1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kematian Anak-anak Sudutkan Junta Militer Myanmar

2 April 2021

Tatmadaw dihujani kecaman menyusul kematian lebih dari 40 anak-anak dan “penghilangan paksa” terhadap ratusan demonstran di Mynamar. Dewan Keamanan PBB mengecam, tapi urung menjatuhkan sanksi, akibat veto Cina.

https://p.dw.com/p/3rWcQ
"Myanmar berdarah" - sebuah poster di Yangon, 2 April 2021.
"Myanmar berdarah" - sebuah poster di Yangon, 2 April 2021.Foto: REUTERS

Aparat keamanan Myanmar sejauh ini dikabarkan sudah menewaskan 543 warga sipil, termasuk 44 anak-anak, sejak gelombang demonstrasi menentang kudeta 1 Februari lalu. Angka itu dirilis Lembaga Bantuan Tahanan Politik (AAP) Myanmar, Jumat (02/04). 

Selain menggunakan gas air mata dan senjata tumpul,polisi dan militer semakin sering menggunakan peluru tajam untuk melukai atau membunuh demonstran, meski dalam situasi tenang. 

Tercatat, sejauh ini sebanyak 2.700 demonstran dan pegiat demokrasi berada dalam tahanan kepolisian.

Tindak kekerasan di Myanmar bereskalasi dalam beberapa pekan terakhir, kabar organisasi Save the Children. Angka kematian anak-anak terutama meningkat dua kali lipat dalam 12 hari terakhir.

"Kami terkejut bahwa anak-anak masih menjadi target serangan fatal, meski imbauan berulang kali untuk melindungi anak-anak,” tulis lembaga tersebut dalam sebuah keterangan pers yang dilansir AFP.

Sebuah pusat perbelanjaan di Yangon hangus dilalap api pada Kamis (1/2) pagi.
Sebuah pusat perbelanjaan di Yangon hangus dilalap api pada Kamis (1/2) pagi.Foto: AFP/Getty Images

"Yang paling mengerikan adalah adanya laporan bahwa beberapa anak-anak dibunuh ketika sedang berada di rumah, di mana mereka seharusnya aman dari kejahatan.”

Aparat dilaporkan melakukan penggerebekan malam terhadap kediaman warga yang diduga mendukung demonstrasi atau gerakan pembangkangan sipil, yang belakangan menjamur di kota-kota besar Myanmar.

Organisasi HAM, Human Rights Watch, menulis junta militer menggunakan taktik "penghilangan paksa” dan menolak mengabarkan lokasi mereka atau menolak akses bagi pengacara.

"Militer semakin sering menggunakan penangkapan acak atau penghilanan paksayang dilakukan untuk menebar rasa takut terhadap para demonstran,” kata Direktur Asia, HRW, Brad Adams.

"Dunia internasional harus menuntut pembebasan terhadap semua warga yang dihilangkan dan menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap pemimpin-pemimpin junta.”

Reaksi internasional atas kekerasan militer Myanmar

Kamis (01/04), Dewan Keamanan PBB menyepakati resolusi yang "mengekspresikan kekhawatiran mendalam terhadap situasi yang memburuk cepat,” dan mengecam tindak kekerasan terhadap demonstrasi damai.

Demonstran antikudeta menggelar protes damai di Mandalay, Kamis (1/4)
Demonstran antikudeta menggelar protes damai di Mandalay, Kamis (1/4). Aksi demonstrasi dan pembangkangan sipil meruak di kota-kota besar di Myanmar, ketika pemberontakan gerilayawan etnis minoritas kembali menyalak di perbatasan.Foto: SH/Penta Press/imago images

Rancangan awal resolusi DK PBB dikabarkan menggunakan bahasa yang lebih tajam, dan berisikan ancaman untuk "mengambil langkah lanjutan,” berupa sanksi. Namun, berkat lobi Cina, kata "langkah lanjutan” atau "pembunuhan” dihapus dari naskah final resolusi, lapor Asia Nikkei mengutip seorang diplomat yang terlibat.

Inggris memilih menjatuhkan sendiri sanksi ekonomi untuk melucuti unit bisnis junta militer. London juga menyumbangkan USD 700,000 (Rp 10 miliar) untuk membiayai program PBB yang mendokumentasikan kejahatan kemanusiaan di Myanmar.

Namun demikian, sanksi dan kecaman sejauh ini gagal mengekang militer Myanmar dalam menghadapi protes massal di seluruh negeri. Menurut media-media lokal, demonstrasi kembali membanjiri jalan-jalan kota di Myanmar pada Jumat (02/04).

Junta berusaha meredam sirkulasi informasi dan komunikasi dengan memutus sambungan internet. Terhitung sejak Kamis (01/04), warga Myanmar tidak lagi bisa mengakses internet "hingga batas waktu yang belum ditentukan,” tulis Kementerian Transportasi dan Komunikasi di Naypyidaw. 

Pemerintah juga membredel semua media, kecuali milik militer. Sebagian besar mengalihkan konten publikasi ke media sosial seperti Facebook. Raksasa medsos asal Kalifornia itu sudah berjanji akan memblokir akses militer terhadap platformnya, demi menjamin terbukanya ruang komunikasi yang bebas.

rzn/ha (afp,ap)