1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kisah Caleg Muslim Pemenang Pemilu Myanmar  

11 November 2020

Dua caleg muslim dari Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) berhasil masuk ke parlemen dalam pemilu legislatif di Myanmar. Kemenangan mereka dianggap simbolik, meski tidak mengubah situasi minoritas di negeri Buddha itu. 

https://p.dw.com/p/3l6TO
Simpatisan Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) berpesta usai pencoblosan di Yangon, Myanmar.
Simpatisan Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) berpesta usai pencoblosan di Yangon, Myanmar.Foto: REUTERS

Ketika etnis minoritas secara umum diasingkan dari pesta demokrasi di Myanmar, Sithu Maung menjadi harapan bagi kaum termarjinalkan. Karena pemuda muslim berusia 33 tahun itu baru saja terpilih sebagai anggota legislatif, melalui pemilu yang dibanjiri gelombang hasutan dan ujaran kebencian terhadap minoritas. 

Sithu adalah dua caleg beragama muslim di antara 1.100 kandidat yang diajukan Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD). Dalam pemilu legislatif lima tahun lalu, partai pimpinan Aung San Suu Kyi itu malah tidak mencalonkan seorangpun caleg muslim. 

Kaum muslim mewakili empat persen dari jumlah total populasi Myanmar. Kebanyakan beretnis Rohingya dan sering mengalami diskriminasi, atau menjadi korban persekusi. Bagi Sithu, perolehan suara sebanyak 80% untuk daerah pemilihannya di pusat kota Yangon, merupakan sebuah pengakuan. 

“Warga merayakan (kemenangan), mereka meneriakkan nama saya dari dalam apartemennya ketika saya sedang lewat,” tuturnya kepada kantor berita AFP.  

Konstituen di dapilnya yang berjumlah populasi 30.000 tergolong paling multietnis di seluruh penjuru negeri. Demografi pemilih terbagi antara mayoritas penganut Buddha dan warga muslim, serta penduduk dari Rakhine, warga keturunan Cina atau India. 

“Saya bekerja untuk penganut semua agama, terutama mereka yang mengalami diskriminasi, dianiaya atau direnggut hak asasi manusianya,” kata dia.  

Diskriminasi status kewarganegaraan 

Sithu Maung menolak diseret ke arah isu persekusi Rohingnya yang membayangi kepemimpinan Suu Kyi di mata dunia internasional. Saat ini sekitar 600.000 penduduk Rohingya masih bertahan di Myanmar. Mereka hidup di dalam “kondisi apartheid” seperti digambarkan oleh kelompok HAM. 

Di Myanmar, warga muslim atau etnis minoritas lain, kesulitan mendapat status resmi sebagai warga negara. Sithu Maung misalnya harus menunggu selama bertahun-tahun sebelum mendapatkan Kartu Identitas Penduduk, yang mencatat statusnya sebagai “etnis campuran.” 

Sebaran minoritas etnis di Myanmar yang kebanyakan berdiam di bagian barat dan timur. Sementara kawasan sentral didominasi oleh warga etnis Bamar yang mayoritas.
Sebaran minoritas etnis di Myanmar yang kebanyakan berdiam di bagian barat dan timur. Sementara kawasan sentral didominasi oleh warga etnis Bamar yang mayoritas.

“Mereka yang belum pernah mengalaminya tidak bisa mengerti bagaimana rasanya,” kisahnya. Sebagaimana lazimnya, warga minoritas ditempatkan di jalur birokrasi berbeda untuk mengajukan permohonan mendapat KTP, dan sebabnya rentan terhadap praktik suap. 

Pada pemilu 2015, pencalonan Sithu sebagai caleg NLD dibatalkan menyusul sentimen antimuslim yang marak digelorakan kelompok nasionalis Buddha garis keras. Saat itu tidak seorang muslimpun bertengger di dalam daftar calon anggota legislatif. 

Tahun ini pun sebanyak 23% kandidat beragamakan Islam ditolak, dibandingkan 0,3% pada kelompok agama lain, menurut temuan International Crisis Group yang memantau jalannya pemilu di Myanmar. 

Kemenangan dua caleg muslim 

Jika menyimak kesaksian Sithu Maung, fenomena itu bisa dipahami. “Orang-orang mulai menyebarkan informasi palsu,” kisahnya mengenang proses nominasi di NLD. “Mereka menyebut saya teroris dan ingin memaksakan bahasa Arab agar diajarkan di sekolah.” 

“Bahkan sebagian muslim mengkritik saya, menuduh saya tidak cukup beribadah dan menjadi atheis atau kafir.”

Hasutan serupa dikabarkan membanjiri Facebook, terutama jelang Pemilu. Sithu mengaku butuh waktu bertahun-tahun mempertebal rasa malu demi menyiapkan diri bekerja sebagai anggota legislatif Myanmar dengan statusnya sebagai warga muslim.  

Meski demikian, Sithu tidak akan menjadi satu-satunya anggota legislatif muslim di negeri Buddha tersebut. Caleg dari NLD lain, Win Mya Mya, yang berusia 71 tahun juga memenangkan mandat di dapilnya di Mandalay. 

Analis politik di Yangon, David Mathieson, mengatakan kemenangan kedua caleg muslim menyiratkan harapan, meski NLD masih harus menanggulangi “diskriminasi terhadap muslim dan minoritas lain yang mengakar dalam” di tubuh masyarakat dan pemerintah. 

Namun dia ragu lantaran kekhawatiran petinggi partai, kebijakan tersebut akan mengasingkan mayoritas pemilih.  

Sithu Maung sendiri menolak memosisikan diri dalam konflik yang rumit tersebut. Dia berjanji tidak hanya akan melayani warga muslim belaka. “Jika salah seorang konstituen saya merasa dirugikan atau mengalami ketidakadilan, saya akan bela mereka.”  

rzn/gtp (afp, rtr)