1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kenapa Jakarta? Tentang Islam dan Tantangan Iklim

Atif Tauqeer
1 November 2019

Seminar Eco-Islam yang digelar DW dan Wahid Institute mengingatkan tanggungjawab agama untuk menjamin masa depan yang ramah kehidupan bagi semua umat manusia, tulis jurnalis Pakistan, Atif Tauqueer, dari Jakarta.

https://p.dw.com/p/3SDGK
Indonesien: Umweltbelastung und Luftverschmutzung in Jakarta
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry

Beberapa pekan lalu sebuah demonstrasi digelar di kota Bonn oleh ratusan orang yang kebanyakan kaum muda. Mereka melakukan aksi tersebut di hadapan gedung Konvensi Iklim PBB dan menuntut langkah kongkrit untuk melindungi Bumi dari perubahan iklim.

Demonstrasi pro lingkungan semacam ini bukan kali pertama atau satu-satunya digelar tahun ini. Di bulan September saja sebanyak 7,6 juta manusia di seluruh dunia turun ke jalan dalam aksi "mogok iklim." Dalam beberapa tahun terakhir, gerakan "Friday's for Future" dan gereget pegiat lingkungan muda Greta Thunberg menjadi simbol kebangkitan kesadaran tentang kebutuhan global menanggulangi dampak perubahan iklim.

Saat ini tumbuh persepsi baru, terutama di kalangan kaum muda, bahwa para pemimpin dunia gagal mengambil kebijakan yang efektif untuk melindungi Bumi. Tidak heran jika tingkat keikusertaan pada aksi demonstrasi iklim terus meningkat di seluruh dunia.

Bradford Literatur Festival 24-26.09.2014 Atif Tauqeer
Jurnalis DW asal Pakistan, Atif TauqeerFoto: Irna Qureshi

Saya dilahirkan di sebuah keluarga muslim di Pakistan dan hidup untuk waktu yang lama di kota Karachi, di mana saya diajarkan bahwa Bumi adalah karunia Ilahi yang harus dilindungi dengan segala cara. Tapi di sisi lain struktur dan praktik-praktik sosial malah bersebrangan dengan ajaran tersebut.

Tidak hanya polusi udara, konsumsi plastik yang berlebihan, minimnya sistem daur ulang yang efektif, kontaminasi air, pengolahan air kotor yang buruk dan laju deforestasi yang tiada henti ikut menyumbang pada tantangan ekologis saat ini.

Limbah beracun industri yang tidak diolah dengan cara yang ramah lingkungan dan regulasi yang ada hanya menjadi lelucon yang sering diabaikan oleh pelaku usaha.

Meski demikian, tahun ini ribuan warga Pakistan ikut serta dalam gerakan mogok iklim di berbagai kota. Fenomena itu sendiri sudah menunjukkan ketidakpuasan yang terus tubuh di kalangan warga Pakistan terkait upaya pemerintah menanggulangi dampak perubahan iklim.

Namun perubahan iklim adalah ancaman bersama. Tidak ada satu negara pun yang bisa memenangkan pertarungan ini tanpa kerjasama kolektif semua negara. Kesadaran publik terkait situasi yang ada dan konsekuensi perubahan iklim adalah krusial.

Sikap diamnya pemimpin dunia bisa jadi sebuah kabar buruk. Tapi kabar baiknya adalah bahwa semakin banyak manusia, terutama kaum muda, yang semakin berani bersuara. 

Beberapa pekan lalu dalam sebuah konfrensi internasional terkait "Agama untuk Kedamaian" di Lindau, Jerman, saya berbincang-bincang dengan pemimpin agama dari seluruh dunia. Terlepas dari keyakinan masing-masing, jika sudah menyangkut masalah lingkungan, tidak ada yang punya keraguan di antara mereka.

Dari umat Kristen, Hindu, dari muslim hingga Yahudi, Sikhs atau pemeluk Buddha, semua berbagi kekhawatiran yang sama soal perubahan iklim. Dan meski perbedaan di antara mereka, tidak ada yang berselisih kata soal upaya perlindungan lingkungan.

