1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Jerman Yang Menghormati Sejarah Bangsanya

30 November 2018

Ada keistimewaan ketika memasuki kompleks museum Holocaust. Setiap pengunjung diberikan selembar topi khas Yahudi. Oleh Diah Wahyuningsih Rahayu.

https://p.dw.com/p/39CoY
Reise nach Frankfurt am Main 2016
Foto: Privat

Sebenarnya laman DWNesiaBlog ini sudah sering saya baca. Beberapa informasi  berkaitan dengan Jerman, saya dapatkan dari postingan sesama teman di salah satu media sosial. Di bagian akhir setiap cerita-cerita yang pernah dimuat dalam blog ini ternyata ada informasi yang mengajak siapa saja untuk bercerita tentang pengalamannya selama berkunjung ke Jerman atau selama ada di Jerman. Catatan di bagian bawah tersebut membuat saya tertarik membagikan pengalaman pribadi ketika kali pertama ke Jerman yang berlangsung kurang lebih seminggu.

Pengalaman menarik saya bersinggungan dengan satu tempat bersejarah yang kebetulan sempat saya kunjungi di pusat kota Frankfurt am Main. Kesan-kesan saya pada tempat tersebut sempat saya bagikan kepada siswa saya di depan kelas sekaligus memperlihatkan foto lokasinya.

Reise nach Frankfurt am Main 2016
Diah Wahyuningsih RahayuFoto: Privat

2016, tepatnya di awal bulan November, saya bersyukur memperoleh kesempatan langka berkunjung ke benua Eropa yaitu Jerman. Kedatangan saya dalam rangka mengikuti Konferensi Internasional di Goethe Universitat.  Mimpi saya melihat salju kesampaian walau kehadiran saya di saat itu belum memasuki musim dingin namun ada beberapa kota lain di Jerman sudah turun salju, seperti Hamburg sesuai keterangan teman saya yang asli Jerman.

Perjalanan saya luar biasa melelahkan. Dari Bandara Soeta, saya menggunakan pesawat Singapore Airlines menuju bandara Changi-Singapore. Tiket yang dipesan panitia memang menggunakan rute transit  Singapore. Saya sendiri berdomisili di Batam. Seharusnya akan lebih irit waktu dan ongkos bila saya menyeberang langsung ke Singapore lewat Batam. Tapi berhubung Visa saya dipegang teman, mau tidak mau saya harus menemuinya di Jakarta.

Kami  berangkat ke tujuan yang sama dengan menggunakan pesawat yang berbeda. Biasanya saya sedikit parno berpergian menggunakan pesawat padahal pengalaman menggunakan pesawat untuk perjalanan bukan kali pertama. Lelahnya perjalanan saya karena ditempuh dalam waktu kurang-lebih 16 jam.

Sesampainya di Bandara Frankfurt, saya mengalami sedikit kendala. Mungkin karena saya menggunakan Hijab sehingga pertanyaan saat melewati pos Imigrasi terasa menyulitkan. Syukur alhamdulillah akhirnya semua berjalan lancar setelah saya perlihatkan surat rekomendasi perjalanan dari penyelenggara.

Banyak hal baru saya rasakan di Jerman, misalnya penjagaan keamanan begitu ketat. Saya katakan demikian sebab saya tidak melihat hal serupa terjadi di Bandara Indonesia. Hampir setiap sudut Bandara ada aparat keamanan lengkap dengan senjata laras panjang, menjadi pemandangan lumayan menakutkan. Jujur saya agak gugup melirik pasukan berseragam plus bersenjata. Tapi sekali lagi, dalam benak saya itu adalah hal wajar mengingat negara-negara Eropa selalu jadi target bom para teroris. Sikap siaga mereka bisa jadi bentuk perlindungan negara terhadap rakyatnya. Apalagi sebulan sebelumnya terjadi pengeboman bandara di Belanda.

