1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kerusakan Jangka Panjang Bencana Tumpahan Minyak

23 April 2018

Pencemaran minyak bisa menyisakan kerusakan terselubung yang berlangsung hingga beberapa dekade. Bencana di Alaska dan Teluk Meksiko bisa menjadi acuan bagi penanggulangan dampak tumpahan minyak di Teluk Balikpapan.

https://p.dw.com/p/2wUUE
Indonesien | Ölteppich vor Borneo
Foto: Reuters/Antara Fotos

Ketika 2001 silam Departemen Konservasi Lingkungan Alaska (ADEC) mengunjungi Prince William Sound buat meninjau kondisi lingkungan 12 tahun setelah bencana minyak Exxon Valdez, ilmuwan berharap alam telah kembali pulih seperti sedia kala.

Betapa tidak, hanya setahun setelah tragedi tersebut, paparan minyak yang tadinya meliputi garis pantai sepanjang lebih dari 500 km telah menurun sebanyak 75%. Dua tahun setelahnya tinggal 1,4 kilometer garis pantai yang masih terpapar. Ilmuwan meyakini setelah 12 tahun, alam akan mengurai 750.000 barrel minyak yang tumpah secara natural.

Namun dugaan tersebut keliru.

Di pantai berbatu Alaska itu peneliti ADEC menggali 10.000 lubang sedalam setengah meter, 6.775 di antaranya ternyata menyimpan minyak dalam jumlah tinggi. Pencemaran di Prince William Sound belum sepenuhnya sirna, ia hanya menghilang dari permukaan.

Situasi serupa banyak ditemukan di tempat lain, seperti di kawasan pesisir Breton, Perancis. Hingga 40 tahun setelah bencana tumpahan minyak dari kapal tanker Amoco Cadiz, ilmuwan masih menemukan kerusakan besar pada rantai makanan ekosistem lokal. Atau di selatan Teluk Meksiko, di mana tumpahan minyak dari anjungan minyak Iztock I 1979 masih menyisakan kerusakan pada ekosistem Mangrove.

Dampak kerusakan jangka panjang pada tiga kasus pencemaran minyak terbesar di era modern itu bisa menjadi pelajaran bagi kasus serupa di Teluk Balikpapan. Meski volume minyak yang tumpah tidak besar, hanya berkisar 40.000 barrel, Teluk Balikpapan saat ini mencatat kerusakan yang tidak sedikit.

Baca: Pertamina Akui Sebabkan Bencana Minyak di Teluk Balikpapan

Menurut data yang dihimpun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), kerusakan paling besar terdapat pada kawasan hutan mangrove yang mencapai 60% dari total kerusakan lingkungan yang disebabkan pencemaran minyak Pertamina. Sebanyak 270 hektar hutan mangrove di Balikpapan dan Kabupaten Paser Utara terdampak pencemaran.

Namun menurut data Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) kawasan Mangrove yang tercemar bisa mencapai 17.000 hektar.

Sementara luas wilayah yang terkena ceceran minyak diperkirakan mencapai sekitar 7.000 hektar yang meliputi pantai, hutan, muara sungai hingga batu karang. Adapun tanah yang terkontaminasi minyak melebihi 42.000 meter kubik di Balikpapan dan di Penajam Paser Utara.

Untuk menanggulangi dampak langsung, Pertamina saat ini telah mulai menyalurkan uang bantuan kepada korban pencemaran minyak. Nelayan yang gagal melaut misalnya mendapat Rp. 200,000 per hari. Sementara keluarga korban yang meninggal dunia mendapat uang tunjangan senilai 200 juta Rupiah.

Kepada harian Bisnis, Walhi mengklaim dibutuhkan waktu setidaknya 8 bulan untuk menanggulangi dampak pencemaran. Sebab itu organisasi lingkungan tersebut mendesak Pertamina agar menyusun rencana jangka panjang pemulihan Teluk Balikpapan. "Upaya pemulihan yang kita mau harus jangka panjang, karena krisisnya jangka panjang” tutur Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Timur, Fathur Roziqin Fen.

rzn/hp (kompas, mongabay, bisnis, nytimes, afsc, adec)