1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Ketika Muslim Melepaskan Keyakinan

Naomi Conrad18 April 2014

Takut diasingkan keluarga, atau bahkan dibunuh, banyak eks-Muslim memilih untuk tidak mengumumkan pilihan mereka. Sebuah organisasi Jerman memberi bantuan bagi mereka yang memilih keluar dari agama.

https://p.dw.com/p/1Bk0b
Foto: picture-alliance/dpa

Berpaling dari Islam? Minna Ahadi menjelaskan bahwa dirinya tidak merasa aman menggunakan namanya dan istilah 'eks-Muslim' di ranah publik - bahkan di Jerman. Ahadi terus mendapatkan surat tak bernama yang berisi ancaman tembakan, atau peringatan dirinya akan mengalami kecelakaan mobil.

Alasannya, pada tahun 2007 Ahadi adalah salah satu pendiri Dewan Pusat Eks-Muslim, sebuah asosiasi bagi orang-orang di Jerman yang memilih untuk meninggalkan Islam. Dengan melakukan ini, ia ingin mengambil "posisi yang provokatif" terhadap label 'Muslim,' yang hampir selalu otomatis diberikan bagi para imigran dari negara-negara Arab - baik mereka itu sekarang menganut agama Kristen, ateis, atau memang Muslim.

Polisi harus mengawasi rumah Ahadi selama berbulan-bulan. Bahkan sekarang ia tak lagi keluar sendirian. Ia sangat takut seseorang mengenalinya sebagai seorang eks-Muslim.

Mouhanad Khorchide, direktur Pusat Teologi Islam di Münster, mengatakan memang ada kelompok-kelompok dalam Islam, terutama dalam lingkaran Salafiyah yang radikal, yang melafalkan hukuman mati bagi mereka yang murtad.

Namun tidak semua cendekiawan Islam setuju atas langkah ini, ungkap Khorchide. "Al-Qur'an hanya menyatakan bahwa Allah akan menghukum mereka yang murtad di akhirat. Tidak disebut apapun mengenai hukuman di bumi."

'Sebuah dosa besar'

Mouhanad Khorchide: ekstremis yang radikal menjadi ancaman terbesar bagi eks-Muslim
Mouhanad Khorchide: ekstremis yang radikal menjadi ancaman terbesar bagi eks-MuslimFoto: WWU-Peter Grewer

Dan meskipun sejumlah negara Islam, seperti Arab Saudi dan Iran, memberlakukan hukuman mati bagi warga yang keluar dari Islam, Khorchide yakin ancaman terbesarnya datang dari individu yang merasa terpanggil untuk bertindak atas inisiatif sendiri.

Teolog Bekir Alboga dari Persatuan Turki-Islam untuk Urusan Agama (DITIB) mengatakan individu-individu yang dimaksud oleh Khorchide adalah "fundamentalis yang teradikalisasi" yang membentuk minoritas kecil dalam masyarakat Muslim, dan kerap menemukan sendiri ekstremisme Islam melalui internet.

Alboga mengatakan ajaran Islam melarang paksaan: "Firman dalam Al-Qur'an sudah jelas: Siapapun yang mencoba untuk memaksa seseorang untuk menerima Islam, atau bertahan dalam Islam, mereka berbuat dosa besar."

Mengakui bahwa dirinya tidak lagi percaya akan Tuhan adalah sebuah langkah besar, ucap Ahadi. Tidak sedikit orang yang tetap beribadah layaknya penganut agama yang tidak lagi mereka percayai: remaja perempuan memakai jilbab sesaat sebelum tiba di rumah, atau remaja lelaki pergi ke masjid bersama ayah mereka dan pura-pura salat.

Khorchide menilai ini bertentangan dengan kebebasan yang diberikan dalam Al-Qur'an untuk melepaskan keyakinan. Ia mengajarkan kepada anak didiknya bahwa hanya niat tulus yang diterima. "Yang lainnya hanyalah pendidikan menuju kemunafikan."

'Semua orang berhak menentukan keyakinan'

Saif Al-Basri, seorang mahasiswa kedokteran di Münster, berkisah bahwa dirinya perlu dua tahun untuk jujur kepada keluarganya di Bagdad bahwa ia seorang ateis. Ia mengatakan kepada keluarganya bahwa ia tidak bisa lagi percaya kepada Tuhan. Secara mengejutkan, reaksinya cukup positif: Keluarganya tidak menyetujui keputusannya, tapi menerima. Pamannya berusaha meyakinkan Saif bahwa dirinya cuma bingung, dan harus berpikir ulang, atau ia terancam masuk neraka. "Tapi mereka cukup normal, perbincangannya damai. Di luar harapan saya."

"Tentu perang saudara menjadi satu faktor yang membuat saya berpikir," tutur Saif. Pada akhirnya ketidakcocokan antara agama dan sains menjadi terlalu hebat, ide mengenai Tuhan menjadi tidak masuk akal baginya.

Setiap agama itu berbahaya, kata Saif, karena tidak menawarkan pilihan. "Setiap orang berhak untuk meyakini sesuatu, bahkan kalau mau Monster Spaghetti Terbang - selama tidak menyakiti orang lain." Namun seringkali generasi muda tidak mendapatkan pilihan ini, dan disodorkan gagasan mengenai dosa dan neraka. Kalau sudah begini, menurut Saif, agama menjadi "terorisme."

Waleed Al-Husseini mengkritik Islam melalui blognya – dan kemudian dipenjara lalu dikucilkan
Waleed Al-Husseini mengkritik Islam melalui blognya – dan kemudian dipenjara lalu dikucilkanFoto: privat

Saif yang membuat blog di Jerman juga menerima ancaman kematian. "Fanatik ada di mana-mana, bahkan online," tukasnya.

Dan ketakutan semacam ini bukannya tanpa basis: Waleed Al-Husseini, yang menerbitkan blog yang kritis terhadap Islam di Tepi Barat dengan menggunakan nama asli, ditangkap tahun 2010. Ia mendekam di penjara selama 10 bulan. Dan ketika dilepaskan, banyak yang berkata padanya: "Anda tidak diterima lagi di sini." Bahkan muncul seruan untuk menggantungnya di hadapan publik.

Waleed, yang sekarang tinggal di Perancis, mengakui dirinya harus lebih berhati-hati dalam melindungi identitas. "Namun saya tidak tahu kalau saya akan ditangkap hanya karena mengkritik Islam."

Ia mengatakan dirinya kemungkinan besar tidak akan pernah bisa kembali ke wilayah Palestina. Namun ia bersikeras dirinya tidak menyesali perbuatannya. Apabila ia hanya berpura-pura dalam mempercayai Tuhan, katanya, "ini berarti saya berbohong tidak hanya kepada diri sendiri, tapi juga kepada semua Muslim." Dan ini, menurutnya, salah.