Sampai di Kampus Goethe Universität Frankfurt, suhu udara mencapai 2 derajat Celsius. Bagi mereka yang  tinggal di empat musim, ini adalah biasa, tapi tidak bagi saya. Saya pikir dinginnya Jerman sama seperti dinginnya Berastagi, daerah dataran tinggi di Sumatera Utara.Belum lagi gerimis sering turun tidak menentu, ditambah hembusan angin nyag membuat tulang-tulang serasa digempur bongkahan salju. Maklum saja kadang kala saya sedikit lugu.

Untungnya dari Indonesia rangkaian pesan dan kesan sudah terhimpun di kantung ajaib saya, sehingga dari Indonesia saya sudah mempersiapkan segala perlengkapan demi sebuah kehangatan. Kami disambut oleh ketua penyelenggara kegiatan di kampus lama, yaitu kampus Bockenheim, dan hari berikutnya acara dipusatkan di kampus baru di kawasan Westend.

Deutschland Frankfurt Westend Synagoge
Sinagog di Westend, Frankfurt a.M.Foto: DW

Kunjungan ke museum Holocaust

Singkat cerita, setelah aktifitas pokok, yaitu Konferensi Internasional di Frankfurt, selesai, ada kesempatan mengunjungi tempat-tempat bersejarah yang sudah diagendakan panitia. Paling menarik bukan hanya melihat aktifitas masyarakat Jerman terutama kehadiran tuna wisma di sudut kota, atau rasa hormat teman-teman Jerman saya yang selalu mengingatkan agar tidak lupa mana makanan halal, mana haram, melainkan juga kunjungan rombongan  peserta meninjau Museum Holocaust atau Jewish Holocaust Memorial Wall, didampingi seorang volunteer. Ada keistimewaan ketika memasuki kompleks itu. Setiap pengunjung diberikan selembar topi khas Yahudi. Tujuannya tidak lain dan tidak bukan sebagai bentuk penghormatan arwah yang bersemayan di dalamnya.

Lokasi ini buat saya pribadi sangat menarik. Pertama, hampir setiap Jewis Holocaust Memorial Wall di Jerman lebih banyak dilestarikan oleh para volunteer. Mereka selalu menjadi bagian penting dari perawatan museum Holocaust. Menurut keterangan, pemerintah Jerman sengaja mulai mengurangi anggaran pemeliharaan situs-situs bersejarah seperti museum Holocaust. Akan tetapi situs-situs itu tidak lantas jadi tempat terbengkalai.

Hal menarik kedua, melihat situs yang merupakan ladang pembantaian korban kekejaman pasukan Nazi membuat saya terkesima, karena ada terpampang papan-papan nama berukuran kurang lebih tiga kali kartu ATM, yang disusun rapi di dinding tembok. Di atas papan nama, kita akan sering melihat batu-batu kecil. Keberadaan batu-batu kecil itu merupakan pertanda bila sanak-keluarga mereka  pernah mengunjungi serta berziarah walau hanya dari luar tembok. Ungkapan doa mereka sampaikan sembari meletakan batu sebagai cara mengirim pesan cinta kepada arwah.

Ini berbeda jauh dari ladang pembantaian di Indonesia. Bila ingin menarik kisah ke belakang, bangsa Indonesia pernah melakukan tindakan setaraf Holocaust di tahun 1965-66. Pembantaian ini berlaku buat Kelompok Kiri yang dituduh sebagai dalang pembunuhan para Jenderal pada peristiwa G 30 S. Sampai kini masih terdapat penolakan kuburan massal korban pembantaian itu. Sebut saja salah satunya Jembatan Bacem di Jawa Tengah atau Sungai Ular di Sumatera Utara.

Frankfurt a. Main Museum Judengasse Blick in die Ausstellung
Museum Yahudi Judengasse, Frankfurt a.M.Foto: Norbert Miguletz, Jüdisches Museum Frankfurt

Sejarah yang tak pernah dilupakan

Menyaksikan kompleks Killing Fields Jewish Holocaust Memorial Wall membuat saya merasa haru. Saya sempat berfoto di dalam kompleks, ada rasa bahagia menyaksikan bagaimana besarnya penghormatan negara terhadap korban. Nama-nama para korban terpampang, memberi pertanda bila keberadaan mereka tetap dikenang. Penghormatan tersebut lebih memanusiakan korban atas nasib yang telah menghantarkan mereka pada TuhanNya.

