1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Kisah Perjalanan Musim Gugur

24 November 2018

Tiba-tiba suara bising terdengar, suara sirine yang kalut itu semakin dekat dan ramai. Empat mobil polisi sudah tiba mengerubuti bus. Oleh Annisa Hidayat.

https://p.dw.com/p/38n2b
Annisa Hidayat Reise durch Europa
Foto: Privat

Tahun ini adalah tahun kedua saya sebagai mahasiswa di Hamburg, Jerman. Jika selama musim semi saya selalu dibangunkan oleh kicau burung-burung, musim panas oleh cahaya matahari yang menembus kaca jendela kamar, maka di musim gugur ini saya dibangunkan oleh suara angin yang memukul pepohonan.

Sungguh kota utara yang kelabu. Namun di antara kekelabuan dan tubuh-tubuh yang menggigil, tiba-tiba setiap kenangan menjadi begitu hangat. Ketika musim gugur datang, saya kembali membuka album-album dan mengingat bagaimana warna-warna jalan dari balik jendela sebuah bus. Musim gugur adalah musim semi yang kedua ketika tiap dedaunan ibarat bunga yang bermekaran, kata Albert Camus, seorang penulis Perancis.

Annisa Hidayat Reise durch Europa
Annisa HidayatFoto: Privat

Awal musim gugur, kampus masih libur, semester break. Bagi saya liburan adalah mengunjungi teman yang berada di luar Jerman untuk silaturrahmi. Seorang teman yang baik bernama Okta mengajak saya mengunjungi Wageningen, Belanda. Sehari setelah dia menyelesaikan ujian thesisnya, besoknya kami memutuskan ke Wageningen.

„Merdeka", itu yang dirasakan Okta dan menghadiahkan dirinya dengan sebuah trip menggunakan bus ke kota kecil itu. Kami memutuskan menggunakan bus daripada kereta, lebih tepatnya Okta lah yang lebih suka naik bus. Pemandangannya sangat indah dari balik jendela bus, ucapnya. Dari Hamburg ke Wageningen jauhnya seperti dari Jakarta ke Jogja, dan percayalah harga busnya lebih murah, kurang dari 30 Euro pulang pergi.

Hari itu memang terasa berbeda, Okta hampir ketinggalan bus karena paspornya ketinggalan. Ia telat lima menit. Saya katakan kalau teman saya belum sampai karena passportnya ketinggalan, supirnya sangat baik dan mengatakan tidak masalah, kami akan menunggunya. „Kalau dalam lima menit saya belum sampai, jalan saja duluan, nanti saya beli tiket lain," ucap Okta melalui pesan whatsapp. Saya sampai berpikir, apakah saya akan melakukan perjalanan ini sendirian, perjalanan pertama ke luar Jerman untuk pertama kali dalam bus sendirian saja.

Namun syukurlah, bangku disamping saya tidak jadi kosong, karena kami memang ditakdirkan untuk melewati perjalanan ini bersama, dan sepanjang perjalanan kami banyak berbicara tentang kota-kota imajiner (Italo Calvino 1972).

Kami memang pengagum kota-kota tua yang mungkin saja menyimpan rahasia mesin waktu. Saya menemukan teman seperjalanan sesama alien, kami percaya bahwa patung Mark Twain di kota tua Lueneburg akan hidup lewat jam 12 malam, sang maesto penulis cerita anak akan bermain-main tengah malam di kota abad ke-16 Jerman itu.

Annisa Hidayat Reise durch Europa
Singgah di kota Köln (Cologne)Foto: Privat

Penangkapan Seorang Kriminal, Bus Dihentikan di Ladang Gandum

Sudah sampai bus berjalan sekitar tiga jam memasuki Hannover, kota ini akan menjadi tempat transit pertama kami. Namun sebelum sampai stasiun Hannover, bus kami melewati sebuah jalan panjang yang sepi, diapit oleh ladang gandum yang luas dengan beberapa jajaran kincir angin yang memukau. Baru pertama kali saya melihatnya dari dekat kincir-kincir angin berwarna putih yang megah, berdiri menjangkau langit luas. Sebuah tempat yang amat lapang untuk jadi tempat pemberhentian bus, tidak ada rest area, tidak ada satupun kendaraan melintas.

