1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Korban Peristiwa 65 Tolak Tawaran Rekonsilasi

Zaki Amrullah30 September 2006

Mereka menganggap rekonsiliasi hanya akan menempatkan para korban dalam posisi yang salah dalam sejarah.

https://p.dw.com/p/CJaR

Para korban memanfaatkan peringatan peritiwa 30 September yang jatuh hari ini
dengan kembali mendesakan tuntutan agar pemerintah segera meluruskan sejarah kelam yang merampas hak hak mereka selama ini.

Setelah terabaikan selama lebih dari 40 tahun, korban peristiwa 30 September 1965 menuntut permintaan maaf dari pemerintah dan pelurusan sejarah, atas peristiwa yang menyeret mereka menjadi tahanan politik Orde Baru. Eks Tapol Partai Komunis
Indonesia dan underbouw-nya ini juga mendesak pemerintah untuk memulihkan hak hak sosial politik mereka yang selama ini terenggut.

Mereka menolak rekonsiliasi yang ditawarkan pemerintah melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, sebelum ada permintaan maaf resmi dari pemerintah. Salah satu
korban 65, Bejo Untung, yang ditahan selama 9 tahun menyatakan, mustahil bagi para korban memaafkan begitu saja para pelaku tanpa pengakuan salah dari pemerintah. Karena hal itu tetap akan menempatkan para korban menjadi pihak yang bersalah dalam sejarah.

Bejo Untung: "Rehabilitasi dan kompensasai bagi kami itu sesunguhnya tuntutan yang terakhir. Yang penting ialah pemerintah secara jelas mengaku kertelibatannya dalam pembantaian 65 dan pemerintah harus bertangung jawab terhadap targedi kemanusiaan itu aja dulu. Statement politik bahwa pemerintah bertanggugjawab thd pembunuhan masal itu aja cukup. Yang kedua pemerintah mencabut uu yang diskriminarif. Sesudah itu kami baru menuntut rekonsiliasi reparasi, kemudian rehabilitasi dan lain lain."

Peristiwa 30 September 65 terjadi di seputar pergantian kekuasaan antara Presiden Soekarno dengan Soeharto. Laporan dari Komite untuk orang Hilang dan Korban tindak kekerasan atau Kontras menyebutkan, setidaknya 3 juta orang terbunuh selama rangkaian kekerasan itu dan puluhan ribu lainya ditahan tanpa proses peradilan. Pemberian label Eks Tapol bagi para bekas anggota PKI juga membuat para korban dan keturunannya kesulitan memperoleh akses untuk menjadi Pegawai Negeri, TNI maupun Polisi.

Meski demikian, pemerintah sampai saat ini belum bersedia memenuhi tuntutan korban termasuk memulihkan hak hak mereka. Pemerintah berkeras menyelesaikan
kasus itu melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang Undang Undangnya masih digodog. Bagi koordinator Kontras Usman Hamid, selain tidak masuk akal, rekonsiliasi yang ditawarkan pemerintah ini juga tidak memenuhi rasa keadilan, karena korban dipaksa memafkan begitu saja, para pelaku tanpa dikenai hukuman.

Usman juga mengkritik sikap Presiden Yudhoyono, yang hanya menunggu terbentuknya KKR dan tidak segera membuat terobosan baru untuk mengatasi kebuntuan penyelesaian kasus ini.


Usman Hamid: "Korban dipaksa memberikan maaf atau pengampunan. Padahal mestinya pengampunan tidak diberikan dalam kedaaan tidak berdaya. Rekonsilisi masih berpihak pada pelaku. Sebenarnya yg paling penting, Presiden bisa saja menempuh terobosan tanpa menunggu kerja KKR. Ia bisa membentuk komisi reparasi seperti di Chile. Melakukan rehabilitasi, restitusi dan kompensasi Atau
seperti yang ditempuh Presiden Habibie ketika merehabilitasi seluruh tahanan politik 1999."

Menurut Usman, yang terpenting saat ini bukan rekonsiliasi antara korban dengan pelaku, tapi bagaimankah system politik hukum yang baru bisa memulihkan hak para korban yang telah terampas selama lebih dari 40 tahun.