Negara Jerman berusaha memberikan penghormatan terakhir walaupun cuma lewat pembangunan memorial. Jauh berbeda dengan korban di tahun 1965-66. Peristiwa pembantaian di Jerman sepertinya sejarah panjang dan tidak akan pernah dilupakan. Setidaknya museum-museum Holocaust tersebut mewakili hadirnya negara dibalik kekejaman sejarah bangsa Jerman. Siapapun dia, cara mengabadikan penderitaan korban Nazi sangat  diapresiasi. Minimal luka sejarah bangsa Jerman dirawat sedemikian rupa, kemudian diobati lewat penghormatan kepada korban, agar generasi selanjutnya paham bila  Jerman -negara besar di Eropa- tidak luput dari kesalahan sejarah dan peristiwa yang sama sangat diupayakan tidak terulang.

Semuanya berbanding terbalik dengan keadaan di Indonesia. Kalau mau lebih jauh bicara jujur, peristiwa pembersihan Kelompok Kiri sulit sekali diselesaikan. Bangsa kita belum sanggup menerima segala sesuatu yang berkaitan dengan G 30 S. Semakin lama usia peristiwa, semakin menyebabkan bangsa Indonesia sakit. Sikap diskriminasi, stigmatisasi dan persekusi gampang terjadi pada Kelompok Kiri. Hingga sekarang sejarah berdarah-darah itu belum dibuka.

Mengobati luka masa lalu

Kita belum siap belajar dari Jerman, belum sanggup menerima kekelaman masa lalu. Kesalahan kepada Kelompok Kiri, Kelompok Nasionalis di barisan Soekarno, juga Kelompok orang-orang yang hilang tanpa tahu apa salah dan dosanya terus diabadikan. Kita masih terus berkutat di arus sejarah tanpa arah. Sepertinya, Jerman sudah jauh melangkah dalam meluruskan luka bangsanya.

Satu lagi, ketika kami menuju pusat ladang pembantaian, kami sempat dibawa ke satu tempat. Dulunya juga tempat pembantaian. Untuk menghormati korban, pemerintah Jerman membiarkan sebongkah batu besar dimana turut disertakan papan  nama-nama korban dengan ukuran besar. Cukup banyak daftar nama korban di papan tersebut. Bongkahan batu itu letaknya tepat di pojok perempatan kota Frankfurt.

Reise nach Frankfurt am Main 2016
Foto: Privat

Bagi saya pribadi, kunjungan seminggu di Jerman tidak akan hilang dari ingatan. Rasa kagum saya membuncah menyaksikan langsung cara-cara bangsa Jerman merawat memori atas luka sejarah bangsanya. Jerman telah berhasil mengelola masa lalu, telah mampu mengobatinya, dan Jerman jadi cermin bagi bangsa kita, seperti apa sebaiknya belajar dari masa lalu.

Rasa terima kasih saya sangat besar karena melihat situs sejarah seperti Jewish Holocaust Memorial Wall, menjadi pengalaman yang selanjutnya  membuat saya merasa punya tanggung jawab untuk bercerita banyak ke siswa saya. Sekurang-kurangnya situs sejarah itu memberi inspirasi, andai suatu waktu Indonesia siap mengobati lukanya. Minimal, Indonesia punya kesepakatan bersama bahwa Luka Kita adalah Luka Bangsa.

**DWNesiaBlog menerima kiriman blog tentang pengalaman unik Anda ketika berada di Jerman atau Eropa. Atau untuk orang Jerman, pengalaman unik di Indonesia. Kirimkan tulisan Anda lewat mail ke: dwnesiablog@dw.com. Sertakan 1 foto profil dan dua atau lebih foto untuk ilustrasi. Foto-foto yang dikirim adalah foto buatan sendiri.