Perubahan Iklim menerpa belahan Bumi selatan lebih dahsyat ketimbang wilayah lain. Pakistan misalnya termasuk dalam 10 negara yang paling rentan terkena dampak pemanasan global. Bangladesh, Afghanistan, Malaysia, Indonesia, dan banyak negara lain juga menghadapi dampak yang tak kalah menakutkan.

Parahnya kondisi lingkungan saat ini menuntut langkah kongkrit untuk mendorong pertumbuhan yang ramah iklim demi melindungi miliaran manusia di Bumi. Faktanya, kemampuan manusia bertahan hidup akan terancam, jika masyarakat global gagal memberikan reaksi yang sesuai.

Bayangkan jika planet yang kita huni tidak lagi mampu menopang kehidupan? Tidak akan ada rencana B karena tidak ada planet lain selain Bumi.

Setelah bekerja lebih dari enam bulan untuk proyek Deutsche Welle, Mukalama, yang mempromosikan perdamaian, dialog lintas keyakinan dan kesadaran lingkungan, tim kami menyadari perubahan iklim bukan hanya ancaman bagi kita semua, tetapi juga satu dari sedikit hal yang bisa menyatukan semua umat beragama dan keyakinan.

Ini adalah wilayah di mana manusia, terlepas dari kasta, agama atau keyakinan, bisa bekerjasama untuk kepentingan semua. Proyek Mukalama yang digagas DW juga ikut bahu membahu bersama tokoh muslim untuk mempromosikan pesan ini. Dan hal ini yang membawa tim Mukalama ke Jakarta.

Indonesia adalah negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Negara ini pun menghadapi ancaman nyata pemanasan global. Naiknya permukaan air laut mengancam penduduk di kawasan pesisir dan fenomena cuaca ekstrim menghambat pertumbuhan.

Ketika saya mendarat di Jakarta untuk seminar Eco-Islam, hal pertama yang saya sadari adalah kemiripan antara Jakarta dan Karachi. Polusi udara terasa menyengat. Kemacetan lalu lintas juga menceritakan banyak hal tentang kehidupan warga. Anda bisa bertanya ke semua orang tentang apakah pola cuaca telah berubah dan mendapat anggukan penuh keyakinan.

Jawaban yang sama akan didapat dari warga di Karachi, Dhaka di Bangladesh atau bahkan di tempat-tempat terpencil sekalipun. Nyatanya perubahan iklim bisa dilihat dan dirasakan. Ia mengancam kita semua.

Kaum muda adalah korban terbesar perubahan iklim di masa depan. Saya bahagia melihat mereka turun ke jalan dan menuntut hak dasar sebagai manusia untuk memiliki iklim yang utuh dan ekosistem yang sehat. Saya senang mereka menuntut hak untuk hidup damai dan kesempatan yang sama seperti generasi sebelumnya.

Inisatif DW dan Wahid Institute ini bisa jadi hanya upaya kecil. Tapi langkah-langkah kecil dalam hidup bisa membawa kita ke hal-hal besar.

Dari jendela hotel saya, saya melihat kemegahan Jakarta dengan gedung-gedung pencakar langitnya, pohon palem dan jalan-jalan raya yang sesak dan pekat oleh asap gas buang kendaraan. Namun, di tempat ini lah tokoh agama dari Pakistan, Bangladesh, dan tempat lain berembuk dengan pemuka agama, mahasiswa, dan tokoh masyarakat Indonesia untuk mengkampanyekan perlindungan lingkungan sebagai kewajiban dari Tuhan.

Melindungi alam adalah tiket menuju masa depan yang berkelanjutan dan menciptakan tanggungjawab kolektif dan agama untuk saling bekerjasama.

Karena bagaimanapun juga, itu lah yang diajarkan Islam tentang alam dan lingkungan, serta apa yang kita sudah pelajari tapi tidak benar-benar amalkan, setidaknya pada level yang mampu menjamin masa depan yang ramah kehidupan bagi semua generasi, pemeluk agama dan semua bangsa di dunia. (rzn/as) 

Masjid di Sentul ini Punya Cara Unik Dalam Menjaga Lingkungan