1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Politik 'Edan' dan Paradoksal?

Aguk Irawan
24 Agustus 2018

Jika ulama menjadi bagian dari kekuasaan, lalu siapa yang kelak akan menasehatinya jika penguasa serong atau lalim? Ikuti opini Aguk Irawan.

https://p.dw.com/p/33Lp1
Indonesien Präsidentschaftswahl Joko Widodo und Ma'ruf Amin
Foto: picture-alliance/AA/E. S. Toyudho

Pengamat politik banyak yang berasumsi, bahwa untuk kali ini, proses demokrasi seperti sedang kesandung dan mengalami satu dosis keedanan. Itu sebabnya prosesnya tampak tak wajar, berbelit, terkesan melimpah ruah tipu daya.

Berita Jendral Kardus kemudian menjadi viral, juga aroma politik uang dan siasat saling menikung sesama kader terbaik bangsa. Tak terkecuali para kiai dan cendekiawan.

Kenapa tahun politik ini layak disebut sebuah poltik dosis keedanan? Fakta ini yang berbicara;Petahana berdampingan dengan ulama yang berusia 75 tahun. Prabowo juga memilih tokoh politik yang sudah memegang kekuasaan di pemerintahan sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta?

Penulis: Aguk Irawan
Penulis: Aguk IrawanFoto: Privat

Bukankah fakta kandidat presiden dan wakil presiden yang mengemuka di hadapan ini menunjukkan gagalnya regenerasi dalam proses demokrasi di Indonesia?

Kenyataan ini mengingatkan kita pada, seorang pejuang muda, pemimpin gerlilya, bernama Monginsidi yang dihukum mati di Pacinang, Makassar,  tanggal 5 September  1949. Ia menulis sepucuk surat untuk seorang gadis yang tinggal di Jakarta, Milly Ratulangi —di tulisan yang menggetarkan itu, ia berteriak; "Anak-anak muda di zamannya, sebagai bunga yang sedang hendak mekar, dengan kejam digugurkan oleh angin yang keras".

Siapa angin keras menurut Monginsidi itu? Tentu barisan orang tua, sebagaimana dicatat oleh majalah Mimbar Indonesia 17 September 1949.

Mungkin jeritan Monginsidi puluhan tahun yang lalu itu kini membentur tembok demokrasi kita? Pilihan-pilihan yang dibuat oleh partai koalisi, jelas menunjukkan bahwa para kandidat mengabaikan kelompok-kelompok besar di populasi pemilih, tetapi sering tidak terwakilkan: yaitu generasi muda. Kini kaum muda  pun kurang mendapat tempat di panggung politik, sementara yang telah berumur di atas 70 tahun merasa masih cukup berstamina dalam perpolitikan di tanah air.

Revolusi Pemuda

Bayangkan, para pemilih muda dengan jumlah total 70 juta pemilih atau sepertiga dari pemilih Indonesia terasa tak terakomodasi. Padahal jika kita melongok sejarah bangsa ini —Benedict Anderson menyebut sejarah perjuangan bangsa Indonesia adalah bagian dari apa yang digambarkan sebagai "Revolusi Pemuda.”

Karena itu, menurut Benedict Anderson, mengikutkan pemuda untuk turut andil dalam babakan sejarah bangsa Indonesia sebagai peran utama adalah keniscayaan, dan meninggakalkan pemuda berati sama halnya tidak merawat sejarah. Betapa tidak, kita mengenal tokoh-tokoh potensial dalam bentangan sejarah kita memang dalam usia muda; seperti Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Wahid Hasyim dan lainnya. Maka di sinilah pentingnya surat Monginsidi untuk bangsa ini. "bunga yang sedang hendak mekar, [yang] digugurkan oleh angin yang keras,”  dan "angin yang keras itu” masih juga belum mau beristirahat.

Lebih dari itu, pencalonan pasangan presiden dan wakil presiden ini menunjukkan pentingnya revisi aturan syarat minimal usia untuk menjadi caleg (calon legislatif). UU Pemilu mengatur seseorang minimal berusia 21 tahun untuk bisa maju menjadi caleg, sedangkan syarat jadi pemilih adalah 17 tahun.

Bukankah ini suatu yang kontradiksi?

Kenapa ada jurang pemisah antara yang memilih dan diplih? Bila usia 17 tahun dianggap sudah cukup bertanggung jawab atas pilihan politik sehingga diizinkan untuk memilih, kenapa tidak dianggap pantas untuk dipilih? Ini juga bagian dari drama politik paradoksal.

Meski demikian, ada yang bilang pejuang tak pernah memandang umur! Karena daya juang dan pengorbanan tak selamanya dikukuhkan oleh usia, melainkan oleh tindakan-tindakan hebat dan luar biasa.

