1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Terorisme

Kelompok Teror Tidak "Mengenal" Pandemi Corona

25 Juni 2020

Di tengah pandemi corona, kelompok-kelompok aksi teror terus berupaya merekrut anggota baru mereka melalui dunia maya di mana anak muda lebih rentan terhasut. Masyarakat perlu peka untuk mengamati lingkungan sekitarnya.

https://p.dw.com/p/3eGh5
Densus 88
Foto: Getty Images/AFP//Str

Selama periode Januari hingga Juni 2020, ada 84 tersangka terkait dengan jaringan terror yang aksinya berhasil digagalkan aparat penegak hukum. Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) melaporkan data ini dalam rapat dengan Komisi III DPR, Selasa (23/06). Kepala BNPT Komjen Boy Rafli Amar tegaskan pihaknya terus berkoordinasi dengan aparat penegak hukum yang ada untuk menanggulangi isu-isu terorisme di Indonesia.

Analis intelijen dan keamanan Stanislaus Riyanta menilai pengawasan dan penyelidikan 84 tersangka tersebut tak lepas dari kebijkaan yang telah dikeluarkan pemerintah melalui UU Nomor 5 Tahun 2018  tentang Terorisme, yang memberikan kewenangan aparat penegak hukum untuk melakukan pencegahan.

“Penangkapan 84 orang ini karena memang menjalankan perintah UU Nomor 5 Tahun 2018 dengan baik,” ujar Stanislaus saat dihubungi DW Indonesia, Rabu (24/06) sore.

Indonesien Stanislaus Riyanta Blogger
Analis intelijen dan keamanan Stanislaus RiyantaFoto: Privat

Ia menjelaskan bahwa kelompok radikal terorisme yang ada di Indonesia didominasi oleh kelompok yang berafiliasi dengan ISIS. Stanislaus mengatakan pasca ISIS kalah dan kehilangan wilayahnya di Suriah pada awal tahun lalu, membuat simpatisan yang ada di Indonesia mulai menggencarkan serangan di dalam negeri.

Analis intelijen dan keamanan ini menambahkan nantinya aksi-aksi serangan akan dilakukan melaui sel-sel keluarga dan lone wolf -aksi terorisme yang dilakukan secara mandiri- karena dianggap sulit untuk dideteksi. “Alasannya karena memang sel keluarga ini tidak mudah terdeteksi. Mereka hanya berkomunikasi di internal keluarga, itu tidak dicurigai apalagi lone wolf,” ungkap Stanislaus.

Anak muda yang mencari jati diri

Dalam beberapa kesempatan, Kepala BNPT Komjen Boy Rafli Amar kerap mengungkapkan bahwa kini fenomena perekrutan anggota jaringan teror dilakukan melaui dunia maya. Ia juga mengatakan bahwa pelaku terorisme atau seseorang yang menganut paham radikal tertentu tidak dapat diidentifikasi hanya melalui penampilan dan cara berpakaian.

Senada dengan Boy, Stanilaus menjelaskan bahwa metode perekrutan anggota jaringan teror telah berubah seiring perkembangan zaman dan teknologi.

“Mereka menyebar konten-konten di dunia maya dan mereka melihat siapa yang menangkap konten itu. Kemudian mereka akan kontak orang itu. Mereka punya website, bisa melihat orang yang tertarik, mengklik berapa kali, mereka akan merespon,” papar Stanislaus.

Ia pun memperingatkan agar masyarakat tidak mudah tertipu dengan gerakan propaganda kelompok-kelompok jaringan teror, salah satunya medium majalah online Dabiq yang digunakan ISIS untuk merekrut anggota-anggotanya. Anak muda, menurut Stanislaus, lebih mudah untuk terpapar paham radikal terorisme.

“Saya mewawancarai beberapa remaja yang terlibat kasus terorisme. Mereka ngomong membaca (majalah) ini...Sebenarnya mereka menebar konten itu secara acak, banyak sekali. Tapi usia yang terkait hal-hal seperti itu yang mungkin butuh eksistensi, heroisme, itu kan usia muda, orang yang mencari jati diri,” tuturnya.

Manfaatkan momentum pandemi corona

Stanislaus yang tengah menyelesaikan program doktoral di Universitas Indonesia ini pun mengingatkan pemerintah untuk tetap fokus dalam menanggulangi isu-isu terorisme di tengah pandemi Covid-19 saat ini. Hal ini berdasarkan temuan kasus terbaru di Poso pada April lalu, ketika beredar video berdurasi satu menit di mana pentolan jaringan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) Ali Kalora menyebut thogut akan tersungkur karena virus corona.

“Thogut akan jatuh dan tersungkur dengan corona, dengan peperangan ini, Insyaallah dalam waktu dekat,” demikian bunyi video tersebut. Hal ini pun berlanjut dengan penyerangan kepada anggota polisi di Poso pertengahan April lalu oleh dua anggota MIT. Kedua pelaku akhirnya ditembak mati oleh petugas.

Corona ini jadi salah satu celah yang dimanfaatkan mereka untuk menjalankan aksi teror,” analis intelijen dan keamanan ini menekankan.

Lebih lanjut Stanislus mengimbau masyarakat untuk peka terhadap lingkungan sekitarnya. Jika ditemukan adanya individu yang memiliki “perilaku menyimpang”, masyarakat dapat melaporkan kepada pihak berwenang. Ini menurutnya merupakan upaya dari deteksi dan cegah dini radikal terorisme di masyarakat.

“Pertama di tingkat keluarga, kenali keluarga. Pastikan bahwa keluarganya tidak ada yang terpapar paham radikal terorisme. Setelah keluarga aman baru lihat kanan kirinya, apa ada tetangga-tetangga yang mungkin ada indikasi terpapar paham radikal terorisme. Ketika keluarga aman, kanan kiri aman, dan pemantauan akan semakin melebar, ini dampaknya bagus bagi negara,” pungkasnya.

rap/as (dari berbagai sumber)