1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Cegah Perbudakan Modern dengan Melawan Perdagangan Manusia

20 Oktober 2018

Maizidah diperkosa dan dipaksa menikah dengan pemerkosanya. Jadi korban KDRT dan pernah juga dijual. Perbudakan dan perdagangan manusia masih jadi persoalan serius di abad modern ini. Opini Monique Rijkers.

https://p.dw.com/p/34PnN
Maizidah Salas Aktivistin Indonesien
Foto: Monique Rijkers

"Saya ini pernah jadi korban macam-macam. Korban perkosaan, korban kekerasan dalam rumah tangga dan korban perdagangan manusia,” ujar Maizidah Salas, "Setelah mengalami semua itu, sekarang saya baru merasa hidup itu indah,” itulah yang tercetus dari mulut Maizidah Salas saat berbicara dengan penulis setelah melewati masa-masa kelam bertubi-tubi.

Pengalaman pahit dalam kehidupan Maizidah berawal dari pemerkosaan yang berujung justru pada pernikahan dengan pelaku pemerkosa. Pernikahan tidak harmonis yang disertai kekerasan dalam rumah tangga memaksa Maizidah menjadi buruh migran ke Taiwan selama empat tahun sehingga ia pun mahir berbahasa Mandarin.

Penulis: Monique Rijkers
Penulis: Monique Rijkers Foto: Monique Rijkers

Maizidah sempat terpilih sebagai penerima beasiswa dari pemerintah Jerman, namun batal berangkat ke Jerman karena mengalami kecelakaan.

Ditemui usai menerima penghargaan Pahlawan Anti Perdagangan Manusia 2018 yang diberikan oleh pemerintah Amerika Serikat, Maizidah menjadi penerima penghargaan dari Indonesia setelah vakum sejak 2009.

Maizidah mengaku ia menjadi korban perdagangan manusia karena perlakuan tidak manusiawi yang ia peroleh sebagai buruh migran. Yang ia alami di Indonesia: Proses berbelit-belit yang panjang, masa tunggu ke negara penempatan hingga saat diserahkan ke pihak agen di negara penempatan pun tak luput dari bahaya.

Maizidah mengalami pelecehan seksual yang dilakukan oleh agen buruh migran di Taiwan. Saat tiba di rumah majikan, Maizidah tidak mendapat jatah libur, tidak pernah menerima gaji dan bahkan tidak boleh beribadah (sholat lima waktu).

Pengalaman buruk membuat Maizidah ingin membantu sesama perempuan yang menjadi buruh migran agar tidak mengalami perlakuan buruk seperti dirinya, apalagi regulasi tidak memberikan perlindungan secara maksimal terhadap para buruh migran.

Maizidah akan terlibat bersama ILO atau Organisasi Buruh Internasional PBB untuk memasukkan pasal yang melindungi buruh migran sejak dari desa dalam undang-undang.

Saat ini Maizidah membangun kampung buruh migran di Wonosobo, tempat asalnya dengan mendirikan sekolah gratis bagi anak-anak buruh migran dan membangun koperasi sembako.

Minimnya sosialisasi

Menurut Maizidah Salas yang kini aktif menyuarakan perlindungan buruh migran dan anti-perdagangan manusia, sumber utama perdagangan manusia adalah korban tidak tahu cara bermigrasi secara aman akibat minimnya sosialisasi bahkan di kantong-kantong buruh migran.

Pernyataan Maizidah tersebut diperkuat data IOM, organisasi migrasi Perserikatan Bangsa-Bangsa sejak tahun 2005 hingga 2017 terdapat 8929 kasus perdagangan manusia yang menimpa 6130 perempuan dan 2799 pria. Khusus tahun 2017 tercatat ada 78 kasus.

Masih adanya kasus membuktikan peran pemerintah belum memadai dalam memberantas perdagangan manusia. Celah dalam proses perekrutan, pengiriman hingga penempatan masih banyak yang bolong.

Kasus perdagangan manusia terbesar meliputi menjadi pekerja rumah tangga, pekerja kapal ikan, dipaksa menjadi pekerja seksual dan pekerja serabutan (melakukan beberapa jenis pekerjaan) yang semuanya bisa menjurus pada perbudakan manusia sebab para pekerja ini bekerja dengan jam kerja panjang, menerima perlakuan kasar, tidak mendapat atau diperbolehkan memegang gaji sendiri, tidak memiliki dokumen identitas, pembatasan kebebasan serta tempat tinggal yang buruk dan makanan/minuman tidak memadai.

Data yang cukup mencemaskan adalah kasus yang menimpa anak berusia di bawah 18 tahun, terdapat 1159 kasus. Secara global IOM mendata, Indonesia negara dengan kasus perdagangan manusia usia anak paling banyak.

Bandingkan dengan data negara Myanmar 10 kasus, Kamboja 8 kasus dan Thailand yang hanya memiliki satu kasus saja. Kesulitan mencegah perdagangan manusia adalah aktor perdagangan manusia terutama adalah individu-individu yang mudah mendekati korban atau keluarga korban dengan iming-iming pekerjaan tanpa formalitas prosedur.