Tetapi Mongonsidi, Soekarno, Tan Malaka, Wahid Hasyim dikenal sebagai tokoh luar biasa, karena juga usia, dengan merelakan dirinya untuk berkorban bagi sebuah harapan bersama. Maka dengan mengapresisasi kaum mudanya, ini juga bisa menjadi salah satu strategi untuk memupuk bibit-bibit politisi yang lebih muda dan lebih mewakili populasi pemilih.

Paradoksal lain

Pasca fenomena 212, di saat politik identitas berbasis agama pernah "naik daun,” ditandai dengan mencuatnya fenomena sekelompok tokoh Muslim yang hobi menggunakan mikrofon masjid sebagai medium "kampanye hitam” untuk menyerang kubu Petahana, dan kini telah mulai surut, namun sebuah paradok saat Jokowi justru memilih Kiai Ma'ruf Amin.

Bukankah  pilihan ini sangat rentan dan beresiko tinggi mencuatkan kembai isu lama, yaitu pilitik identitas? Dengan mencuatnya isue lama, yaitu politik identitas yang sebenarnya sudah susut itu, dikhawatirkan kaum Muslim moderat-progresif yang selama ini berjuang dan menyuarakan relasi harmoni dan toleran Muslim-non-Muslim justru terganggu.

Hal lain, di kalangan Pesantren, tentu orang ingat Abu Hamid al-Isfirayini (955-1015 M) sebagaimana yang termaktub dalam Kitab Tabaqat al-Ushuliyin. Ia seorang tokoh besar dalam madzhab Syafi'iyah.

Kedudukan Abu Hamid di mata masyarakat demikian tinggi, kendati dia seorang mufti, namun pengaruh dan kharismanya melebihi Khalifah (Presiden). Ketika terjadi ketegangan antara keduanya. Sang Mufti itu pernah mengatakan, "Engkau tidak bisa memecatku sebagai ulama, tapi aku bisa memecatmu sebagai Khalifah, cukup dengan berpidato atau menulis dua atau tiga kalimat.."

Pernyataan di atas seperti hendak mengatakan, bahwa Kai Ma'ruf Amin adalah seorang ulama. Selain sebagai Rais Am PBNU, juga sebagai ketua umum MUI, sehingga terkesan menjadi "wakil” umara (pemimpin politik-pemerintahan) sesuatu yang paradoks.

Karena maqam ulama, bagi santri seharusnya berada "di atas” umara yang bertugas menasehati penguasa. Lalu muncul pengandaian, jika ulama itu menjadi bagian dari kekuasaan, lalu siapa yang kelak akan menasehatinya jika penguasa serong atau lalim?

Sementara di kubu sebelah, ada nama Sandiaga Uno, yang bisa terbilang muda, tapi kesan 'kemaruk' ini juga menjadi kendala. Belum juga dibuktikan tuntas masa baktinya sebagai Wakil Gubernur DKI, ia sudah berani berjanji lagi untuk sebuah masa depan Indonesia?

Tetapi hal penting yang harus diwaspadai oleh kubu Petahanaadalah narasi kampanye di tahun politik ini telah berubah. Kubu Prabowo-Sandiaga mustahil akan membawa lagi isue lama; agama sebagai identitas, tapi isue baru; seperti pro-investasi, pro-pasar, pro-toleransi, pro-moneter dan lain sebagainya.

Jika kubu Petahana tidak mengantisipasi ini, maka dipastikan akan sulit memenangi pemilu kembali. Apalagi setelah mencuatnya 'kasus' Mahfud MD di acara ILC, 14 Agustus 2018 malam.

Mungkin Mahfud MD terpaksa menyampaikan itu secara terbuka. Karena merasa ada yang tak beres di Republik ini. Ia sadar, mungkin tak ada saluran —jikapun ada mungkin sangat terbatas.

Maka, untuk memperbaiki wajah politik keedanan ini, ia memilih secara terbuka dan efek domino yang ditimbulkan ini sangat serius. Berdampak pada tingkat kepercayaan publik pada kubu Petahana. 

Disatu sisi, Sandiaga yang berlatar belakang pebisnis muda dan sukses, kian menguat pada berbagai polling. Ini menunjukkan Sandiaga Uno mampu berunding dan memecahkan lobi politik pada waktu yang krusial di tengah deadlock politik internal.

Pada akhirnya, suka atau tidak suka, hajatan politik tahun ini seperti sebuah arena yang disebut oleh Milan Kundera sebagai ”imagologi”, yaitu politik ring tinju, sebuah tempat pertarungan yang dibangun oleh media massa dengan kepentingan pasar. Wallahu'alam.

Penulis: Aguk Irawan MN, warga Nahdliyin dan Ketua Bidang Media LPPM Universitas Nahdlatul Ulama, Yogyakarta.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis