1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Persamaan Hak

Kenapa Kaum LGBTQ+ Paling Terancam Oleh Bencana Iklim?

12 Maret 2021

Sebuah LSM Inggris meluncurkan dana bantuan iklim pertama bagi komunitas LGBTQ+ di seluruh dunia. Minoritas seksual termasuk kelompok yang paling rentan terdampak bencana iklim lantaran budaya diskriminasi yang mengakar.

https://p.dw.com/p/3qXlW
Seorang pencari suaka asal Afrika berusaha menutup wajahnya saat mengikuti parade pro LGBTQ+ di Boston, Amerika Serikat.
Seorang pencari suaka asal Afrika berusaha menutup wajahnya saat mengikuti parade pro LGBTQ+ di Boston, Amerika Serikat.Foto: Reuters/J. Rinaldi

Dana iklim ini menjanjikan kucuran uang hibah sebesar 5.000 pounds atau sekitar Rp 100 juta bagi organisasi yang membantu kaum homo- dan biseksual, atau transgender dan genderqueer yang terdampak bencana iklim. 

"Warga LGBTQI menghadapi ancaman ekonomi secara tidak berimbang,” kata Lee Dibben, juru bicara GiveOut, Jumat (12/3). Lembaga itu mengelola dana bantuan bagi komunitas minoritas seksual di seluruh dunia.

"Mereka tidak ikut duduk di atas meja dan dikucilkan dari pembuatan keputusan di level pemerintah,” imbuhnya.

Pola cuaca ekstrem yang memicu bencana banjir, kekeringan atau badai tercatat semakin sering terjadi. Fenomena itu diyakini bersumber pada perubahan iklim Bumi. Saat ini pun, bencana iklim di berbagai negara sudah menciptakan gelombang pengungsi, atau menyulut konflik antarnegara.

Warga LGBTQ+ diyakini sebagai kelompok yang paling berisiko mengalami dampak terburuk akibat bencana iklim. Budaya diskriminasi dan minimnya akses terhadap pekerjaan dan rumah tinggal yang layak, atau terhadap layanan publik, membuat situasi kaum minoritas seksual menjadi sangat rentan, terutama di negara yang mengkriminalisasi homoseksualitas.

Menangkal Efek Cuaca Ekstrim Dengan Asuransi Iklim

Pendanaan program mitigasi

GiveOut menyontohkan, setelah badai Katrina yang mengusir 1,2 juta penduduk dan tercatat sebagai bencana paling mematikan di Amerika Serikat, warga trans mengalami diskriminasi di kamp-kamp pengungsi di New Orleans. Tidak sedikit yang ditolak masuk, lapor media-media lokal.

Menurut Dibben, hal serupa juga terjadi di negara kepulauan Pasifik, Tonga, di mana warga homoseksual merasa dimusuhi ketika berlindung di kamp pengungsi milik organisasi agama.

Sebuah organisasi di Tonga yang menerima dana dari GiveOut, dilaporkan melatih pengelola kamp bencana untuk mengakomodasi warga LGBTQ+, dan mengkampanyekan keikutsertaan kaum minoritas seksual dalam mitigasi bencana iklim.

Di tahun pertama, Dana Iklim LGBTQ+ mencanangkan program pendanaan senilai antara 15.000 hingga 30.000 pounds atau Rp 600 juta untuk organisasi kecil di seluruh dunia. 

Dibben mengatakan, GiveOut ingin melibatkan korporasi swasta untuk ikut terlibat dalam sebuah perusahaan start-up kendaraan elektrik, ev.energy. Skema tersebut memungkinkan pendanaan tambahan untuk membiayai penelitian, inisatif lokal atau ongkos perjalanan bagi pegiat iklim untuk menghadiri konferensi nasional atau internasional.

Tahun lalu negara-negara berkembang dan Sekretaris Jendral PBB, Antonio Guterres, mengimbau negara kaya agar memberikan lebih banyak bantuan untuk memitigasi dampak pemanasan global pada negara miskin.

Fenomena cuaca ekstrim dan naiknya permukaan air laut yang mengancam komunitas pesisir tercatat sebagai ancaman terbesar.

rzn/hp (Reuters)

Daftar negara dengan angka bencana terkait cuaca ekstrem selama dua dekade terakhir
Daftar negara dengan angka bencana terkait cuaca ekstrem selama dua dekade terakhir