1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Konflik Banggai Renggut Korban

Rizki Nugraha1 Maret 2007

Dipicu rencana pemindahan ibukota kabupaten dari Banggai ke Salakan.

https://p.dw.com/p/CP8Q

Sedikitnya 4 warga sipil tewas dan belasan lainnya terluka dalam sebuah bentrokan dengan aparat keamanan di kota Banggai, ibukota sementara Kabupaten Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah. Sementara dari pihak kepolisian dilaporkan enam anggota Mapolsek Banggai mengalami luka-luka. Bentrokan tersebut dipicu oleh tindakan masyarakat yang menyegel kantor-kantor pemerintahan daerah sebagai protes terhadap rencana Gubernur untuk memindahkan ibukota Kabupaten ke Salakan. Satu lagi buah tak sedap dari Otonomi Daerah yang dibibit enam tahun silam.

Pengalaman di beberapa hari terakhir ini agaknya akan sulit dilupakan oleh Bupati Banggai Kepulauan, Irianto Malinggong. Niatnya memindahkan ibukota Kabupaten dari Banggai ke kota Salakan tertohok oleh sikap agresif warganya sendiri yang menolak perpindahan ibukota. Selama lebih dari seminggu, aktivitas pemerintahan Kabupaten Banggai Kepulauan lumpuh total akibat penyegelan yang dilakukan masyarakat terhadap kantor-kantor pemerintahan. Tidak hanya itu, ibarat menyiram bensin ke api, pihak kepolisian malah menggunakan pendekatan keamanan untuk meredakan amarah warga. Tak pelak korban tewas dan luka-luka berjatuhan.

Sang Bupati pun segera dipanggil oleh Menteri Dalam Negeri M. Ma`ruf untuk menjelaskan duduk perkaranya. Kepala Pusat Penerangan Departemen Dalam Negeri, Saud Situmorang yang turut hadir dalam rapat tersebut menjelaskan, Mendagri sudah memberikan Instruksi langsung kepada Bupati Banggai kepulauan terkait dengan masalah bentrokan baru-baru ini.

"Untuk segera mungkin dengan fasilitasi dari pemerintahan daerah, termasuk tentu DPRD di dalamnya beserta Muspida, untuk duduk bersama-sama dengan seluruh komponen masyarakat untuk bukan hanya menyelesaikan ekses yang sudah timbul itu, tapi juga kembali lagi menyelesaikan akar permasalahannya, yaitu pemahaman sebenarnya." Demikian dituturkan Situmorang.

Sumber petaka yang dimaksud Situmorang adalah Undang-Undang nomer 51 tahun 1999 tentang Ibukota Kabupaten Banggai Kepulauan. Di situ disebutkan, lima tahun setelah pembentukan kabupaten Banggai Kepulauan, ibukota kabupaten akan dipindahkan dari Banggai ke Salakan. Pemerintah mengaku, DPRD setempat menyetujui pemindahan ibukota kabupaten, namun kenyataannya di lapangan, masyarakat menolak mentah-mentah kebijakan tersebut. Agung Pambhudi pengamat otonomi daerah misalnya menilai, proses perumusan UU No. 51 itu kurang memperhatikan aspirasi masyarakat.

"Ini memperlihatkan bahwa pembentukan undang-undang itu agak tergesa-gesa, sehingga yang saat itu ditentukan untuk proses persiapan lima tahun kemudian dan direalisasi belum lama ini, ternyata masih menimbulkan persoalan."

Tapi bukan hanya masalah tersebut yang menjadi kelemahan Undang-Undang No. 51 itu. Agung Pambhudi juga melihat adanya kepentingan politis di balik aksi penyegelan yang dilakukan warga Banggai terhadap kantor-kantor pemerintahan daerah. Perpindahan ibukota kabupaten yang sering dibarengi perpindahan pusat kegiatan ekonomi membuat sebagian kalangan di Banggai khawatir kehilangan sumber rejekinya. Maka tidak heran kalau ada tangan-tangan pengusaha yang ikut bermain dalam bentrokan kali ini. Hal ini pernah terjadi sebelumnya ketika Provinsi Papua dimekarkan menjadi Irian Jaya Barat, di mana terjadi tarik-menarik lokasi ibukota provinsi antara Manokwari dan Sorong.