1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

120810 PPP

25 Agustus 2010

Sejak 10 tahun lalu, pemerintah Jerman dan pihak ekonomi swasta melakukan proyek bersama, yang dinamakan Public Private Partnership disingkat PPP. Yakni program bersama di bidang bantuan pembangunan.

https://p.dw.com/p/OsSL
Pusat Badan Kerjasama Teknik Jerman GTZ di Eschborn dekat FrankfurtFoto: picture alliance / dpa

Sekitar 10 tahun lalu Dieter Ertle masih aktif sebagai pimpinan bidang urusan kerjasama dengan sektor ekonomi pada Kementerian untuk kerjasama dan bantuan pembangunan BMZ. Di BMZ, yang secara tradisi dikenal berhaluan kiri, yakni mengutamakan keadilan sosial sebagai haluan politik, Ertle harus memutar otak bagaimana mendapat dukungan dari rekan-rekannya untuk melibatkan sektor swasta

Andreas Foerster, anak buah Ertle tetap ingin mengikutsertakan para pebisnis besar dalam aktivitas pembangunan secara lebih baik

"Sejak saya berkecimpung dalam politik pembangunan, satu hal yang menjadi jelas. Jika kita menginginkan pembangunan, kita perlu perusahaan swasta. Pandangan bahwa bantuan pembangunan hanya dapat berfungsi dengan institusi pemerintah sungguh tidak logis."

Foerster menemukan bentuk istimewa PPP, Public Private Partnership, sebuah bentuk khusus kerjasama antara institusi pemerintah dan sektor swasta. Program kemitraan dengan pihak perekonomian ingin sesegera mungkin dilaksanakan.

Ertle dan Foerster mengupayakan gagasan itu di BMZ. Situasinya menguntungkan, karena pada saat itu semakin banyak perusahaan yang berubah pikiran.

Pada tahun 2000 gagasan PPP dari Foerster berjalan dengan lancar. Perusahaan-perusahaan dari Eropa dapat memperoleh bantuan keuangan sampai 193 ribu Euro jika mereka menanam investasi di negara berkembang sekaligus sambil melakukan aktivitas bantuan pembangunan, di luar bidang bisnisnya. Misalnya Mercedes-Benz Afrika Selatan, yang kala itu masih bernama Daimler Chrysler Afrika Selatan. Dalam 10 tahun tingkat penyakit AIDS di Afrika meningkat kira-kira 15 persen.

Karl Heinz Schlaiss, kini manajer senior pada wakil perusahaan Daimler di Berlin, dulu bekerja untuk Daimler Chrysler Afrika Selatan. Lembaga Bantuan Pembangunan Jerman GTZ meminta waktu untuk dapat bertemu dengan Christoph Köpfke, direktur perusahaan kala itu. Karena berhalangan, Köpfke menugaskan Schlaiss untuk bertemu dengan petugas dari GTZ

"Ia melaporkan kepada saya berbagai rencana PPP yang untuk kami sebetulnya tidak begitu relevan. Dan di akhir pembicaraan ia akhirnya melaporkan kompetensi GTZ di bidang HIV/AIDS."

Hal itu menarik perhatian Schlaiss. Uang untuk program kampanye pencegahan dalam perang melawan HIV/AIDS cukup dimiliki Daimler Chrysler. Tapi dana untuk tes darah dan obat-obatan yang penting bagi terapi antiretroviral kurang. Schlaiss ingin hal lainnya dari GTZ

"Pengalaman, masukan informasi teknis yang kami peroleh, hal itu sangat berharga dan untuk melakukannya sendiri kami tidak akan sanggup. Salah satu komponen dari proyek itu adalah kami juga mengikuti penyuluhan dari para dokter untuk tema HIV Aids. Dulu pengetahuan tentang HIV-Aids hampir tidak ada. Oleh sebab itu tidak ada yang berjalan tanpa pengetahuan ini."

Tidak perlu waktu lama program kampanye pencegahan HIV Aids juga diikuti perusahaan lainnya. Volkswagen, Roche, Bosch dan T-Systems Afrika Selatan, anak perusahaan telekomunikasi Deutsche Telekom. Akhirnya Daimler Chrysler meneruskan pengalamannya kepada perusahaan menengah. Tapi tidak selalu proyek PPP berjalan sukses. Seperti dituturkan Benrd Lunkenheimer, petugas GTZ yang bertanggungjawab utnuk proyek PPP di Asia, Amerika Latin dan Karibia.

"Apa yang selalu menjadi masalah, meskipun pengalaman bertahun-tahun adalah, ambisi pihak perusahaan dalam proyek-proyek semacam itu terlalu tinggi. Dan itu seringkali menyebabkan kami merasa tidak mampu melakukannya sendiri, karena rencana yang terlalu rumit atau terlalu banyak yang ingin dicapai dalam waktu tertentu."

Masalah semacam itu tidak hanya dialami Bernd Lunkenheimer. Kesulitan juga dialami Perhipunan Investasi dan Pembangunan Jerman DEG dan organisasi bantuan pembangunan Sequa. Keduanya adalah organisasi yang boleh mengeluarkan ijin pengucuran dana dari fasilitas PPP dari kementerian bantuan pembangunan

"Hal yang penting pada masa-masa awal menurut saya seharusnya tidak semua gagasan dari setiap perusahaan harus mendapat bantuan. Gagasan saja tidak cukup. Pada masa-masa awal seringkali yang dilihat adalah isi proyek dan kurang memperhatikan bonitas perusahaan. Artinya kemampuan perusahaan untuk mampu bertahan dari segi ekonomi untuk jangka panjang. Jadi ada sejumlah kasus kebangkrutan. Meskipun tidak banyak tapi dalam setiap kasus itu berarti uang yang terbuang.“

Demikian disampaikan pimpinan Sequa Gebhard Weiss. Weiss menarik konsekuensi dari hal itu. Pelamar program PPP harus memenuhi syarat kesuksesan pasar dalam kurun waktu tertentu, harus memiliki jumlah minimal karyawan dan jumlah omset minimum. Ada sekitar 600 lamaran yang selama ini diterima Sequa. 15 persennya disetujui. Meskipun demikian rencana yang terperinci dan dokumen yang cukup tidak dapat menghindari masalah.

Tahun 2009 BMZ ingin mengetahui bagaimana jalannya program itu secara keseluruhan dan menyewa penilai independen yang harus meninjau dan menilai 43 proyek PPP dari GTZ, DEG dan Sequa. Hampir 80 persen mendapai nilai bagus, proyek itu dinilai berhasil mencapai targetnya.

Jutta Wasserab/Dyan Kostermans

Editor: Pasuhuk