Tiba-tiba suara bising terdengar, suara sirine yang kalut itu semakin dekat dan ramai. Empat mobil polisi sudah tiba mengerubuti bus. Situasi penumpang yang mulai panik dan beburu-buru turun membuat naluri kewaspadaan muncul otomatis mengikuti orang-orang yang turun dengan ketakutan.

Di awal musim gugur, angin di ladang gandum yang lapang cukup dingin memukul lengan, beberapa orang-orang yang turun karena panik sudah tidak memikirkan hal lain lagi kecuali rasa aman, mereka para penumpang itu beberapa turun tanpa jaket tebal dan sepatu, hanya baju tipis dan kaos kaki terlihat menapak diatas rumput-rumput basah. Ya, saya masih mengingat selintas seorang pemuda pirang bergegas turun dengan kaos oblong lengan pendek warna abu dan tanpa alas kaki. Dalam bus sudah ada pemanas ruangan, jadi setiap penumpang bisa melepas jaket, memakai baju tipis dan melepas sepatu untuk posisi nyaman karena perjalanan panjang.

Annisa Hidayat Reise durch Europa
Perjalanan bersama sahabatFoto: Privat

Saya menanyakan ke penumpang apa yang terjadi, tak ada juga yang tahu, yang jelas beberapa polisi sudah berada dalam bus yang sudah kosong itu dengan pistol mereka yang sudah siaga di tangan. Kami para penumpang hanya melihat dari luar dan bertanya-tanya apa yang terjadi. Kami diminta menjauh dari bus. Saya bisa melihat seorang pria kulit hitam, rambut panjang sebahu, pria itu berusaha melawan namun seorang polisi wanita dengan sigap membekuknya dan dua orang polisi pria sudah memberengus kedua tangannya.

Dalam keadaan terbekuk pria itu masih melawan berusaha melepaskan diri sampai akhirnya ia berhasil dikeluarkan dalam bus dan dilumpuhkan kakinya hingga jatuh telungkup ke rumput dengan pelan. Sebuah usaha pelumpuhan yang hati-hati seakan menjaga agar tidak ada yang terluka. Sebelumnya, sang kriminal kulit hitam itu duduk di kursi paling belakang, di samping dan di depannya keseluruhan penumpangnya adalah lansia. Ketika beberapa polisi masuk bus dan langsung menuju ke belakang, para penumpang lansia itu masih belum paham apa yang terjadi hingga semua penumpang turun. Situasi yang cukup membahayakan keselamatan.

Adegan persis dalam film detektif itu selesai juga, meski hanya beberapa menit namun cukup menegangkan, menjadi pembicaraan semua orang dalam bus tak henti-henti. Namun ketika sampai stasiun Hannover, film detektif ini bersambung sejenak. Kami harus transit dan menunggu kedatangan bus berikutnya. Mengapa saya katakan bersambung, karena ternyata cerita detektif ini masih menyimpan beberapa seri lanjutannya sampai misi petualngan ke kota kecil Wageningen ini selesai. Transit sekitar satu jam, saya dan Okta membeli sandwich untuk makan siang, nampaknya kami sangat kelaparan. Ketegangan membuat orang ingin bercerita banyak sehingga menguras energi, dan tentu saja udara dingin yang suka membuat perut keroncongan.

Annisa Hidayat Reise durch Europa
Suasana langit musim gugurFoto: Privat

Dua Penyusup, Orang Asing dan Penipuan

Tidak terasa bus tujuan Cologne sudah ada, kota tempat transit kami yang kedua. Tiga  jam dari Hannover sampai juga di Cologne. Kami harus menunggu bus langsung ke Arnhem, kota tempat pemberhentian terakhir yang cukup dekat dengan Wageningen. Cukup ramai dan banyak pelancong dengan backpacknya. Tiba saatnya pemeriksaan paspor sebelum naik dan menaruh barang di bagasi. Ada kegaduhan saat menaruh barang, kali ini supirnya cukup tua, bisa dibilang seorang kakek 70 tahun, kepala bagian depannya licin dan botak, sisanya adalah kesuluruhan rambut putih yang disisir rapi.

