1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Kesan dan Pengalaman Diundang Proyek Kolaborasi Seni Jerman

Elyandra Widharta
11 September 2020

Undangan proyek seni ini bersifat laboratorium terbuka. Hampir setiap pagi mulai jam 10.00 waktu Leipzig kegiatan dimulai dengan berbagi pengalaman berkesenian. Oleh: Elyandra Widharta.

https://p.dw.com/p/3iGFb
Kota Wittenberg
Kota WittenbergFoto: Elyandra Widharta

Tiga tahun lalu pada bulan Juni tahun 2017, saya mendapat kesempatan diundang secara pribadi sebagai seniman Indonesia untuk tampil kolaborasi bersama 11 seniman dari berbagai negara, antara lain Amerika, Bangladesh, Belgia, Jerman, Spanyol, Damaskus, dan Indonesia. Proyek seni kolaborasi ini merupakan rangkaian dari acara Sidang Raya Gereja dalam rangka World Communion Reformed of Churches di kota Leipzig, Jerman.

Elyandra Widharta
Elyandra WidhartaFoto: Elyandra Widharta

Mulanya saya kaget dan heran saat menerima undangan melalui email untuk turut dalam proyek seni berbasis residensi dan laboratorium terbuka ini. Kesempatan ini tentu tidak saya lewatkan.

Mengunjungi Jerman menjadi perjalanan pertama kali saya keluar negeri. Jerman merupakan negara yang saya impikan untuk dikunjungi karena perkembangan seni kontemporer yang cukup pesat.

Apa yang saya alami selama perjalanan menuju Leipzig, saya selalu menyebutnya ´rezeki´. Saya tak tahu awalnya kenapa saya yang diundang? Saya juga tak kenal siapa di balik usaha rekomendasi ke dua kurator asal Jerman, Peter Winkels dan Jorg Reckhenrich. Saya hanya menilisik yang merekomendasikan nama saya masuk dalam jajaran 11 seniman yang diundang, dialah Hanns Lessing. Dia merupakan Ketua atau Koordinator Umum Sidang Raya Gereja-gereja Reformasi Sedunia. 

Undangan proyek seni ini bersifat laboratorium terbuka. Hampir setiap pagi mulai jam 10.00 waktu Leipzig kegiatan saya mulai dengan berbagi dan bertukar informasi tentang pengalaman berkesenian. Selama diskusi bersama seniman lainnya, saya selalu diajak untuk berani mengungkapkan gagasan mengenai praktek kesenian yang saya jalani selama ini.

Setiap gagasan yang terlontar dari setiap seniman selalu kami catat dalam kertas, berupa premis, lontaran kata, tema, maupun lintasan kata yang datang hari itu juga. Seorang kurator bernama Jorg Reckhenrich mengelaborasi dari setiap tanggapan, kritik, maupun komentar yang terjadi di setiap laju diksusi. Ya, saya kemudian menjadi belajar bagaimana masuk dalam medan kesenian modern. Mereka rata-rata seniman kontemporer yang menggunakan medium performance, instalasi, new media, video art, bahkan koreografer teater tari.

Elyandra Widharta bersepeda di kota Leipzig
Bersepeda di kota LeipzigFoto: Elyandra Widharta

Selama mengikuti residensi untuk proyek seni ini, selama dua minggu kegiatan saya juga tidak melulu soal kesenian. Saya juga diberi kesempatan untuk berkunjung ke Pemukiman Komunitas Migran Timur Tengah, rumah penampungan tersebut semacam shelter yang dikelola oleh pemerintah Jerman sebagai fasilitas untuk peduli dengan kaum imigran. Beberapa karyawan shelter tersebut adalah anak muda Jerman. Saya menyaksikan banyak anak-anak mendapatkan pendampingan dari beberapa relawan Jerman. Salah satunya bernama Katarina. Melalui Katarina, saya banyak bertanya mengenai kegiatan sosialnya selama ini mendampingi anak-anak untuk aktif dalam sebuah program komunitas belajar.

Pengalaman lainnya, saya pernah diajak oleh Jorg jalan-jalan mengelilingi kota Leipzig menyaksikan performance art salah satu artis yang terlibat dalam Art Project ini. Ia bernama Angelina (seorang performance narative). Performance diadakan di seputar kota dimana pusat pertokoan dan gedung-gedung bersejarah bisa berjajar berpadu rapi. Ya, Leipzig dikenal dengan banyaknya gedung cagar budaya yang menyatu dengan arsitektur modern bahkan kontemporer.

Angelina bercerita kepada penonton secara verbal, mirip seperti sebuah presentasi yang dilakukan di luar ruangan dan penonton diajak langsung melihat lokasi-lokasi perubahan yang terjadi. Angelina mempaparkan narasi tentang memori personalnya tentang bangunan, arsitektur, Yahudi, kekuasaan Hitler, peninggalan, dan sebagainya. Intinya saya malah seperti nonton guide yang sedang mendongeng tentang sejarah kotanya.

Artikel koran tentang proyek seni di Leipzig
Artikel koran tentang proyek seni di LeipzigFoto: Elyandra Widharta

Jadwal saya setiap pagi selalu awali dengan diskusi bersama seniman lain di Poge Haus. Setelah itu menjelang sore kami diajak mengunjungi berbagai tempat yang masih berhubungan dengan proyek kesenian kami.

Suatu sore, saya bersama seniman lain diajak mengunjungi Galerie fur Zeitgenossische Kunst Leipzig atau sering familiar dengan Galerie Kunst. Bersama dengan Sandra Schubert selaku organizer art project ini kita diajak menyaksikan pameran seni visual kontemporer bertajuk China Afrika Underconstruction. Galeri tersebut memang dibangun khusus memamerkan karya seni visual kontemporer dan terletak tidak jauh dari Akademi Seni Leipzig.

