1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kembali Pada Romantisme Politik Masa Lampau

25 Juni 2018

Bagaimana Anda memilih pemimpin atau anggota DPR? Apakah lebih karena kagum pada sosoknya, sudah lama 'nge-fans' atau ada kriteria lainnya? Simak opini Rahadian Rundjan.

https://p.dw.com/p/2yqFH
Indonesien Suhartos Weg zur Macht (Bildergalerie)
Foto: picture-alliance/dpa

Seandainya saja pemerintahan Orde Baru tidak melakukan kebijakan babat alas terhadap nama dan jejak politik Sukarno, mungkin sepanjang tahun 1970-an jargon "enak zamanku toh?” yang bersanding dengan gambar-gambar Sukarno akan muncul di mana-mana.

Pasalnya, dalam periode itu semakin terlihat bahwa ekses-ekses demokrasi kian tunduk kepada kuasa tentara, bukan sebaliknya. Puncaknya pada 1974 ketika Malapetaka Limabelas Januari (Malari) terjadi, saat Suharto, seperti ditulis aktivis mahasiswa sezaman, Arief Budiman, menggunakan cara-cara otoriter untuk melumpuhkan kelompok cendekiawan atau mahasiswa dan ‘bercerai' dengan angan-angan masyarakat madaninya.

Kata ‘seandainya' dan ‘mungkin' tidaklah koheren jika membicarakan sejarah, walau hal itu sah-sah saja selama masih bertendensi imajinatif. Skenario tersebut terbilang potensial mengingat Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura) tidak menyinggung pelengseran Sukarno secara eksplisit, namun lebih merupakan petisi reformasi politik-ekonomi. Peran politik Sukarno (atau setidaknya kharismanya) di kalangan elite maupun massa belum tercoreng parah, romantisme terhadap Sukarno masih membekas.

Rahadian Rundjan,Esais, kolumnis, penulis dan peneliti sejarah@RahadianRundjan
Penulis: Rahadian Rundjan Foto: Rahadian Rundjan

Atau jika ingin keluar dari skenario imajinatif, lihat saja dinamika politik saat ini. Foto-foto Sukarno, juga mereka-mereka yang merupakan mantan pemimpin Indonesia seperti Suharto, Gus Dur, B.J. Habibie, bahkan tokoh-tokoh historis lainnya dengan warisan sejarahnya yang kental semisal KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asyari sejak dua tahun belakangan muncul dalam berbagai alat peraga kampanye politik, khususnya dalam menyambut kontestasi Pilkada.

Apakah ini hanyalah sebuah tren musiman yang muncul pada saat politik nasional mencapai momentum puncaknya, atau dapat dibaca lebih jauh sebagai bentuk kemandekan asa pembaharuan politik orang-orang Indonesia?

Larangan yang Tepat Sasaran

Sesungguhnya mengidolakan, bahkan secara politis, figur-figur sejarah adalah hak semua orang tanpa terkecuali. Masa lalu adalah teritori bersama yang tak bisa dipatok-patok untuk diklaim  pribadi. Namun, tentu juga ada konteks-konteks sezaman yang disetujui bersama (atau mayoritas) sebagai pembatas, yang bisa menguntungkan atau mengganjal. Misalnya saja, memajang foto D.N. Aidit di masa sekarang sama saja dengan mengundang masalah, namun di masa depan ketika misteri Peristiwa 1965 terungkap dan reputasi politik PKI tidak lagi dihina-dina, hal itu mungkin menjadi sah-sah saja.

Harus diakui, bahwa nilai ketokohan tokoh-tokoh di atas, khususnya Sukarno dan Suharto sebagai pusat dari spektrum politik nasional di masanya masing-masing, terlalu berkesan untuk dihapus dari ingatan. Sukarno masih menjadi semacam figur ideologis dan ikon bagi PDI-P, sebagaimana Suharto dan senyum khasnya yang masih laku memikat publik, seperti yang dahulu kerap ditampilkan Golkar dan kini diadopsi oleh Partai Berkarya pimpinan sang anak, Tommy Suharto.

Karena itulah, Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 4 Tahun 2017 tentang Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota mengenai peraturan pemasangan foto-foto tokoh-tokoh kebangsaan menjadi menarik untuk dicermati. PKPU tersebut menyebutkan bahwa tokoh-tokoh bangsa yang tidak ada kaitan formal dengan kepengurusan partai-partai peserta Pilkada dilarang untuk ditampilkan dalam alat-alat peraga kampanye Pilkada. Lantas, peraturan ini memicu respon dari banyak khalayak politik.

Yang menolak berargumen bahwa seharusnya sah-sah saja foto-foto tokoh-tokoh sejarah tersebut dipasang karena hajat mereka sebagai figur kebangsaan yang inspiratif, dan larangan tersebut dianggap akan menjadi semacam hambatan psikologis bagi para kader politik saat mereka melakukan kampanye. Sedangkan yang mendukung menyatakan bahwa larangan tersebut tepat karena sudah waktunya partai-partai fokus dalam menawarkan program-program kerja bermutu alih-alih menggoda para pemilih dengan romantisme masa lampau semata.