Kami memperlihatkan tiket dan paspor, ia melayani kami dengan baik, bahkan sempat mengucapkan „terimakasih" ketika melihat paspor kami Indonesia. Wah, saya cukup senang tidak menyangka sama sekali. Kami duduk di bagian tengah bus, suasana penumpang saat menaruh barang di bagasi bus cukup heboh. Pasangan pelancong dari India sempat dimarahi  sang kakek karena terlalu banyak membawa barang bagasi dan barang bawaan ke dalam bus, bahkan berceceran setelah saya amati. Tapi mereka naik bus juga setelah beradu mulut dengan berguman kesal. Setelah sebagian penumpang naik, datang dua pemuda asing berambut hitam, kulit putih dengan ransel besar meloncat ke dalam bus. Sang kakek memeriksa tiketnya, dalam proses pemeriksaan, seorang diantara mereka masuk dengan sedikit menerobos melewati pemeriksaan. Kakek itu langsung berteriak ke arah sang pemuda dan memkasanya keluar, karena tiket mereka palsu. Mereka berdua tidak menghiraukan dan dengan tampang penyusup duduk tepat di belakang kursi saya dan Okta. Kegaduhan mulai terjadi.

Sang kakek memaksa mereka turun sambal berteriak, dua pemuda pelancong asal Italia itu – saya mengamati paspor merah bertuliskan Italy- cukup bengal untuk tidak mau turun, dan bersikeras kalau tiket mereka asli. Pasangan pelancong India membela  pelancong Italia. Mereka dengan kompak mengatakan mungkin sang supir yang salah karena banyak keliru dalam melayani. Namun sang kakek supir bersikukuh dengan ketegasannya meminta dua pemuda Italia itu turun, kalau tidak ia akan menelepon polisi. Beberapa penumpang membela dua pemuda bengal, mereka mengatakan bahwa si supir tua kurang teliti. Dua pemuda itu meneriaki Sang Kakek dengan telunjuknya dan mengancam bahwa mereka akan memvideokan ketidaksopanan ini dan akan menguploadnya di Youtube. Sang kakek mengatakan tidak takut dan tidak peduli.

Annisa Hidayat Reise durch Europa
Jalan-jalan ke BelandaFoto: Privat

Selang beberapa menit mobil polisi datang. Polisi meminta dua pemuda Italia itu turun. Perjalanan terlambat cukup lama sampai menunggu kejelasan. Rupanya tiket mereka memang salah. Tiket mereka bukan untuk keberangkatan hari ini tapi besok. Sang kakek mendapat panggung saat itu, dan beberapa penumpang yang sangat kesal karena diomeli kakek saat manaruh barang di bagasi hanya bisa bergumam tidak jelas. Cukup lama berada di Cologne di dalam bus yang tidak bergerak dengan praduga-praduga siapa yang benar, bus akhirnya mulai berjalan pelan meninggalkan Jerman memasuki kota Arnhem di bawah hujan-hujan sejuk yang berjatuhan di kaca jendela bus.

Dari stasiun Arnhem, kami naik bus kota sekitar 30 menit sampai Wageningen. Sebenarnya ini bukan sepenuhnya liburan, tugas paper menunggu saya, dan kedatangan saya ke Wageningen adalah untuk bertemu salah seorang teman keturunan Jawa Suriname. Tugas paper saya waktu itu topiknya nasionalisme orang Jawa Suriname.

Dari perjalanan saya di Wageningen, saya berhasil membawa pulang dua buku catatan penting yang ditulis kakeknya sebagai sumber data primer, tak lupa dua botol sambal terasi cap toko Jawa Suriname dan satu kilo ikan teri untuk menemani sarapan sepanjang hari-hari musim gugur. (*)

*Annisa Hidayat, saat ini sedang studi master jurusan Southeast Asian Study di Universitaet Hamburg, Jerman.

**DWNesiaBlog menerima kiriman blog tentang pengalaman unik Anda ketika berada di Jerman atau Eropa. Atau untuk orang Jerman, pengalaman unik di Indonesia. Kirimkan tulisan Anda lewat mail ke: dwnesiablog@dw.com. Sertakan 1 foto profil dan dua atau lebih foto untuk ilustrasi. Foto-foto yang dikirim adalah foto buatan sendiri.