1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Dunia Internasional Ingin Berdialog dengan Taliban

27 September 2021

Taliban menuntut hak bicara di Sidang Umum PBB. Namun pengakuan internasional bagi Emirat Islam Afganistan harus dinegosiasikan secara langsung lewat jalur diplomasi. Bagaimana sikap adidaya dunia terhadap para talib?

https://p.dw.com/p/40v7t
Salah seorang komandan Taliban, Shirullah Badri, Kabul, 20 September 2021.
Salah seorang komandan Taliban, Shirullah BadrFoto: Felipe Dana/AP/picture alliance

Hingga penghujung Sidang Umum PBB di New York, Amerika Serikat, Taliban belum juga mendapat undangan mewakili Afganistan. Kelompok etnis Pashtun itu sempat mengirimkan surat kepada Sekretaris Jendral Antonio Guterres, Senin silam, dan meminta Amir Khan Muttaqi "agar diizinkan berpartisipasi."

Permintaan itu sedianya dibahas dalam sebuah komite khusus yang beranggotakan Amerika Serikat, Rusia dan Cina. Namun kepada AFP, seorang diplomat senior PBB mengklaim pertemuan tersebut dibatalkan. Dia mengatakan permintaan Taliban datang "terlalu telat."  Akibatnya PBB hanya mengizinkan Ghulam Isaczai yang diangkat oleh pemerintahan sebelumnya sebagai wakil resmi Afganistan.

Penolakan di New York memaksa Taliban menggunakan jalur diplomasi untuk mendapat pengakuan PBB. Artinya, Taliban harus melobi sebanyak mungkin negara anggota. Tapi bagaimana sikap mereka terhadap penguasa baru Afganistan itu? Berikut rangkumannya.

Jerman

Sudah sejak akhir Agustus silam, Menteri Luar Negeri Jerman, Heiko Maas, sudah menegaskan hubungan diplomasi tidak harus diawali pengakuan terhadap Emirat Islam Afganistan. "Jika secara politis dan keamanan dimungkinkan, maka Jerman akan kembali membuka kedutaannya di Kabul," kata Maas usai berbicara dengan perwakilan Taliban di Qatar.

"Saat ini bukan saatnya untuk meributkan pengakuan kedaulatan, melainkan mencari solusi untuk masalah-masalah praktis."

Di antara masalah pelik itu termasuk proses evakuasi warga Afganistan yang bekerja untuk pemerintah, LSM atau media-media Jerman. Maas menjanjikan kucuran dana bantuan sebesar 500 juta Euro untuk membantu situasi pengungsi Afganistan di Asia Tengah. Secara umum, kebijakan Jerman di Afganistan akan selaras dengan haluan yang sudah disepakati di Eropa.

Uni Eropa

Awal September lalu, menteri-menteri luar negeri UE menyepakati kerangka kerja untuk menampung pengungsi Afganistan. Hingga 2022, Brussels menganggarkan dana sebesar 300 juta Euro yang sebagian besarnya dibiayai Jerman. Dengan dana itu, Uni Eropa ingin menerima hingga 30.000 pencari suaka asal Afganistan.

Uni Eropa terutama berkepentingan agar Afganistan tidak lagi menjadi ladang pembiakan terorisme bagi al-Qaeda atau Islamic State-Khorasan. Untuk itu, Utusan Luar Negeri UE, Josep Borell, mengatakan pihaknya bersiap mengambil keputusan sulit di Afganistan.

"Agar mendapat peluang untuk ikut mempengaruhi jalannya situasi, kita tidak punya pilihan selain berunding dengan Taliban," kata dia September silam.

Amerika Serikat

Taliban mulai memadu perundingan dengan Amerika Serikat sejak menegosiasikan penarikan mundur serdadu AS dengan pemerintahan bekas Presiden Donald Trump. Usai perang selama 20 tahun, hubungan antara kedua pihak masih banyak dibebani sikap saling curiga.

Sejauh ini Presiden Joe Biden belum menanggapi ungkapan para Talib untuk membina hubungan baik antara Kabul dan Washington. Saat ini Gedung Putih juga belum menerbitkan strategi baru di Afganistan, selain peringatan kepada Taliban untuk tidak membiarkan kelompok teror berkembang biak.

Banyak analis menilai, Washington masih mengkaji ulang hubungannya dengan Pakistan usai kegagalan di Afganistan. Islamabad yang menerima miliaran dana bantuan militer dari AS dituduh menyokong dan membiayai ekspansi Taliban. Meski demikian AS masih melihat Pakistan sebagai mitra strategis di kawasan.

Pakistan

Sudah bukan rahasia lagi jika dinas rahasia Pakistan, ISI, sejak lama menyokong Taliban. Pun Perdana Menteri Imran Khan menyambut perebutan kekuasan oleh para Talib pada bulan Agustus lalu. Pakistan termasuk satu dari tiga negara yang mengakui kekuasaan Taliban di periode pertama "Emirat Islam Afganistan" antara 1996 dan 2001. Negara lain adalah Arab Saudi dan Uni Emirat Arab.