Data IOM menyebutkan individu sebagai perekrut utama dibandingkan agen buruh migran. Namun sayangnya ada 246 kasus warga negara Indonesia yang terjerumus pada perdagangan orang dan berakhir sebagai budak modern setelah mencari pekerjaan sendiri.

Berkat teknologi internet, peluang mendapat pekerjaan di luar negeri memang terbentang luas namun dapat berpeluang menjadi korban eksploitasi meski ada sekitar 950 kasus pencari kerja tidak mendapatkan pekerjaan apapun. Undang-udang Anti-perdagangan Orang tahun 2007 melarang segala bentuk perdagangan orang dengan jerat hukuman penjara tiga hingga sampai 15 tahun. Hukuman ini berlaku pula untuk perusahaan yang terlibat dalam perdagangan orang.

Letak Indonesia yang berbatasan dengan Singapura dan Malaysia menjadi jalur rentan arus buruh migran tak berdokumen untuk keluar dari wilayah Indonesia.

Tak heran negara tujuan terbanyak korban perdagangan manusia adalah ke Malaysia, lalu ke wilayah Timur Tengah seperti Uni Emirat Arab, Arab Saudi, Qatar dengan kasus antara 200 sampai 3000-an.

Singapura, Taiwan dan Hong Kong memiliki kasus sekitar 100 hingga di bawah 100. Menurut Laporan Tahunan Perdagangan Manusia 2017 yang dipublikasikan oleh pemerintah Amerika Serikat, Malaysia tetap menjadi tujuan utama bagi pekerja migran Indonesia; diperkirakan lebih dari satu juta dari 1,9 juta pekerja Indonesia yang berstatus tidak resmi berada di Malaysia. 

Mampukah mekanisme baru lindungi buruh migran?

Sejauh ini pemerintah Indonesia telah menciptakan mekanisme baru demi memperkuat prosedur identifikasi korban yang sejalan dengan peningkatan sosialisasi Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (RAN PTPPO) 2015-2019.

Tahun 2015 Presiden joko Widodo sudah meneken Konvensi Anti-Perdagangan Manusia khususnya Perempuan dan Anak tingkat ASEAN. Namun di lain pihak, pemerintah belum memenuhi standar minimal anti-perdagangan manusia di sejumlah daerah rawan perdagangan manusia yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan dan Nusa Tenggara Timur.

Pemerintah masih tidak melaksanakan secara konsisten prosedur penyelidikan dan perlindungan korban perdagangan manusia. Kurangnya pengetahuan otoritas penegak hukum dan yudisial terkait hukum anti-perdagangan manusia elah menghambat proses penyelidikan, peradilan, dan penuntutan anti perdagangan manusia. Pemerintah juga masih bergantung pada organisasi internasional dan LSM serta belum mendanai pelayanan perlindungan bagi korban.

Sementara menurut Global Slavery Index atau Indeks Perbudakan Global 2018 yang memberikan peringkat negara berdasarkan jumlah orang dalam perbudakan modern, serta analisis tindakan yang diambil pemerintah untuk merespons, dan faktor-faktor yang membuat orang rentan bekerja sebagai budak, Indonesia masih termasuk peringkat BB (nilai 50-59) yang berarti Indonesia baru sampai tahap memperkenalkan tanggapan terhadap perbudakan modern dan perlindungan bagi mereka yang rentan terhadap perbudakan modern.

Mengacu pada data Indeks Perbudakan Global 2018, terdapat 1,2 juta orang yang bekerja dengan kondisi jam kerja panjang, upah minim dan kondisi tempat bekerja tidak memadai yang menjurus pada perbudakan modern di Indonesia. Mereka ini bisa berada di pabrik, industri tekstil atau perkebunan dan sektor perikanan. Salah satu kampanye untuk meningkatkan kesadaran adalah dengan menjadikan tanggal 23 Agustus sebagai Hari Anti Perdagangan Manusia dan Perbudakan Modern.

Berdasarkan data ini perjuangan pemerintah Indonesia melawan perdagangan manusia dan perbudakan modern masih sangat panjang. Meski sudah ada penurunan kasus tahun 2017 tetapi penegakan hukum terhadap pelaku belum nyata.

Memberantas perdagangan manusia tidak bisa dilakukan oleh seorang Maizidah Salas saja tetapi membutuhkan begitu banyak pihak, termasuk peningkatan kesadaran di masyarakat dimulai dari para pencari kerja itu sendiri agar mengetahui proses perekrutan, pemberangkatan dan penempatan yang benar.

Ketika ditanya apa yang ingin Maizidah Salas katakan agar publik ikut serta dalam melawan perdagangan manusia, ia berkata, "Mari bersatu melawan perdagangan orang karena menjadi korban perdagangan orang itu mengalami trauma seumur hidup. Manusia bukan untuk dijual, tapi untuk disayang.”

@monique_rijkers : wartawan independen, IVLP Alumni, pendiri Hadassah of Indonesia, inisiator Tolerance Film Festival dan inisiator #IAMBRAVEINDONESIA.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis

*Bagi komentar Anda dalam kolom di bawah ini.