1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kisah Suku Mbaham di Papua: Berpisah Dengan Hewanpun Mereka Punya Lagunya

16 Februari 2007

Tahukah Anda Papua punya sedikitnya 250 suku? Tentu saja mereka punya tradisi yang berbeda-beda. Kabupaten Fakfak yang terletak di pantai selatan Tanah Papua, misalnya. Di Fakfak, kebudayaan tradisionalnya adalah tari Titir dan Kindiwe yang gemulai dan tidak kaku. Bagaimana Suku Mbaham, suku asli di Fakfak, mempertahankan kebudayaan mereka?

https://p.dw.com/p/CTBd

Suku Mbaham, suku asli Fakfak, memiliki tradisi musik dan lagu yang biasanya mengiringi tari-tarian adat. Alat musik yang digunakan ialah tifa.

Lazimnya Tifa di Papua, terbuat dari kayu bulat yang dilubangi ujung hingga pangkalnya, menyisakan satu senti sisi luarnya. Salah satu ujungnya ditutup selaput yang terbuat dari Kulit Binatang, Selaput ini sedikit lebih besar dari diameter kayu, agar dapat dijepit dengan belahan rotan, mengelilingi sisi luar kayu. Selaput tifa dikencangkan dengan tali rotan yang dililitkan pada pen kayu. Beberapa pen kayu dengan tali pengikat itu berguna untuk menjaga selaput tetap kencang.

Di Fakfak, alat musik Tifa ini selalu mengiringi tari-tarian disertai lagu tertentu. Tariannya disebut Tari Titir dan Kindiwer. Nyanyian atau lagu dari Titir dan Kindiwer disebut Meres.

Kaum perempuan, para ibu dan remaja putri, pun bergabung dalam tarian. Bunyi Tifa mengiringi langkah-langkah kecil dan teratur maju mundur dari putri-putri Mbaham yang hitam manis. Kaum lelaki pun sering bergabung dalam barisan tari. Di celah-celah jari mereka terselip pucuk-pucuk batang dedaunan aneka jenis, juga bulu burung Cendrawasih atau Kasuari.

Sirzeth Gwas-Gwas, Tokoh Adat Mbaham dari kampung Sanggram, Distrik Fakfak Timur, mengisahkan, asesoris dan gerak tarian Titir dan Kindiwer meniru tingkah pola gerak burung Cendrawasih saat bermain di ranting pepohonan dengan bulunya yang indah.

Sirzeth Gwas-Gwas :

“Gerakan yang mereka ambil adalah gerakan cendrawasih. Jadi mereka pakai daun-daun hanya hiasan yagn berbentuk seperti cendrawasih, berlompat-lompat di pohon. Awalnya mereka main dengan daun-daun, kemudian dengan bulu cendrawasih.”

Titir dan Kindiwer adalah dua jenis musik tradisi yang telah ada sejak zaman nenek moyang orang Mbaham.

Sirzeth Gwas-Gwas:

“Asal muasalnya dari Kindiwer itu terjadi di salah satu gunung yang disebut Timunaga, di atas Mambuni buni. Titir ini terjadi di atas Weri, suatu tempat yang dinamakan Humporobion. Humporobion. itu salah satu raksasa yang tinggal di sana. Asalnya dari situ.”

Manbuni-buni adalah nama sebuah kampung terletak di wilayah pegunungan Fakfak, sedang kampung Weri terletak di pesisir pantai selatan Distrik Fakfak Timur.

Tari Titir menggunakan Tifa Besar, berdiameter sekitar 30 sentimeter dan berukuran panjang kurang lebih setengah meter. Karena ukurannya yang lumayan besar dan berat, biasanya tifa ini dibunyikan sambil duduk. Agar lebih meriah, Tifa Titir dimainkan oleh 3 sampai 8 orang. Masing-masing orang menggunakan satu buah tifa.

Irama musik Tifa Titir dengan pukulan yang tetap dan teratur selalu diikuti syair lagu. Seringkali, syair lagu menceritakan indahnya alam Papua.

