1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kemitraan Cina di Wilayah Teluk Persia

14 Juli 2010

Wilayah Teluk Persia adalah satu-satunya sumber terbesar minyak bumi dunia dan merupakan pemasok minyak terpenting Cina.

https://p.dw.com/p/OJLe
Seorang pekerja asing di Abu DhabiFoto: dpa

Peningkatan kebutuhan energi membuat hubungan Beijing dengan negara-negara Teluk menjadi semakin penting, tetapi juga penuh dengan kesulitan. Demikian pendapat yang terdengar dalam sebuah konferensi yang digelar di Woodrow Wilson Centre di Wahington DC.

Cina memang masih belum merupakan mitra dagang terpenting dari Gulf Cooperation Council, GCC atau Dewan Kerjasama untuk Negara Arab di Teluk, tetapi negeri Asia ini mencatat pertumbuhan ekonomi yang tercepat, ujar Emile Hokayem dari biro Timur Tengah Lembaga Internasional Pengkajian Strategis di Bahrain. "Pada tahun 2030 impor minyak ke Cina dari Timur Tengah akan mencapai faktor 5 dan impor gas meningkat ke faktor 4. Pada saat itu China akan melaju melewati Jepang dan India. Menurut perusahaan konsultan internasional McKinsey, pada tahun 2020 volume perdagangan Cina-GCC akan mencapai 350 miliar dollar, dan ini adalah jumlah yang rendah."

Sementara itu, Cina mendefinisikan wilayah Teluk sebagai area ketetanggaan yang luas. Dan pengertian ini mendongkrak posisi Timur Tengah dalam kebijakan politik luar negeri Cina, ujar Wu Bingbing, guru besar pengkajian ilmu Arab di Universitas Beijing. Walaupun wilayah Teluk memiliki arti strategis yang penting bagi Cina, pemerintah di Beijing melaksanakan kebijakan politik pragmatis dan memainkan perannya dengan luwes, kritik Wu.

Kontradiksi hubungan Cina-Iran

Meski hubungan ekonomi yang erat antara Cina dan Iran, bulan lalu di Dewan Keamanan PBB Beijing memberikan suaranya untuk memperketat sanksi terhadap Iran. Wu Bingbing: "Masih belum diketahui, sejauh mana Cina dapat mendukung Iran. Kontradiksi semacam ini dapat dilihat sebagai kontradiksi dalam kebijakan politik Cina di Teluk Persia."

Masih ada masalah lain yang berkaitan dengan sumber utama energi bagi Cina di wilayah Teluk, yaitu Arab Saudi. Iran dan Arab Saudi bersaing memperebutkan kepemimpinan di dunia Arab. Program nuklir Iran, Libanon, Irak, semua isu-isu ini mengobarkan persaingan antara kedua negara itu.

Cina hendak memelihara hubungan baik dengan kedua negara, tetapi itu terbukti sulit. Raja Abdullah naik tahta kerajaan Arab Saudi pada tahun 2005, dan Mahmoud Ahmadinejad terpilih sebagai presiden Iran pada tahun yang sama. Meskipun demikian, Presiden China Hu Jintao telah mengunjungi Arab Saudi dua kali sejak tahun 2005, namun belum pernah berkunjung ke Iran. Kembali Wu Bingbing: "Walaupun Cina tidak bermaksud menyandarkan diri pada Arab Saudi dengan mengorbankan Iran, kesan semacam itu mengemuka di wilayah Teluk dan memainkan peran buruk dalam hubungan Cina-Iran."

Hubungan berdasarkan ketergantungan

Berbeda dari hubungan yang berdasarkan ekonomi antara Cina-Teluk, Amerika Serikat menjalin hubungan positif dengan kebanyakan negara di wilayah itu. Namun kebanyakan dari kemitraannya berdasarkan ketergantungan. Sejumlah besar pemerintah Timur Tengah, terutama pemerintah negara-negara Teluk yang kaya minyak, tergantung pada AS dalam sektor pertahanan, ujar Jon Alterman, direktur program Timur Tengah di Pusat Pengkajian Strategis dan Internasional. Jon berpendapat bahwa terdapat "segitiga vital" di wilayah Teluk, yaitu Timur Tengah, Cina dan AS: "Ini menjadi lebih mudah melihat kenyataan bahwa ketiga pihak dari segitiga ini berbagi kepentingan dasar dalam stabilitas regional dan alur energi bebas hambatan."

Kepentingan yang sama itu dapat menciptakan sebuah platform bagi kemitraan masa depan yang mungkin akan mengembangkan tidak hanya keamanan di Timur Tengah, tetapi juga hubungan China-AS. Demikian menurut Jon Alterman.

Dai Ruyue/Christa Saloh

Editor: Vidi Legowo