1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kontroversi Morfin Sebagai Obat

A. Haeberle, W. Jati17 Februari 2014

Politik anti narkoba di Indonesia amat ketat. Dampaknya, semua narkotika dipukul rata sebagai jahat. Rumah sakit maupun dokter praktek takut memberi resep obat penghilang rasa sakit, seperti morfin.

https://p.dw.com/p/1BAp6
Foto: Alexander Raths/Fotolia

Rukilah Waeji, pasien penderita kanker stadium akhir. Setiap kali setelah mendapat terapi radiasi, ia mengalami rasa sakit hebat. "Terakhir kambuh payudara membesar, merah. Badan langsung panas. Saya tidak kuat rasa panasnya. Saya tidak bisa lagi pakai baju. Saya hanya mengenakan baju kalau sedang ada orang."

Sulitnya memperoleh morfin

Kebanyakan obat anti rasa sakit adalah keluarga Opiat. Opium mentah dipanen dari getah bunga Apiun. Setelah diolah, jadilah beragam obat anti rasa sakit, tapi juga narkoba seperti heroin dan opium untuk disedot.

Masalahnya, di Indonesia, mereka yang memakai narkotika, apakah itu pasien yang memerlukan atau pecandu narkoba, sering dipukul rata diberi cap morfinis. Karena itu, dokter di rumah sakit pemerintah enggan memberi resep obat anti rasa sakit keluarga opiat.

Efek obat sementara

Yohanes, suami Rukilah, mengisahkan penderitaan istrinya: "Saya paksa masuk rumah sakit terdekat. Empat hari ia diperiksa di rumah sakit. Lalu dokter bilang, mereka tidak bisa membantu karena alatnya tidak lengkap."

Artinya, pasien harus diobati di rumah sakit swasta yang mahal. Tapi, di rumah sakit swasta itulah, pasien diberi obat yang tepat. Antara lain, obat penahan rasa sakit. "Setelah diberi obat, rasa sakitnya tertahankan. Tapi setelah efek obatnya habis, istrinya kembali merasa kepanasan", kisah Yohanes.

Kementrian kesehatan tidak menyuplai praktek dokter umum atau puskesmas dengan obat penghilang rasa sakit seperti morfin. Demikian jelas Cahya Purnama dari Dinas Kesehatan. "Masalahnya, jika dokter belum mempelajari terapi paliatif, akan sangat beresiko bagi pasien."

Perlu perluas terapi penanganan rasa sakit

WHO melaporkan, setiap tahunnya 5,5 juta orang meninggal akibat rasa sakit kronis. Kondisi yang memprihatinkan untuk Dr. Lucas Meliala, dokter spesialisasi saraf yang mendalami bidang penanganan rasa sakit.

"Perlu untuk memperluas pendidikan tentang terapi penanganan rasa sakit di Indonesia. Sesama rekan dokter tidak boleh merasa takur untuk memberikan morfin pada pasien", ujar Meliala.

Tapi bagi pasien kanker Rukilah Warji, langkah tersebut sangat terlambat. Tidak lama usai laporan ini dibuat, ia meninggal akibat serangan kanker stadium akhir.