1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Konferensi Sosial Media "re:publica" Digelar di Berlin

15 April 2010

Konferensi "re:publica" yang digelar di Jerman saat ini merupakan peristiwa penting masyarakat internet di Jerman.

https://p.dw.com/p/MwsD
Konferensi re:publicaFoto: Diego Vásquez

Forum ini mengupas arti pentingnya internet sebagai media komunikasi dan informasi. Terutama di negara-negara otoriter.

Michael Anti meyakini bahwa setiap usaha menyensor internet, tidak bakal berhasil. Para pengguna internet selalu menemukan akal, untuk memperoleh dan menyampaikan informasi. Ketika pemerintah Cina lewat aturan ketatnya mempermainkan perusahaan internet raksasa Google, Anti pun percaya, itupun tak akan sukses. Maret lalu, Google menutup portalnya di Cina sebagai protes atas kebijakan politik internet di negara Tirai Bambu itu. Google mengalihkan mesin pencariannya ke situs web-nya di Hongkong:

„ketika orang-orang mencari sesuatu di google, maka koneksinya kadangkala terputus. Baru kemudian disadari bahwa itu bagian dari sensor. Dan ini merupakan efek paling penting. Lebih banyak orang tahu apa sensor itu. Dan mereka mencari jalan, bagaimana untuk mengakalinya. Semakin lebih banyak dan semakin banyak lagi pengguna internet yang pindah dari situs yang di sensor ke yang tidak mengalami sensor.“

Semakin terungkap adanya sensor, maka semakin kreatif pula orang mencari cara mengatasi sensor itu. Juga warga Iran mempunyai pengalaman akan hal itu. Jarang terdapat contoh spektakuler bagi kekuasaan, yang dapat mengembangkan masyarakat internet, seperti dalam protes melawan rejim di Teheran tahun lalu. Blogger Iran, Farnaz Seifi mengatakan kubu oposisi dulu tidak mempunyai akses terhadap media resmi:

„ Dua bulan sebelum pemilu, rakyat tidak dapat merasakan atmosfir pemilu. Masyarakat tidak tahu mengenai Mir Hussein Mussavi, kandidat dari kaum reformis. Namun jaringan sosial internet dan blogger lah yang memberikan sumbangsih pada antusiasme kampanye itu.“

Mussavi kalah dalam pemilu, namun terdapat keraguan terhadap hasil pemilu yang memicu protes, selama berminggu-minggu lamanya, yang ditujukan pada rezim penguasa. Aksi protes kemudian diorganisir terutama lewat jaringan sosial internet seperti Twitter atau Facebook.

Di Rusia, sensor ketat yang dikenakan terhadap media mendorong orang berpaling ke internet. Hingga kini tidak ada sensor internet di Rusia, ujar blogger Rusia Rustern Adagarnov. Lewat internet, mereka yang skeptis terhadap pemerintah dapat memperoleh informasi yang selama ini disembunyikan media tradisional:„Pada umunya ini merupakan tema yang paling sulit. Terdapat provokasi, laporan-laporan yang tendensiusi pada target tertentu. Kita membutuhkan intuisi dan percaya pada orang yang kita kenal. Semua tergantung pada nama.“

Perang terhadap muatan internet tidak lagi pada tatanan teknis. Pengguna sudah terbiasa melihat munculnya rangkaian komentar, yang membela pandangan pemerintah. Mereka dikenal sebagai kelompok 50 sen. Sebab menurut rumor yang berkembang para penulis yang membuat komentar pro pemerintah mendapatkan 50 sen dari pemerintah atas setipa komentar mereka lewat internet.

Namun kebebasan ada batasnya, bahkan di kalangan pengguna internet Cina yang dengan cerdik berusaha menghindari sensor.

Bagaimana di Indonesia? Pegiat blog Budi Putra yang mengikuti Konferensi "re:publica": „Di Indonesia hampir tak ada kekhawatiran soal ini. Memang ada masalah undang-undang teknologi informasi ya.. yang sempat diributkan. Namun setelah adanya reaksi dari komunita onliner itu tak lagi menjadi momok bagi blogger.“

Budi Putra menambahkan Indonesia tercatat sebagai salah satu negara yang perkembangan pesat blognya kini diperhitungkan di dunia. Terutama karena para penulis blog Indonesia senang membagi kisah, banyak membuat blog yang bermanfaat dan berkualitas.

Matthias Bölinger / Ayu Purwaningsih

Editor : Agus Setiawan