1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Apa Jadinya Penyelesaian Konflik dengan Korea Utara?

9 September 2018

Pendekatan antara Washington dan Pyongyang tersendat-sendat. Kini Cina dan Korea Selatan ingin mengusahakan agar Korea Utara bersedia lebih berkompromi.

https://p.dw.com/p/34XMt
Nordkorea Pjöngjang Vorbereitungen 70 Jahre Nordkorea
Foto: picture-alliance/AP Photo/Ng Han Guan

Ini bukan saat tepat bagi Kim Jong Un untuk bersorak-sorai. Ia ingin mendorong perekonomian, tapi sanksi atas negaranya mencekik perkembangan ekonomi. Hubungan baik dengan AS sebenarnya ditujukan agar sanksi diperlonggar. Tapi tiga bulan setelah pertemuan bersejarah di Singapura, Kim dan Presiden AS, Donald Trump tidak bisa mencapai kesepakatan soal langkah pendekatan selanjutnya.

Kim dan Trump sama-sama "kecewa"

Di depan utusan khusus Korea Selatan Rabu lalu (5/9), Kim menyatakan frustrasi. Korea Utara sudah "mengambil langkah penting pertama menuju denuklearisasi" katanya. Yang dimaksudkannya adalah penutupan instalasi percobaan nuklir dan pembongkaran sarana peluncuran roket. Niat baiknya harus dihargai, demikian katanya keluhan Kim. Itu bisa jadi petunjuk akan akhirnya situasi perang antara Korea Utara dan AS. Memang dalam pernyataan bersama di Singapura, kedua belah pihak menyatakan bersedia memulai hubungan yang "baru". Katanya, di Singapura Trump juga berjanji dalam waktu dekat akan menandatangi pernyataan berakhirnya Perang Korea secara resmi.

Tapi Trump hanya menghentikan latihan militer bersama Korea Selatan. Kemudian dari laporan dinas rahasia terdengar, Korea Utara terus memproduksi bahan baku nuklir dan roket. Awal Agustus, AS menetapkan sanksi-sanksi baru terhadap dua fungsioner Korea Utara. Dan terakhir, Trump memerintahkan pembatalan perjalanan Menlu AS, Mike Pompeo ke Pyongyang. "Kemajuan berarti dalam hal denuklearisasai tidak terlihat", kata Trump. Katanya, kepala Dinas Rahasia Kim Yong Chol mengatakan, Pompeo harus menawarkan sesuatu. Tapi AS meminta langkah denuklearisasi yang jelas terlebih dahulu.

Tekanan dari Beijing dan Seoul

Tapi di pekan-pekan mendatang mungkin akan ada kemajuan. Cina dan Korea Selatan mendesak Kim untuk lebih berkompromi. Presiden Cina Xi Jinping menolak undangan dari Korea Utara untuk hadir dalam upacara ulang tahunnya. Xi Jinping mengirim Ketua Parlemen Li Zhanshu ke Pyongyang. Para analis menilai ini sebagai sinyal dari Beijing, bahwa Korea Utara tidak bisa berharap, sanksi ekonomi akan segera dicabut.

Akibat sengketa datang dengan AS, Cina juga tidak mau menunjukkan terlalu akrab dengan Korea Utara. Trump menuduh Cina diam-diam melemahkan sanksi terhadap Korea Utara dan menggunakannya sebagai alat untuk menekan dalam perundingan soal perdagangan. Cina menampik tuduhan, tapi juga tidak mau menambah ricuh. Sejak 13 tahun lalu presiden Cina tidak pernah datang lagi ke Korea Utara. Xi Jinping mungkin akan menggunakan argumen ini kalau diperlukan.

Presiden Korea Selatan Moon Jae In juga berharap hubungan Pyongyang dan Washington makin erat, agar rencana ekonomi ambisius antar Korea bisa terwujud. Rencana pendirian jalur kereta dan sokongan ekonomi selanjutnya hanya bisa terwujud jika PBB dan melonggarkan sanksi ekonominya terhadap Korea Utara. Oleh sebab itu, dalam pertemuan ketiganya dengan Kim Jong Un, Moon Jae In kemungkinan juga akan mendesak kompromi dari Korea Utara. Perundingan dengan Kim yang akan berlangsung tanggal 18 hingga 20 September di Pyongyang akan berkisar pada topik denuklearisasi.

Kim dan Trump beri sinyal ingin langkah maju

Kim Jong Un sudah mengambil langkah kecil. Ia akan melakukan denuklearisasi di masa jabatan pertama Presiden Trump. Itu dikatakannya hari Rabu. Itu untuk pertama kalinya, Kim mengatakan waktu jelas untuk rencana denuklearisasi.

Itu disambut positif oleh Trump. Tapi Trump juga dikelilingi banyak pejabat yang bersikap keras terhadap Korea Utara, misalnya penasehat keamanan John Bolton. Selain itu, Kim Jong Un juga dikelilingi fungsioner dan diplomat berpandangan kuno, yang cenderung berpikiran AS hanya punya niat buruk. Pertemuan bersejarah antara Kim dan Trump tidak mampu menutup jurang saling tidak mempercayai antar kedua negara.

Penulis: Martin Fritz (ml/ap)