Sebab itu pula muncul desakan di Washington untuk mengkaji ulang hubungan dengan Pakistan. Dalam pidatonya di Sidang Umum PBB, Jumat (27/9) lalu, PM Imran Khan memaparkan betapa Pakistan menjadi korban dari "sikap tidak berterima kasih" Amerika Serikat selama tahun-tahun pendudukan di Afganistan. Bukannya mendapat "ungkapan terima kasih," Pakistan malah disalahkan, kata dia.

Bersama pergantian kekuasaan di Afganistan, Pakistan ikut memutus rantai diplomasi antara Kabul dan jiran yang dimusuhi, India. Meski begitu, pertalian dengan Taliban bukan tanpa risiko. Pakistan sendiri hingga kini masih memerangi kelompok pemberontak dan teroris yang diyakini berhubungan dengan Taliban.

Turki

Pemerintah di Ankara berkepentingan menghadang gelombang pengungsi dari Afganistan. Selama ini, negeri di antara Asia dan Eropa itu menjadi batu loncatan bagi para pencari suaka. Uni Eropa dan Turki mengkhawatirkan penumpukan pengungsi di Anatolia. Sebabnya Ankara memerintahkan pembangunan tembok perbatasan menuju Iran.

Taliban sebaliknya secara aktif mengundang Turki membantu mengoperasikan Bandar Udara Hamid Karsai di Kabul. Tawaran itu ditanggap dengan "optimisme dan kehati-hatian" oleh Presiden Recep Tayyip Erdogan, lapor Reuters, yang menawarkan bantuan luas bagi pemerintahan baru Taliban.

Bagi para Talib, Turki dan Qatar selama ini adalah satu-satunya jembatan menuju dunia internasional.

Qatar

Kerajaan kecil di Teluk Persia ini sejak awal aktif memediasi dunia internasional dengan Taliban. Hampir tidak satu pun penerbangan evakuasi yang dilangsungkan tanpa campur tangan Qatar. Pemerintah di Doha dikenal gemar memadu relasi dengan kelompok bawah tanah, seperti Ikhwanul Muslimin atau Hamas.

Sejak 2013, Taliban resmi diundang untuk membuka kantor perwakilan di Doha. Ironisnya, negeri kecil itu juga menampung salah satu pangkalan militer terbesar Amerika Serikat di Timur Tengah yang menjadi basis bagi evakuasi dari Afganistan, Agustus silam.

Rusia

Rusia masih menempatkan Taliban di dalam daftar organisasi teror. Namun begitu, Moskow secara berkala membina komunikasi dengan para talib, terutama dalam beberapa bulan terakhir. Presiden Vladimir Putin mendesak agar Taliban mengundang perwakilan etnis lain untuk membentuk pemerintahan yang inklusif.

Moskow mengkhawatirkan Afganistan menjadi ladang teror untuk menyerang sekutunya di Asia Tengah, Tajikistan, Turkmenistan dan Uzbekistan. Kekhawatiran serupa mendorong Uni Sovyet menginvasi Afganistan pada tahun 1979.

Kali ini, Rusia mempertahankan perwakilan diplomatiknya di Kabul untuk membuka kanal komunikasi. Dalam Sidang Umum PBB, Menlu Sergey Lavrov menegaskan pihaknya bekerjasama dengan Amerika Serikat, Pakistan dan Cina untuk memandu Taliban menaati komitmen internasionalnya.

Dia mengritik pemerintahan Afganistan yang diumumkan Taliban tidak mewakili "semua pihak di masyarakaz Afgan. Jadi kami terus menjaga dialog. Semuanya masih berlangsung," kata dia.

Cina

Cina termasuk adidaya dunia yang paling membuka diri terhadap Taliban. Akhir Juli lalu, Menlu Wang Yi menerima Abdul Ghani Baradar untuk membahas kerjasama antara kedua pihak.

Beijing terutama ingin agar Taliban membantu meredam pemberontakan kelompok Islamis di Xinjiang. Mereka dikabarkan kerap menggunakan Afganistan sebagai tempat berlatih. Hal ini pun menjadi syarat bagi pengakuan resmi oleh Cina terhadap Taliban.

Bagi Taliban, hubungan dengan Cina menjadi kesempatan terbesar untuk mengukuhkan kedaulatan. Awal September, juru bicara Taliban, Zabihullah Mujahid, mengatakan kepada sebuah harian Italia, bahwa pihaknya akan berusaha mengembangkan ekonomi dengan bantuan Beijing.

"Cina adalah mitra kami paling penting dan mewakili kesempatan yang luar biasa bagi kami, karena Cina siap berinvetasi dan membantu membangun ulang negara kami, kata dia.

rzn,jw/vlz (dari berbagai sumber)