1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Libyen Bilanz

20 Juli 2011

Serangan udara NATO terhadap Libya sejak empat bulan tidak mampu menuntaskan konflik. Kini dicari solusi dengan perundingan.

https://p.dw.com/p/120Mf
Konflik Libya kini dicoba dicari solusinya lewat perundingan diplomatis.Foto: DW

Empat bulan setelah dilancarkannya serangan bom pertama ke Libya, situasi di negara Afrika Utara itu kelihatannya tetap rumit. Akhir pekan lalu, para diplomat AS dan perwakilan rezim Gaddafi bertemu untuk melakukan pembicaraan pertama. Hal itu menunjukkan, negara-negara barat berusaha mencari sebuah jalan keluar dari kebuntuan operasi militer.

Empat bulan berlalu, setelah dimulainya serangan militer NATO untuk melindungi warga sipil. Sekarang aliansi militer itu pelahan tapi pasti, kehabisan sasaran legitim yang masih dapat dibom. Paling tidak, jika NATO tidak berniat melanggar resolusi PBB nomor 1973 dan tidak mau membahayakan warga sipil. Di saat diktator Gaddafi bersembunyi di benteng pertahanannya di Tripoli, Inggris dan Perancis harus memenuhi kebutuhan amunisi yang mahal lewat jalan memutar, misalnya dari Jerman yang tidak menyetujui aksi militer tsb. Hanya pasukan darat yang dapat mendukung secara efektif pasukan pemberontak, dan dengan itu memberikan titik balik yang menentukan dalam perang memperebutkan posisi. Akan tetapi, barat tidak mau dan tidak dapat mengirimkan pasukan daratnya. Mandat PBB tidak mengatur hal tsb.

Empat bulan setelah dilancarkannya serangan militer NATO, kelompok kontak Libya memutuskan, mengakui dewan transisi pemberontak sebagai perwakilan yang legitim dari rakyat Libya. Akan tetapi, hal itu maksimal hanyalah merupakan tindakan simbolis dan ibaratnya blanko cek bagi andil di masa depan, yang diberikan kepada sebuah pemerintahan yang samasekali belum eksis. Sebab, dewan transisi nasional pemberontak di Benghazi, tidak lebih dari sekedar kelompok demokratis anti-pemerintah yang belum sah, dengan cakupan pengaruh yang juga terbatas. Hal itu memudahkan Rusia untuk menafsirkan, bahwa pengakuan diplomatis terhadap pemberontak, merupakan keberpihakan terhadap satu kelompok dalam sebuah perang saudara. Sebagai dampaknya, Moskow menolak kerjasama di Dewan Keamanan PBB, untuk mengecam pelanggaran hak asasi lainnya di kawasan bersangkutan. Terutama hal itu saat ini amat merugikan oposisi di Suriah.

Di tengah situasi yang serba salah ini, perundingan dapat membuka sebuah jalan keluar. Dengan syarat, Muammar al Gaddafi lengser dari jabatannya dan pergi ke pengasingan. Juga kelompok pemberontak bersikukuh dengan persyaratan tsb, yang menyebabkan mereka menghadapi jalan buntu. Pemberontak menguasai kawasan timur Libya, akan tetapi terobosan yang menentukan di barat, gagal dicapai.

Sanksi terhadap Libya belum menunjukkan dampaknya. Hal itu dalam kondisi terbaiknya, baru akan terasa dalam jangka panjang. Dan diperkirakan baru dapat berfungsi, jika harta kekayaan Gaddafi di luar negeri yang dibekukan, diserahkan bagi kepentingan para pemberontak. Perancis akan mencairkan paket pertama kekayaan Gaddafi yang dibekukan senilai 250 juta Dolar dan mentransfernya kepada pemberontak. Jerman secara prinsip juga mendukung akses rakyat Libya terhadap kekayaan yang dibekukan tsb. Dengan uang itu misalnya saja, rakyat dapat membeli senjata. Akan tetapi, siapa yang memberikan jaminan kepada negara-negara barat, bahwa senjata itu, di kemudian hari tidak akan jatuh ke tangan yang keliru? Perang saudara adalah ladang subur bagi kelompok Islam radikal dan teroris. Yaman dapat menjadi contoh yang mengerikan.

Status quo, juga kurang dapat diterima. Karena dengan itu, rakyat sipil yang perlindungannya merupakan tujuan masyarakat internasional, akan dibiarkan tetap menderita. Di kota Misrata misalnya, ladang ranjau dan kelaparan mengancam kehidupan warga, yang kini hanya dapat dipasok bahan pangan dan bahan bantuan lainnya lewat laut. Dan bantuan bahan pangan saat ini amat buruk. Juga di ibukota Tripoli, saat ini bensin dan bahan pangan semakin langka. Di seluruh Libya dewasa ini tidak ada lagi vaksin untuk anak-anak, demikian laporan PBB. Belum lagi beban psikologis yang ditanggung seluruh rakyat Libya, yang mengalami trauma jangka panjang, akibat ancaman serangan bom setiap hari. Situasi darurat rakyat Libya, amat kontradiktif dengan tujuan resolusi PBB nomor 1973.

Empat bulan setelah perang dilancarkan di Libya, pertempuran kemungkinan akan mengalami jeda selama bulan Ramadhan. Mungkin ini merupakan sebuah kesempatan untuk menggerakan diktator Libya, lewat jalan politik untuk meletakan jabatannya. Untuk itu Washington kelihatannya juga berminat.

Daniel Scheschkewitz/Agus Setiawan

Editor : Anggatira Gollmer