1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Konferensi Berlin Upayakan Pemulangan Milisi Asing di Libya

Jennifer Holleis
23 Juni 2021

Konferensi Libya di Berlin berupaya membetoni perdamaian jelang pemilu Desember mendatang. Namun hal itu mustahil tanpa penarikan mundur milisi Rusia, Turki dan Suriah yang masih bercokol di Libya.

https://p.dw.com/p/3vMOD
Milisi yang loyal terhadap Jendral Khalifa Haftar
Salah satu milisi yang loyal terhadap Jendral Khalifa HaftarFoto: Abdullah Doma/AFP/Getty Images

Diplomat dari berbagai negara bertemu di Berlin, Rabu (23/06) untuk membahas nasib Libya. Selain persiapan pemilihan umum Desember mendatang, anggota delegasi akan turut menegosiasikan penarikan mundur pasukan atau milisi asing.

Adalah lima negara anggota Dewan Keamanan PBB, yakni Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Rusia dan Cina, ditambah Italia, Turki, Uni Emirat Arab dan Uni Eropa akan ikut serta dalam pembahasan tersebut.

KTT di Berlin juga untuk pertama kalinya akan dihadiri oleh anggota kabinet Pemerintahan Persatuan Nasional (GNA) di bawah Perdana Menteri Abdul Hamid Dbeibah. Dia sendiri tidak hadir dalam pertemuan di tingkat menteri ini.

Apa yang berubah di Libya?

Situasi politik Libya berubah secara signifikan sejak konferensi pertama di Berlin, awal 2020 silam. Kesepakatan dan gencatan senjata antara pemerintahan GNA di Tripoli dan pemberontak Tentara Nasional Libya di bawah Jendral Khalifa Haftar di Benghazi pada Agustus lalu, membuka jalan bagi rekonsiliasi di Libya. 

Kedua pihak sepakat membentuk pemerintahan transisi yang akan mempersiapkan Libya menyelenggarakan pemilihan umum pertama pada 24 Desember mendatang. Untuk mencapainya, PM Dbeibah harus lebih dulu menyatukan beragam faksi dan organisasi di Libya yang saling berseteru, untuk mau menjalani rekonsiliasi.

Untuk memahami tantangan yang dihadapi pemerintahan transisi, adalah penting untuk mengakui Tripoli dan Benghazi sebagai dua kutub perpecahan domestik di negeri kaya minyak itu.

Karena pemerintahan Dbeibah menggeser dua struktur kekuasaan, di timur dan di barat, yang menguasai Libya sejak 2014. Penyatuan dua kepentingan tersebut bukan perkara mudah.

Infografik penyebaran kekuasaan faksi-faksi bersenjata di Libya.
Penyebaran kekuasaan faksi-faksi bersenjata di Libya.

Jika GNA di Tripoli bersanding dengan Turki dan Qatar, Jendral Haftar mengandalkan dukungan Rusia, Uni Emirat Arab dan Mesir. Saat ini misalnya Prancis berusaha menggerakkan semua pihak untuk menarik milisi asing dari Libya.

Nasib tentara bayaran 

Meski mencatat kemajuan pesat, upaya mendamaikan Libya sejauh ini masih terbentur keengganan negara-negara yang terlibat untuk menaati embargo senjata, dan menarik milisi asing dari Libya.

Menurut PBB, saat ini terdapat sebanyak 20.000 milisi asing yang masih bercokol di Libya. Mereka kebanyakan berasal dari Turki, Rusia, Sudan dan Chad. 

Embargo senjata yang sempat disepakati hanya bertahan selama beberapa hari. Kesepakatan itu mengecualikan jalur transportasi laut dari batasan embargo, terutama dari Tunisia, Aljazair, Niger, Sudan atau Mesir. 

Masalah lain yang harus dituntaskan pada konferensi di Berlin adalah perbedaan sikap antara Prancis dan Uni Eropa terkait Libya.

"Masalah besarnya adalah bahwa Prancis bertempur bersama milisi dan tentara bayaran di sisi timur Libya, sementara sisa negara Uni Eropa bertempur dengan sisi yang lain,” kata Andreas Dittmann, peneliti di Universitas Giessen, kepada DW. 

"Situasi skizofernia ini hanya bisa dijelaskan lewat kepentingan ekpansi Prancis pasca kolonialisme di Afrika Utara,” imbuhnya.

Presiden Prancis, Emmanuel Macron, sejauh ini membantah pihaknya mendukung pasukan Haftar. Namun situasinya mulai berubah, ketika Macron bertemu dengan PM Dbeibah di Paris, awal Juni silam. 

"Kita harus mengakhiri kiprah milisi asing di Libya, yakni lewat penarikan mundur semua pasukan, Rusia, Turki, Suriah dan milisi-milisi lain,” kata dia saat itu.

Maret silam Prancis kembali membuka kedutaaannya di Tripoli setelah tutup selama tujuh tahun, dan sekaligus mengisyaratkan pengakuan resmi terhadap pemerintahaan persatuan nasional. Macron menegaskan, Prancis "brutang pada Libya dan warga Libya untuk satu dekade penuh kekacauan.” (rzn/pkp)