. Rencana itu termasuk meningkatkan pasokan air bagi masyarakat lokal sebagai bagian dari upaya untuk melindungi masyarakat dan lingkungan.

Tetapi, para pengampanye lingkungan dan peneliti mengatakan, upaya itu gagal dalam memitigasi dampak pertambangan pada sumber daya alam. Air tanah adalah sunber kehidupan air India. Situasi akan terus semakin buruk. "Kita perlu melindungi daerah resapan alami, tapi kita bahkan belum melakukannya," kata aktivis Thakkar.

Krisis air nasional

Di tahun 2018, lembaga kebijakan NITI Aayog memperingatkan hampir 600 juta orang menghadapi kelangkaan air yang tinggi hingga tahap ekstrem, dengan menggambarkan krisis air di India sebagai sejarah terburuk. Menurut data yang diajukan di parlemen tahun lalu, pada sumur-sumur yang dipantau, 60 persennya telah terjadi penurunan tingkat air tanah. Kota-kota di India bergantung pada layanan tangki air di bulan-bulan musim panas, tetapi mereka yang tinggal di pusat pertambangan memiliki perjuangan yang lebih besar.

Ilyas Ansari yang berusia 35 tahun, tinggal di Desa Chepa Khurd sekitar 50 km dari Pundi. Ia juga berkampanye menentang pertambangan batu bara di wilayahnya selama bertahun-tahun. Rumahnya yang tertutup jelaga dan penurunan drastis hasil panennya menjadi gambaran atas kerusakan yang ditimbulkan industri batu bara, demikian ia bercerita. "Kami menanam gandum dan tebu. Sekarang kami bahkan tidak punya air minum," kata Ansari. Tahun ini, penduduk Desa Chepa, Khurd menggali dua sumur sedalam  275 meter dengan uang hasi hasil patungan warga. “Kami mendapatkan pasokan lewat tangki air tapi itu bukan air minum dan kami hanya bisa menggunakannya untuk mencuci pakaian dan mandi,” kata Ansari.

Di desa Payali Bhatali bagian barat distrik Maharashtra Chandrapur, di kawasan tengah India, air minum dulunya berasal dari sungai di kawasan tetangga Erai, satu-satunya sumber air lokal.  Namun sekitar dua dekade lalu sungai itu mengering.

Pemerintah menggali sumur di tepi sungai dan menyiapkan pompa untuk mengirimkannya ke rumah-rumah warga  melalui pipa. 

Meskipun sistem ini menjamin pasokan air bersih, sistem ini jauh lebih tidak dapat diandalkan dibandingkan sumur-sumur sebelumnya. Pemadaman listrik yang tidak terjadwal mengganggu pemompaan dan membatasi suplai.

Pandemi mempersulit situasi

Sementara itu, kehancuran ekonomi akibat pandemi COVID-19 telah membuat fasilitas pompa desa tersebut sulit untuk tetap beroperasi. “Kami  mendapat tagihan listrik sekitar 400.000 Rupee ( sekitar 78 juta rupiah) dan tagihan listrik ini sepenuhnya untuk operasi instalasi pengolahan air,” kata Subhash Tukaram Gaurkar, anggota senior dewan desa Payali Bhatali.

Warga desa itu telah meminta agar perusahaan pertambangan batu bara Western Coalfields Limited untuk membayar jumlah tagihan yang tertunggak, tambahnya. "Orang-orang kehilangan pekerjaan karena COVID-19, dan tidak punya uang untuk makan. Bagaimana kita akan membayar tagihan ini?" tanya Gaurkar.

Western Coalfields, satu dari delapan anak perusahaan CIL, tidak dapat dihubungi untuk menjawab permohonan wawancara melalui sambungan telepon yang diajukan kantor berita Reuters. Tapi seorang pejabat CIL memberi tahu Reuters perusahaan punya tanggung jawab sosial yang mewajibkan perusahaan untuk menyediakan air.

Pihak perusahaan membangun infrastruktur serta mencakup biaya operasi dan pemeliharaannya untuk jangka waktu tetap, namun untuk membayar tagihan, tergantung ketersediaan dana, tambah pejabat itu.

Memompa air dari sungai adalah metode yang kini digunakan di wilayah pertambangan batu bara, meskipun sistemnya masih memiliki kekurangan.

Di Ramgarh, Jharkhand, para pejabat berlomba memasok air keran ke 150.000 rumah tangga di pedesaan. Target yang ditetapkan oleh pemerintah federal tersebut harus bisa tercapai hingga tahun 2024. Rajesh Ranjan, seorang insinyur departemen air minum dan sanitasi Jharkhand mengatakan targetnya sekitar 54.000 rumah hingga akhir Juli ini.

Tapi Suresh Chopane, presiden organisasi nirlaba Green Planet Society, yang bermarkas di Chandrapur memperingatkan sungai-sungai itu sudah  sekarat. "Mereka memberi makan industri dan kota. Ini bukan sistem yang berkelanjutan," katanya.

Sementara itu B. Sairam, direktur eksekutif pembangunan masyarakat CIL, mengatakan perusahaannya menyediakan air di kawasan pertambangan untuk digunakan oleh masyarakat, termasuk untuk keperluan minum dan irigasi. Sekitar 220 juta meter kubik air dari lubang tambang setiap tahunnya mengalir ke komunitas lokal.

Menunggu penambangan berhenti beroperasi

Pakar pertambangan mengatakan masalah kelangkaan air di daerah yang kaya akan batu bara, biasanya terselesaikan setelah aktivitas penambangan berakhir. "Air mulai menyimpan lagi cadangan  di (bekas) area pertambangan, air tanah di sekitarnya terisi ulang lagi dan area pertambangan penuh lagi dengan air," kata Jayant Bhattacharya, profesor teknik pertambangan di Institut Teknologi Kharagpur India. Ranjan, pejabat urusan air Jharkhand mengatakan air dari dua lubang pertambangan CIL sedang dipulihkan lagi untuk menyediakan air minum.

Di Pundi, penduduk desa mengatakan sebuah tangki besar sedang didirikan untuk memasok air dari pertambangan tertutup milik Central Coalfields Limited, anak perusahaan CIL lainnya. “Tapi pemandangan air dari masa kecil saya tidak akan kembali. Air yang mengalir dari kanal-kanal itu dulu bersih sekali, Itu tidak mungkin kembali lagi," punkgas Besra.

ap/as (reuters)