1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kontroversi Kurikulum SD: Minus Sains, Plus Agama

24 April 2013

Kontroversi mengiringi keputusan perubahan kurikulum sekolah dasar yang menghapus mata pelajaran ilmu alam dan menambah jam pelajaran agama.

https://p.dw.com/p/18LOR
Foto: Aditya Rahman

Mirza Faiz Permadi, 7 tahun bersemangat memamerkan buku besar dinosaurusnya, sambil menjelaskan perbedaan beberapa jenis dinosaurus.

Tapi ibunya Siti Aisyah mengatakan bahwa perubahan kurikulum sekolah dasar yang akan datang bisa jadi bakal membatasi imajinasi dan keingintahuan anak itu atas ilmu pengetahuan alam.

“Mirza adalah anak yang cerdas, tapi saya pikir jika ia tidak diajari ilmu alam dan sosial sains, ia tak akan bisa mengembangkan pengetahuan dan keahliannya (kegemarannya) sejak dini,” kata Aisyah.

Mulai tahun ajaran baru sekolah Juli mendatang, ilmu alam akan dihapus dari mata pelajaran anak kelas satu sampai empat sekolah dasar Indonesia.

Tak ada Sains

Kurikulum mendatang, termasuk bagi para murid di kelas Mirza, akan dipecah menjadi matematika, bahasa Indonesia, agama dan kewarganegaraan yang meliputi patriotisme dan kewajiban warga negara. Pengajaran ilmu alam akan diselipkan diantara mata pelajaran tersebut.

Langkah itu diniatkan untuk menaikkan standard pendidikan dan memperkenalkan anak-anak atas nila-nilai moral dan sosial.

Juru bicara Menteri Pendidikan Ibnu Hamad mengatakan bahwa perubahan pengajaran dengan “pemusatan tematik“ tidak berarti bahwa ilmu alam dianggap bukan sesuatu yang penting.

“Kurikulum baru itu bertujuan untuk mempromosikan pembelajaran yang berpusat pada siswa,” kata Hamad.

Murid-murid Indonesia, kata dia, telah terbiasa dengan menghapal. ”Kurikulum baru ini mendorong pelajar untuk berpikir kritis, bertanya dan berkomunikasi,” kata dia.

Pelajaran bahasa Inggris memang dihapus dari kurikulum resmi, tapi sekolah diberi pilihan untuk mengajarkannya, atau juga pelajaran bahasa lain jika mereka bisa menyesuaikannya dengan jadwal sekolah.

Penambahan jam pelajaran Agama

Mata pelajaran sesuai agama murid -- Islam, Buddha, Hindu atau Kristen – akan ditambah dari dua jam menjadi empat jam sepekan.

Anak-anak perlu belajar ajaran yang benar supaya mereka tidak jatuh ke tangan ekstrimisme, kata Menteri Pendidikan Muhammad Nuh.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga membela perubahan kurikulum. “Kurikulum harus mengajarkan anak-anak kita untuk hidup secara harmonis, dan mempraktekkan toleransi dan cinta damai,” kata dia.

Indonesia adalah negara berpenduduk 240 juta jiwa dengan 36 persen diantaranya berumur di bawah 18 tahun.

Program penilaian pelajar internasional yang dilakukan Organisasi Kerjasama dan Pembangunan, OECD, menempatkan pendidikan bagi anak hingga 15 tahun di Indonesia berada pada urutan 57 dari 65 negara di dunia.

Khusus untuk ilmu alam dan matematika, peringkat Indonesia bahkan lebih buruk, dengan menempati urutan 60 dari 61 negara.

Tapi para pengambil kebijakan dan sejumlah pengajar professional menempatkan aspek kepribadian di atas kecakapan akademik.

Kepala Sekolah SD 01 Gondangdia Jakarta, Kuwadiyanto, mengatakan bahwa penambahan jam pelajaran agama dibutuhkan.

“Bukan hanya tanggungjawab orang tua untuk mengajari anak-anak soal moralitas,“ kata Kuwadiyanto.

“TV dan internet punya pengaruh buruk, sehingga anak-anak perlu dibentuk karakternya sedini mungkin.“

Tak menjawab persoalan

Namun kritik mempertanyakan nilai penting dari penambahan mata pelajaran agama.

“Tak ada yang baru dalam soal agama sebagai sebuah kajian akademis,” kata Achmad Munjid, profesor di Centre for Religious and Cross-Cultural Studies, Universitas Gadjah Mada.

“Anehnya, ada desakan mewajibkan pelajaran agama di sekolah dengan menggunakan pendekatan yang doktriner,” kata dia.

Kritik lain mengatakan, perubahan ini tidak akan menyelesaikan masalah yang lebih mendesak mengenai pelatihan bagi para guru.

“Semua masalah dalam sistem pendidikan Indonesia, yang pertama-tama adalah soal kualitas guru,” kata Retno Listyarti, sekretaris jenderal Persatuan Guru Republik Indonesia PGRI.

Diperkirakan 62% guru, bahkan dari yang paling senior, tidak pernah menerima pelatihan, kata Listyarti sambil mengutip survey PGRI atas para guru di 29 kota dan kabupaten seluruh Indonesia.

ab/ek (dpa/afp/ap)