Proyek seni di Leipzig inilah yang mempertemukan saya dengan seorang koreografer tari kontemporer Heike Hennig. Sejak awal saya memang menaruh perhatian pada ibu ini, karena sebelumnya saya sempat mencari namanya di Google dan menemukan beberapa karya miliknya melalui video dan foto.

Sejak pertemuan pertama di Poge Haus, saya utarakan keinginan saya untuk gabung dengan beliau dan dia dengan senang hati menerima saya. Ini sebuah kehormatan besar bagi saya. Dia juga ternyata sempat searching nama saya dari Google dan menonton beberapa karya yang pernah saya buat.

Obrolan seru terjadi dengan Heike Hennig, yang sedari awal memang ingin mengorek pengalaman dan aktivitas seni yang selama ini saya buat di Indonesia. Obrolan itu akhirnya menyepakati gagasan yang ingin kami sampaikan di presentasi pertunjukan tanggal 1 Juli 2017 sebagai karya kolaborasi. Heike Hennig menggunakan material tali yang dibuat dengan rajutan manual. Dia mengajak saya berkunjung ke sebuah play ground khusus untuk lansia di kota Leipzig. Di sana terdapat ibu-ibu lansia yang membuat rajutan benang berwarna merah. Heike bercerita bahwa tali yang sedang dianyam tersebut menjadi bahan dari pertunjukan kolaborasi kami.

Sehari sebelum hari pementasan kolaborasi, saya diajak mengunjungi kota Wittenberg (foto artikel). Ditempuh dengan kereta dari Leipzig sekitar 40 menit. Saya, bersama Sandra, Oscar, Shadin, dan Daniel sesampainya di Wittenberg, kami ingin melihat pameran seni visual Luther un die Avant Garde di Offnungszeiten Taglich Wittenberg. Tempat pamerannya di sebuah gedung lawas bekas penjara yang di display menjadi sebuah galeri. Wittenberg memang cukup ramai karena sedang diselenggarakan semacam festival peringatan reformasi Martin Luther. Jadi sepanjang jalan menuju area Lutherhaus dan kawasan gereja-gereja para rasul di Wittenberg terdapat bazar mulai dari pertunjukan musik, food court, pameran buku dan merchandise lengkap semua terjadi disana.

Jalan-jalan menuju kawasan Lutherhaus, saya sempatkan beli makan siang, karena sejak pagi belum sarapan. Saya membeli Bratwurst, katanya belum sah jika sampai Jerman belum mencicipi Bratwurst. Saya menikmati perjalanan di sepanjang Lutherhaus. Melihat gereja tua bekas saksi di mana karya reformasi Martin Luther pertama kali dilakukan di Wittenberg Jerman sekitar abad 15. Banyak bangunan-bangunan tua yang kemudian dialihfungsikan menjadi semacam pusat pertokoan namun juga bersanding dengan bangunan baru yang modern. Kawasan ini cukup bersih dan asri. Setiap wisata yang berkunjung di sini juga tersedia semacam shuttle bus. Jika ingin menikmati setiap detail dan masuk gang-gangnya harus jalan kaki.

Nikolaikirche di Leipzig
Nikolaikirche di LeipzigFoto: Elyandra Widharta

Tiba waktunya pada tanggal 1 Juli 2017, saya pentas bersama Heike Hennig dan Julie Meckert (aktor teater). Kami bertiga sepakat membawakan judul tentang Red Thread, di mana benang yang kami pakai adalah hasil rajutan para wanita lansia di Leipzig. Keterlibatan kolaborasi kami mendapat dukungan dari lain pihak yang justru memberi energi lebih pada waktu itu. Bahkan saat kami pentas di halaman Gereja Nikolaikirche cuaca sudah mendung tebal, namun hujan turun ketika saya selesai pentas. Kinerja kolaborasi pertunjukan teater tari melibatkan penonton yang semuanya adalah peserta Sidang Raya Gereja Reformasi Sedunia dari berbagai belahan dunia.

Leipzig adalah pengalaman tiada dua. Saya sendiri tidak menyangka akan pergi sejauh itu, padahal saya hanya pernah berangan-angan dalam dream book yang pernah saya tulis di tahun 2009 bahwa saya kelak tahun 2012 bisa pentas keluar negeri dengan membawa misi kemanusiaan. Keinginan itu pernah saya tulis dalam buku kecil, tapi Tuhan menjawab itu lima tahun kemudian. Meskipun pentas yang saya bawakan masih jauh sekali dari keinginan tentang gagasan kemanusiaan, tapi paling tidak saya dapat pembelajaran banyak dan pengalaman ketika saya memilih gagasan "equal” di mana kata itu kemudian saya diskusikan dengan Heike Hennig sehingga menjadi pertunjukan "Red Thread”. Bagaimana pun ini semua adalah Rezeki dengan R besar, saya selalu bersyukur untuk itu.

*Elyandra Widharta, Pegiat seni dan teater, tinggal di Yogyakarta

**DWNesiaBlog menerima kiriman blog tentang pengalaman unik Anda ketika berada di Jerman atau Eropa. Atau untuk orang Jerman, pengalaman unik di Indonesia. Kirimkan tulisan Anda lewat mail ke: dwnesiablog@dw.com. Sertakan 1 foto profil dan dua atau lebih foto untuk ilustrasi. Foto-foto yang dikirim adalah foto buatan sendiri. (hp/ha)