1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Ketika  Protokol COVID-19 Bentrok dengan Ritual Agama 

10 Juli 2020

Penjemputan paksa jenazah COVID-19 marak terjadi di Indonesia. Beberapa kalangan menganggap hak-hak mereka dilanggar karena tidak bisa memakamkan secara keagamaan. 

https://p.dw.com/p/3f6pR
berdoa
Gambar ilustrasiFoto: picture-alliance/AP Photo/Nurhasanah

Bulan lalu, seratusan orang dengan paksa mengambil jenazah Muhammad Yunus dari sebuah rumah sakit di Makassar. Mereka menggangap mustahil jika ustaz berusia 49 tahun itu meninggal dunia  karena virus corona. “Dia selalu mencuci tangannya, memakai masker dan mengikuti protokol kesehatan yang ditetapkan pemerintah”, demikian menurut warga setempat.  

Jadi ketika dia meninggal dunia sehari setelah pergi ke rumah sakit dengan keluhan nyeri di bagian dada dan kesulitan bernapas, para pengikutnya bertekad untuk mengambil jenazahnya untuk bisa melakukan apa yang mereka anggap sebagai pemakaman yang layak bagi kaum muslim. Lebih dari 100 orang meluruk masuk ke rumah sakit, mengancam para perawat dan akhirnya membawa jenazah Yunus kurang dari 30 menit setelah kematiannya.  

“Apa yang kami lakukan adalah mulia di mata Tuhan, tetapi tercela di mata hukum dunia, '' kata seorang anggota masyarakat setempat yang bernama Ramli, dikutip dari Associated Press. Peristiwa pengambilan jenazah secara paksa seperti di Makassar ini bukan satu-satunya kasus. 

Seiring meningkatnya jumlah kematian akibat COVID-19 di Indonesia, beberapa kalangan merasa protokol yang diberlakukan pemerintah untuk menangani jenazah korban pandemi tidak sesuai dengan tata cara keagamaan. Situasi ini memicu meningkatnya insiden pengambilan paksa jenazah dari rumah sakit serta penolakan prosedur kesehatan dan keselamatan COVID-19. Beberapa pakar menyebutkan hal ini terjadi karena kurangnya komunikasi dari pemerintah. 

Berpotensi tularkan virus 

Jenazah korban COVID-19 dicemaskan berpotensi menularkan virus, oleh sebab itu protokol kesehatan diberlakukan untuk pemakamananya. Ritual yang biasanya dilakukan oleh keluarga diambil alih oleh petugas dari jawatan yang menangani pandemi COVID-19. 

Petugas penanganan jenazah, Sahrul Ridha mengatakan pekerjaannya telah berubah sejak pecahnya wabah COVID-19. Waktu kerjanya berjam-jam lebih lama, dan lebih banyak orang diminta bergiliran dalam menangani jenazah. Dia pun mengurusi penguburan dengan prosedur keagamaan karena keluarga tidak bisa melakukannya. 

“Meskipun ini adalah situasi darurat, kita harus memandikan jenazah, melakukan wudhu dan membungkus jenazah yang terinfeksi secara benar,“ kata Ridha. 

Di Indonesia hingga Kamis (09/07) tercatat sudah lebih dari 68.000 kasus positif corona, termasuk lebih dari 3.350 angka kematian. Kasus infeksi dan kematian akibat COVID-19 di Indonesia tercatat yang tertinggi di Asia Tenggara. 

Di sebuah kuburan di Jakarta, para penggali kubur seperti Imang Maulana bekerja dari pagi hingga malam, seiring datangnya ambulans yang membawa jenazah kasus COVID-19  yang bolak-balik sepanjang hari. Sementara kuburan digali, keluarga harus menjaga jarak. Pemakaman dengan ritual keagamaan seperti biasanya tidak bisa dilakukan. 

Maulana mengatakan bahwa jika keluarga memintanya untuk melakukan salat jenazah dia biasanya melakukannya, membersihkan diri lagi sebelum mempersiapkan diri untuk pemakaman berikutnya. 

“Saya pikir itu adalah salah satu cara untuk menyampaikan simpati saya kepada keluarga korban,'' katanya. “Saya merasa sangat sedih ketika saya melihat keluarga tidak bisa mendekat saat kita mengubur mayat-mayat itu. Saya tak bisa bayangkan jika hal itu terjadi pada saya atau kerabat saya, kami hanya akan bisa berdoa dari jauh. '' 

Daisy Indira Yasmine, seorang sosiolog di Universitas Indonesia mengatakan bahwa jika biasanya ritual penguburan secara tradisional menjadi urusan pribadi di Indonesia, dengan adanya pandemi COVID-19, mau tidak mau pemerintah campur tangan dengan prosedur kesehatan dan keselamatannya. 

"Beberapa orang melihat protokol itu melanggar budaya mereka," ujar Yasmine. “Mereka kecewa, karena mereka tidak dapat menerima prosedur sesuai dengan protokol keamanan tersebut. Mereka merasa pemerintah melanggar hak mereka.'' 

Masalah lainnya, menurut Yasmine adalah bahwa ada kesenjangan komunikasi antara pemerintah dan masyarakat. Pemerintah mendesak warga mengikuti protokol kesehatan untuk pasien corona, tetapi tanpa mengikutsertakan partisipasi otoritas lokal, sehingga pesan pemerintah sering terabaikan. 

Waktu antara pengujian dan hasil tes corona juga merupakan masalah di Indonesia, yang tergolong salah satu yang rendah tingkat pengujian infeksi coronanya di dunia. Warga di daerah pedesaan mengatakan bahwa hasil tes COVID-19 bisa memakan waktu hingga satu minggu. Kurangnya kepercayaan dan informasi yang jelas telah menjadi problem sistematis di Indonesia, sebagaimana dikutip dari Associated Press. 

Perjuangan Indonesia melawan virus SARS-Cov-2 

Kesenjangan informasi ini dapat memiliki konsekuensi kesehatan yang serius, demikian dilansir dari Associated Press,. Di Kota Makassar, lima dari 13 pria yang dituduh mengambil jenazah Yunus, korban COVID-19 dimasukkan ke dalam fasilitas karantina setelah hasil tes menyatakan mereka  positif terjangkit virus COVID-19. Para pejabat percaya bahwa para lelaki itu mungkin telah tertular virus akibat menangani jenazah Yunus. 

Insiden serupa juga terjadi di beberapa wilayah lain di Indonesia. Pejabat pemerintah daerah di provinsi Jawa Timur menyebut wabah yang terkait dengan pencurian mayat sebagai “klaster jenazah”. Kepala Gugus Tugas Nasional COVID-19 Indonesia, Doni Monardo, mengumumkan bahwa keterlibatan masyarakat dan para pemimpin agama, akan dapat membantu mendukung protokol kesehatan nasional yang digunakan untuk mengerem penyebaran virus . "Kami akan melanjutkan kampanye pencegahan," kata Monardo."Kita tidak bisa bekerja sendirian. Kita membutuhkan dukungan dan disiplin masyarakat." 

Media Zainul  Bahri, dosen Studi Agama-Agama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menyebutkan Syariat Islam mengenal konsep darurat  atau yang dikenal dengan istilah darurat syar'i. Jenazah dimandikan, dikafani, disalatkan lalu dikubur jika situasinya memungkinkan. Namun jika tidak memungkinkan cukup ditayamumi, disalatkan jarak jauh, paparnya. “Menurut Syariat Islam lagi, orang yang meninggal dunia karena wabah penyakit dianggap  mati syahid. Tidak perlu dimandikan, langsung dikubur sesuai protokol kesehatan.”  

Mencermati situasi saat wabah corona saat ini, Media menambahkan: “Jika jenazah yang  dipaksa diambil itu ternyata positif COVID-19 maka yang mengambilnya secara paksa menurut syariat berdosa karena ikut menyebarkan virus. Kecuali hasil tes swab jenazah negatif,” tambahnya. 

Semnetara itu Rifqi Muhammad Fatkhi, yang merupakan kepala program ilmu hadis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengatakan jika umat Islam tahu bahwa di dalam fikih ada kaidah darʿ al-mafāsid muqaddam ʿalā jalb al-maṣāliḥ (menolak bahaya harus didahulukan daripada mengambil maslahat), maka tidak akan terjadi pengambilan jenazah itu.  

”Secara prinsip, tidak ada yang dilanggar dalam penguburan jenazah COVID-19, karena dimandikan, dikafani, disalati, dan dikubur. Hak utama jenazah sudah terpenuhi. Mungkin ada masalah di menghadap kiblat dan peti. Soal peti bukan soal prinsip. Sedangkan menghadap kiblat bisa dimintakan kepada petugas, agar dihadapkan ke kiblat saat diletakkan di dalam peti. Jadi menurut hemat saya, penguburan jenazah COVID-19 sudah sesuai standar minimal fikih,” pungkasnya. 

 

ap/as(ap dan tambahan wawancara DW)