1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Europas Khat-Kultur

Naomi Conrad14 Agustus 2012

Khat terutama dikonsumsi oleh warga pendatang dari Somalia, Yaman, Ethiopia dan Kenya. Bagi mereka, mengunyah Khat merupakan satu bagian dari budaya mereka.

https://p.dw.com/p/15pIS
Foto: DW/N. Conrad

Setiap hari Selasa dan Jumat beberapa pria dengan membawa kantong plastik berkumpul di sebuah tempat parkir di pinggiran sebuah kota di Jerman. Tempat ini tidak mencolok, sama seperti mobil van putih kecil yang ditunggu mereka. Sopir van turun keluar dari mobil sebentar, membagikan lima kardus dan kemudian dengan cepat kembali menjalankan mobilnya – kembali ke Belanda atau menuju tempat parkir lainnya.

Biasanya, saat para pria tersebut menelfon pemasok, mereka mengatakan memesan tiga botol Coca-Cola, dijelaskan salah seorang dari mereka, yang memperkenalkan dirinya sebagai Ali. Ia tidak bersedia menyebutkan nama aslinya. Karena yang ada dalam kardus bukanlah Coca-Cola, namun Khat yang di Jerman dilarang. “Di telefon kata Khat tidak pernah digunakan,” ditambahkan Ali. Coca-Cola hanyalah nama sandi.

Kaudroge Khat Polizei
Bulan Februari lalu, kepolisian Hamburg berhasil menyita 700 kg Khat yang diangkut dengan mobil iniFoto: picture-alliance/dpa

Khat terutama dikonsumsi oleh warga pendatang dari Somalia, Yaman, Ethiopia dan Kenya. Di Afrika Timur dan di Yaman, menurut tradisi, Khat dikunyah di rumah bersama teman atau juga di kantor bersama rekan kerja. Di negara-negara ini juga tumbuh tanaman Khat, yang daun dan rantingnya dikonsumsi dengan mengunyahnya seperti sirih di Indonesia. Efek dari Khat digambarkan dapat merangsang sirkulasi dan stimulasi mental.

Tahun 2011 lalu, bea cukai Jerman berhasil menyita 4,7 ton Khat, yang diseludupkan melalui Belanda. Tahun 2009 jumlah sitaan hanya 3,9 ton. Pejabat bea cukai memperkirakan bahwa jumlah sebenarnya yang diseludupkan sekitar 10 ton, bahkan mungkin lebih.

Sebagai Pengganti Kopi

Ali baru saja membeli dua ikat kecil Khat. Empat Euro harga satu ikat batang berwarna coklat mengkilap ini, yang dibungkus dengan daun pisang dan diikat dengan selotip putih. Ali tahu bahwa ia melakukan sesuatu yang ilegal. Namun ia tidak merasa telah melakukan satu kejahatan. Baginya, Khat merupakan satu bagian dari budayanya – yang dapat mendekatkan dirinya dengan tanah airnya yang ia tinggalkan 15 tahun lalu untuk belajar di Jerman.

Kenangan masa kecil Ali banyak dipenuhi dengan masa-masa saat ayah dan pamannya mengunyah Khat bersama. Berjam-jam lamanya mereka mengunyah Khat sambil mengobrol. Ali mulai mengkonsumsi Khat saat memasuki masa kuliah, Dengan Khat ia dapat terjaga dan cukup memiliki konsentrasi untuk semalaman mempersiapkan ujian. “Ini seperti kopi,“ dikatakan Ali.

Kaudroge Khat Uithoorn
Kardus-kardus berisi Khat tengah dimuat ke dalam mobil van di BelandaFoto: picture-alliance/dpa

Bagaimanapun, di Eropa Barat budaya mengunyah Khat tidaklah tersebar luas, dikatakan David Anderson, dosen politik Afrika di Universitas Oxford. Menurutnya, resiko kecanduan sangat rendah. Hanya 10 persen pemakai yang mengkonsumsi Khat secara berlebihan atau memiliki ketergantungan, dikatakan Anderson. Cara tradisonal untuk mengkonsumsi Khat – mengunyahnya selama berjam-jam – menghindarkan pemakai dari kecanduan berat, juga ditegaskan Paul Griffiths dari Pusat Pemantau dan Ketergantungan Narkoba Eropa. Namun tidak tertutup kemungkinan bahwa pemakai dapat kecanduan akibat konsumsi secara teratur. Meskipun demikian resiko kecanduan tidaklah sebesar seperti pada alkohol atau tembakau.

Khat Menghalangi Integrasi?

Belanda mengangap Khat cukup berbahaya. Awal tahun 2012, pemerintah Belanda mengumumkan untuk memasukkan Khat dalam daftar obat terlarang. Khat dapat menyebabakan “masalah sosial,“ demikian alasannya. Seorang juru bicara pemerintah Belanda menekankan bahwa Khat terutama menghalangi migran asal Somalia untuk “berintegrasi ke dalam masyarakat Belanda.“ Apakah Khat dilarang di Belanda, baru akan diputuskan pada bulan September mendatang.

David Anderson dari Universitas Oxford tidak sependapat dengan argumen ini, “Banyak warga Somalia di Eropa, pada kenyataannya, memiliki masalah dalam integrasi atau mencari kerja. Tapi ini tidak mengherankan, jika kita melihat bahwa banyak dari mereka memiliki trauma perang dan konflik.“ Namun Khat, ditekankan Anderson, bukanlah penyebab masalah ini. “Memang banyak orang mengunyah Khat setiap hari, tetapi ini hanya karena mereka merasa bosan,“ dikatakan Ali. Mengunyah Khat, ditambahkan Ali, merupakan pelarian dari kekosongan, hari-hari tanpa pekerjaan, Tentu saja mereka juga bisa menggantikannya dengan minum kopi. „Namun secangkir kopi paling lama setelah satu jam sudah habis diminum.“