1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kim Jong-un Penguasa Baru Korea Utara

22 Desember 2011

Kematian penguasa Korea Utara Kim Jong-il dan penarikan mundur pasukan Amerika Serikat menjadi sorotan sejumlah media internasional dalam tajuk rencananya.

https://p.dw.com/p/13Xvu
Kim Jong Un (Foto:AP Photo)
Kim Jong UnFoto: AP

Harian Spanyol El Pais yang berhaluan kiri liberal berkomentar bahwa militer memainkan peranan penting di Korea Utara. Surat kabar yang terbit di Madrid itu menulis:

"Di Korea Utara generasi cucu naik tahta kekuasaan. Kim III kini berdiri di pucuk kediktatoran yang paling misterius dan tidak kompeten, yang ikut mengalami masa Perang Dunia ke-2. Kenyataan bahwa pengumuman kematian Kim Jong-il yang tertunda selama 48 jam mengisyaratkan bahwa penerusnya harus memastikan kesetiaan militer. Tanpa angkatan bersenjata, ia tidak bisa memerintah negara yang selalu mengalami bencana kelaparan. Barat seharusnya menggunakan kesempatan memberikan usulan membangun untuk Pyongyang. Mungkin Kim ketiga melihat, hanya keterbukaan yang bisa mengatasi masalah negara peninggalan era Stalin itu."

Koran berhaluan kiri liberal Italia La Repubblica menyoroti peralihan kekuasaan di Korea Utara kepada Kim Jong-un:

"Sang Penerus Besar sekarang sudah menjadi pemimpin di bawah perwalian. Pyongyang terus menyiarkan gambar televisi tentang Korea Utara yang berduka setelah kematian Kim Jong-il. Di dalam rezim terdapat upaya mencegah penggulingan kekuasaan oleh militer atau rakyat yang dihukum hingga kelaparan, melalui militer merebut makanan. Kim Jong-un yang dijuluki ‚tokoh besar yang dilahirkan di surga' tidak akan segera mengambil alih komando bangsa itu. Beijing merundingkan solusi dengan Pyongyang, yang bisa menjamin stabilitas di Semenanjung Korea, yang menenangkan pasar dan Rusia, Jepang, serta Amerika Serikat. Kim Jong-un muda memang akan resmi menjadi penguasa mutlak, tapi juga sebagai wakil komite pusat yang beranggotakan kerabat, komunis tingkat tinggi dan jenderal-jenderal setia."

Sementara itu harian konservatif Norwegia Aftenposten mengomentaru ketidakpastian perkembangan di Korea Utara pascakematian Kim Jong-il. Surat kabar yang terbit di Oslo itu menulis:

"Kurangnya kepastian merupakan masalah berkepanjangan untuk semua negara, yang terpengaruh situasi di Semenanjung Korea. Tanggung jawab terutama dipegang Amerika Serikat dan Cina. Keduanya harus mampu bereaksi tepat dan cepat, jika di Korea Utara terjadi peristiwa mengejutkan. Semua mengisyaratkan bahwa Beijing dan Washington menyadari ancaman bahaaya dan melakukan semua hal untuk mencegah penyebab perang baru oleh Korea Utara. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi di sana. Hal yang paling bertanggung jawab adalah bersiap untuk yang terparah."

Koran Belanda De Volksrant menyinggung putra Kim Jong-il sebagai penguasa baru Korea Utara. Harian yang terbit di Amsterdam itu menulis:

"Kematian diktator Korea Utara Kim Jong-il mengagetkan dinas rahasia barat, betapa tertutupnya negara itu. Juga hanya sedikit informasi mengenai putra Kim dan penerusnya. Tampaknya posisi Kim Jong-un sebagai pemimpin baru Korea Utara beberapa hari setelah kematian sang ayah, tak tertandingi. Kim Jong-un merupakan yang pertama yang memberikan penghormatan terakhir pada Kim Jong-il yang berada di peti kaca Mausoleum Kumsusan di Pyongyang. Ini merupakan isyarat bahwa ia diakui pimpinan militer sebagai penerus 'Pemimpin Tercinta'".

Situasi di Irak setelah pulangnya pasukan terakhir Amerika Serikat dari negara itu juga dikomentari sejumlah media.

Harian Jerman Süddeutsche Zeitung memandang kritis situasi di Irak. Koran itu menulis:

"Tiba-tiba tahun terakhir politik Irak terlihat seperti benteng perdamaian, dipaksa oleh penguasa Amerika Serikat, yang patah pada kesempatan pertama, yakni sehari setelah penarikan mundur pasukan AS. Seperti semua pernyataan tentang stabilitas dan hidup damai berdampingan antarkelompok masyarakat tidak pernah ada, bentang politik di sepanjang front lama kembali terpecah. PM Maliki yang Syiah menangkapi ratusan mantan anggota Partai Baath yang sebagian besar Sunii, dan kini ia menyerang dari depan dua politisi kelas berat Sunni. Tapi krisis tidak ditangani dalam kekerasan. Kegagalan Maliki bisa jadi ujicoba. Bagi Amerika, situasinya memalukan, bagi Irak mungkin menghancurkan."

Sementara itu koran berhaluan konservatif Austria, Die Presse, mengomentari situasi di Irak setelah kepergian pasukan Amerika Serikat. Harian yang terbit di Wina itu menulis:

"Pimpinan politik lumpuh. Perdana Menteri Nuri al Maliki dan sekutunya menjadi elite politik yang mengerikan, ia terus meluaskan ruang kekuasaannya. Kalangan Sunni mengharapkan perantaraan Presiden Massoud Barzani. Ia berasal dari suku Kurdi dan dipercaya bisa mempertemukan kedua pihak. Namun negara itu menghadapi perpecahan. Suku Kurdi telah lama membangun kerajaan kecilnya di utara dan ingin sedikit mungkin berurusan dengan pemerintah di Baghdad. Setelah penarikan mundur pasukan Amerika, Syiah berpaling ke Teheran, sementara Sunni ke negara tetangga Arab."

dpa/afp/LS/CS