Bahkan, dipasangnya wajah-wajah tokoh-tokoh kebangsaan tersebut bisa menjadi problematik, setidaknya dalam contoh kasus Suharto di masa-masa reformasi ini. Reformasi adalah sebuah kesempatan untuk memperbaiki negara ini dari segala warisan politik otoriter Orde Baru yang busuk, dan mengambil pelajaran berharga untuk tidak mengulanginya. Sehingga, beragam upaya glorifikasi terhadap Suharto dan penempatannya sebagai sebuah ikon politik yang ideal dan diwacanakan dalam konteks-konteks politik kontemporer rasanya mengingkari semangat reformasi itu sendiri.

Saya pribadi sebagai seseorang yang berkecimpung dalam dunia penulisan sejarah cukup mendukung PKPU tersebut. Pertama, memang sudah waktunya bagi partai-partai politik Indonesia berani menunjukkan substansi belang politik mereka masing-masing tanpa perlu bersembunyi di balik tampilan nama besar tokoh-tokoh masa lampau. Bahkan kelihatannya, memasang foto-foto Sukarno atau Suharto berdampingan dengan calon-calon pemimpin masa kini dalam alat-alat kampanye justru terlihat sebagai parade rasa tidak percaya diri partai-partai politik terhadap kemampuan mereka sendiri.

Sejarah memperlihatkan bahwa Sukarnoisme dan Suhartoisme adalah kemasan politik yang terbilang gagal membawa kemakmuran yang menyeluruh dan berkesinambungan. Keduanya lengser oleh tekanan massa yang terlampau muak dengan otoriterianisme, dan reputasinya dicap buruk oleh pemerintahan penerus langsungnya. Jika partai-partai politik berharap menggaet pemilih muda yang cerdas dengan mengaitkan secara mentah calon-calonnya dengan tokoh yang memiliki warisan politik semacam itu, maka hal tersebut cukup naif.

Kedua, sudah saatnya bagi kelompok elite Indonesia, terlebih pada saat atmosfer politik tengah panas-panasnya, untuk tidak lagi mempolitisasi sejarah di ruang-ruang publik demi keuntungan kelompok dan pengerahan massa. Mengorelasikan satu tokoh sejarah dengan satu kekuatan politik secara gamblang, dapat terlihat sebagai upaya monopoli masa lalu. Apalagi jika hal tersebut memicu perpecahan dan menyulut politik identitas berlebihan di Indonesia. Dengan kata lain, pelarangan berdasarkan PKPU tersebut sudah cukup tepat sasaran dan adil, terlebih partai-partai boleh memasang foto-foto tokoh kebangsaan hanya dalam rapat-rapat internal non-kampanye.

Maju Dengan Masa Lalu

Orang-orang Indonesia masih gagap kala menempatkan sejarah, apalagi saat mencoba mengaitkannya dengan hal-ihwal politik, baik itu di kalangan elite atau massanya. Banyak anggapan bahwa gaya politik Sukarno yang konfrontatif yang paling cocok diterapkan di Indonesia sekarang. Ada pula yang mendambakan ‘ketertiban dan bersih lingkungan' ala Suharto, sisanya mencoba memberi warna spiritual politik dengan mengutip-ngutip junjungannya tanpa kritik. Ini keliru. Yang paling baik adalah mengolaborasikan pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh tersebut dengan argumentasi dan kepribadian yang berdasarkan nilai-nilai aktual.

Kepercayaan diri partai-partai politik untuk menawarkan visi dan misinya, dan mempertaruhkannya dalam panggung politik, tanpa terbebani oleh nama-nama besar sejarah, adalah gambaran ideal dari bagaimana seharusnya politik modern bekerja. Corak individual dari kader-kader partai harus lebih ditonjolkan meski mereka berselimutkan prinsip-prinsip politik historis partainya, karena dengan itulah kita bisa lebih tepat memilih orang-orang yang akan menjadi wakil politik kita dalam skema demokrasi ini.

Sejarah adalah entitas yang telah lewat. Ia berfungsi seperti spion dalam mobil yang tengah melaju ke depan; sesekali kita memang harus menengok ke belakang untuk memahami hal-hal apa saja yang telah kita lewati agar perjalanan menjadi nyaman. Jangan biarkan romantisme sejarah membuai dan mendikte gerak maju politik terlalu dalam, apalagi menjadi batu loncatan, dan mengglorifikasinya tanpa substansi hanya demi meraup suara dan legitimasi kekuasaan.

Penulis: Rahadian Rundjan (ap/vlz)

Esais, kolumnis, penulis dan peneliti sejarah

@RahadianRundjan

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis