1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kenapa Negara Muslim Bungkam Terhadap Cina Soal Uighur?

4 Desember 2019

Ketika Amerika Serikat mempertaruhkan hubungan dengan Cina saat mengesahkan UU Perlindungan Etnis Uighur, negara-negara mayoritas muslim justru bungkam atas bencana kemanusiaan di Xinjiang. Apa pasal?

https://p.dw.com/p/3UD17
Belgien | China | Muslime | Uiguren
Foto: Getty Images/AFP/E. Bunand

Saat ini diperkirakan setidaknya satu juta warga Uighur mendekam di kamp "reedukasi" yang dituding sebagai kamp konsentrasi abad modern. Di sana mereka tidak hanya dipaksa hidup di ruang sempit, berjejalan dengan tahanan lain, tetapi juga menjalani penyiksaan secara rutin.

Mereka yang dilepaskan menjalani kehidupan bak di penjara terbuka lantaran pengawasan ketat terhadap semua anggota keluarga. Prof. Dr. Susanne Schröter, Direktur Institut Islam Global di Universitas Frankfurt menilai cara barbarik tersebut merupakan metode yang lazim digunakan Partai Komunis Cina untuk memaksa etnis minoritas tunduk pada ideologi negara. Berikut kutipan wawancaranya.

DW: Betapa besarnya dimensi sistem pengawasan dan reedukasi di Xinjiang baru diketahui secara perlahan. Bagaimana Anda menilai kebijakan ini dalam konteks Cina?

Schröter: Pemerintah Cina adalah sebuah pemerintahan yang sangat otoriter dan berusaha menundukkan oposisi dengan berbagai cara. Metode ini tidak hanya diterapkan terhadap bangsa Uighur, tetapi juga semua yang menuntut liberalisasi atau demokratisasi. Dulu ada gerakan Falun-Gong yang ditumpas dengan cara-cara esktrem, contoh lain adalah pendukung Dalai Lama di Tibet. Jadi tidak mengejutkan jika kita melihat bagaimana pemerintah Cina memperlakukan oposisi Uighur.

Susanne Schröter vom Institut für Ethnologie Universität Frankfurt
Prof. Dr. Susanne Schröter, Direktur Pusat Penelitian Islam Global di Universitas Johann Wolfgang von Goethe, Frankfurt, Foto: Privat

Kamp reedukasi dalam sejarah Cina Komunis di abad ke-20 merupakan metode yang lazim digunakan. Cara ini ditempuh untuk memaksakan ideologi Partai Komunis kepada masyarakat dan sekaligus membuat gentar oposisi. Semua kelompok masyarakat terkena dampaknya, terutama jika mereka dituduh melakukan perlawanan terhadap pemimpin politik Cina.

Apa yang melandasi kebijakan Beijing di Xinjiang?

Bangsa Uighur melancarkan gerakan kemerdekaan. Di mata para pemimpin Cina, hal ini sudah menjadi alasan yang cukup untuk menindak mereka secara keras. Selain itu gerakan separatisme di Xinjiang tidak murni politis, tetapi juga dibungkus dalam bingkai muslim. Gerakan Islamis Turkistan Timur saat ini diakui oleh PBB atau Amerika Serikat sebagai gerakan teror. Sejak beberapa tahun kelompok ini melancarkan serangan teror spektakuler, seperti ledakan bom di stasiun kereta Kunming pada 2014 yang menewaskan lebih dari 30 warga sipil. Pemerintah di Beijing kerap menggunakan alasan ini untuk membenarkan kebijakan mereka terhadap bangsa Uighur.

Cara ini yang digunakan pemerintah Cina terhadap berbagai kelompok oposisi, yakni lewat persekusi, intimidasi maksimal dan juga dengan kamp kerja paksa yang kini disebut kamp reedukasi.

Selama ini Cina selalu berhasil menerapkan metode ini. Karena warga Uighur tidak memiliki ruang gerak lagi lantaran pengawasan yang seksama. Hal itu menguntungkan pemerintah Cina. Bahwa kebijakan mereka melanggar prinsip Hak Asasi Manusia adalah satu hal, tapi hal lain adalah metode itu berhasil menundukkan segala bentuk perlawanan dan hal ini lah yang diinginkan pemerintah.

Jika perlawanan dari dalam tidak lagi dimungkinkan, maka cuma tekanan dari luar yang bisa menggerakkan Cina. Apakah hal ini bisa diharapkan dari negara-negara muslim?

Kritik terhadap Cina soal pelanggaran HAM terhadap bangsa Uighur kebanyakan datang dari negara barat. Sampai beberapa tahun silam Turki misalnya mendukung perjuangan etnis Uighur. Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan bahkan menyebut kebijakan Cina di Xinjiang sebagai "genosida" pada tahun 2009. Dia juga lama mendukung gerakan separatisme dan menampung pelarian dari Xinjiang. Para pemimpin Uighur itu tidak hanya mendapat suaka, tetapi juga dibebaskan untuk melakukan aktivitas politik.

Tapi sikap Ankara sudah berubah. Pada 2017 silam menteri luar negeri Turki mengumumkan kebijakan keras terhadap warga Uighur yang hidup di pengasingan. Demonstrasi dan aksi politik minoritas Uighur di Turki saat ini tidak lagi diizinkan. Beberapa bahkan ditangkap. Erdogan pada lawatannya musim panas 2019 lalu bahkan memuji kebijakan minoritas pemerintah Cina.

Bagaimana menjelaskan perubahan sikap Erdogan?

Alasannya ada dua. Yang pertama adalah memburuknya hubungan Turki dengan negara barat. Ankara mencari kekuatan alternatif dan mendapati Cina sebagai sekutu baru. Yang kedua adalah hubungan dagang. Turki saat ini berkutat melawan krisis ekonomi dan membutuhkan hubungan perdagangan yang sehat. Dengan negara barat situasinya semakin sulit lantaran urusan Hak Asasi Manusia yang berimbas pada hubungan ekonomi. Cina sebaliknya tidak tertarik apakah Erdogan membungkam oposisi atau tidak.

Baca juga: Indonesia Didesak Protes Cina Soal Etnis Uighur 

Bagaimana sikap negara mayoritas muslim yang lain?

Iran misalnya tidak melayangkan kritik terhadap kebijakan Cina. Cina adalah importir terbesar minyak dari Iran, banyak berinvestasi di sektor migas dan aktif melebarkan hubungan dagang dengan Iran. Pakistan dan Arab Saudi juga bungkam atas alasan ekonomi. Pangeran Muhammad bin Salman bahkan memuji kebijakan minoritas Cina dan hal serupa diungkapkan berbagai negara Arab. Dalam hal ini pun hubungan ekonomi menjadi faktor penentu.

Banyak negara Islam dipimpin oleh pemerintahan yang otoriter dan sering mendapat kritik dari negara barat lantaran pelanggaran HAM. Hal ini berlaku untuk Mesir, negara-negara Teluk, untuk Pakistan, Iran dan sejumlah negara lain. Cina sebaliknya sama sekali tidak tertarik pada urusan HAM. Negara manapun bisa berbisnis dengan Cina tanpa perlu takut mendapat kritik terkait kebijakan internal masing-masing.

Prof. Dr. Susanne Schröter adalah Direktur Pusat Penelitian Islam Global di Universitas Johann Wolfgang von Goethe, Frankfurt, Jerman.

Wawancara dilakukan oleh Rodion Ebbighausen (rzn/vlz)