Kembali Sirzeth Gwas-Gwas:

“Menceritakan tentang hewan-hewan, burung-burung, terutama burung yang mereka sayang. Jenis-jenis burung yang bagus, jenis burung yang punya suara bagus, itu yang mereka nyanyi, disebut nama-nama burung itu, berarti mereka sayang kepada burung-burung itu. “

Titir juga dimainkan sebagai ungkapan rasa suka atau duka karena pertemuan ataupun perpisahan dengan orang yang dikasihi.

Agus Niwar, Tokoh Adat Mbaham dari kampong Sanggram, menjelaskan arti lagu Kohride.

“Lagu yang tadi ya.. lagu Kohride.. XX berarti ombak toh.. pada saat itu sebelunmya.. telah berpindah dari kampung rombena dari zaman dahulu, emngungsi ke pantai Wasera. Setelah beliau berpindah, sorenya tetangga karena merasa sedih hilangnya seorang kekasih yang telah pergi dan mungkin tidak kembali, mereka terpaksa duduk dan bercerita mengenai kepergiannya.. dengan lagu Kohride ini.. dengan hujan, dengan kabut, lewat gunung, lewat lembah, begitu.. itu arti dari lagu Kohride.

Bahkan perpisahan dengan hewan kesayangan pun dapat diungkapkan dalam lagu dengan iringan musik tifa ini.

Linus Heremba, Ketua Sanggar Seni Tarok-Tarok, Distrik Kramongmongga, menjelaskan arti lagu yang dinyanyikannya.

“Macam satu orang dia punya burung nuri dua, yang dia tangkap. Begitu dia tangkap, piara sampai besar, baru bisa bicara, lalu jual. Waktu dia keluar itu dari pelabuhan fakfak, dia mulai menyanyi. Saya punya bekas, bekas makanan. Saya kasih makan, tapi sudah jalan. Dia bicara dari Fakfak, turun sampe Sorong. Sampai ke Cina, Hongkong. “

Sesekali, beberapa pen pengikat selaput ini dipukul lembut agar tifa tetap kencang. Dan agar selaput Tifa tetap terus berbunyi nyaring, Tifa Titir harus didekatkan di api unggun yang terus bernyala. Udara malam terasa cukup dingin di bawah lembah dan kaki gunung atau perbukitan daerah Mbaham, namun tidak mengurangi semangat seniman-seniman rakyat ini.

Tifa Kindiwer berukuran kecil, berdiameter sekitar 15 cm dengan ukuran panjang tifa kurang lebih 50 cm. Kindiwer adalah sebutan dalam bahasa Mbaham, sedangkan dalam bahasa Iha disebut Timoor. Bahasa Iha digunakan sekitar 80% orang Mbaham di Fakfak. Bahasa Mbaham digunakan Sirzeth dan Agus Niwar.

Salah satu lagu Timoor yang dinyanyikan Linus bercerita tentang hak yang terampas.

“Itu mungkin dia punya barang. Dia punya pinang yang dia sendiri mau. Dia punya saudara yang XX. Dia bilang, XX. Barang yagn dia punya mau, orang lain yang ambil.”

Tifa kecil Kindiwer atau Timoor ini sesungguhnya digunakan nenek moyang orang Mbaham pada zaman dahulu untuk kepentingan perang.

Perang memang sering terjadi di masa lalu. Orang Mbaham zaman dahulu pernah melakukan ekspansi ke berbagai wilayah di Papua sampai Kepulauan Maluku. Saat ini, lagu memang dilarang namun alat musik tifa kecil tetap digunakan. Pius Tanggahma, Tokoh Adat Kampung Danaweria, Distrik Fakfak Tengah, menceritakan momentum penghentian menggunakan Tifa Kindiwer/Timoor.

Pius Tanggahma:

“Dorang bilang tong batu, para ketua dulu punya kepala batu, habis itu penutupan. Tapi sekarang kita membangun lagi. Tapi tifa besar boleh dipakai.”

Orang Mbaham berharap agar budaya mereka seperti seni musik dan lagu, tari-tarian serta bahasa dapat mengangkat harkat dan martabat mereka. Dengan pendidikan yang baik dan kebudayaan yang semakin dikenal orang, Suku Mbaham percaya harkat mereka akan terangkat. Derajat hidup juga bisa bersaing dengan daerah lain di Indonesia. Otonomi khusus Papua pun tidak hanya menjadi slogan.