1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Korut Kembali Desak AS Tandatangani Perjanjian Damai

11 Januari 2010

Untuk kesekian kalinya, Korea Utara menyatakan siap rundingkan program nuklirnya, kalau AS mau menandatangani perjanjian perdamaian. Sebaliknya, AS menuntut Korut lebih dulu menghentikan program nuklirnya.

https://p.dw.com/p/LQvH
Gambar simbol: Korea Utara dan uji coba nuklirnyaFoto: AP Graphics

Korea Utara kembali menuntut agar Amerika Serikat segera menggelar pembicaraan damai dan menandatangani perjanjian perdamaian. Ini merupakan prasyarat sebelum perundingan multinasional tentang program nuklir dilanjutkan. Demikian disebutkan dalam pernyataan yang dikeluarkan oleh Kementerian Luar Negeri Korea Utara hari Senin ((11/01) dan dipublikasi oleh Kantor Berita resmi KCNA.

Selanjutnya disebutkan dalam pernyataan itu, jika raya rasa saling percaya antara Republik Rakyat Korea dan Amerika Serikat dapat terbangun, maka penting untuk menuangkannya dalam sebuah perjanjian perdamaian demi mengakhiri situasi perang, yang menjadi akar permusuhan selama ini.

Tuntutan seperti ini sebenarnya sudah sering diajukan oleh Korea Utara. Tapi ini adalah pernyataan pertama sejak kunjungan utusan khusus Amerika Serikat Stephen Bosworth ke Pyongyang bulan Desember 2009 lalu. Ketika itu, Bosworth mencoba meyakinkan pihak Korea Utara agar kembali ke perundingan 6 negara untuk membahas penyelesaian sengketa program nuklir. Tapi pembicaraan itu berakhir tanpa hasil.

Pembicaraan 6 negara dimulai tahun 2003, melibatkan kedua negara Korea, Cina, Rusia, Amerika Serikat dan Jepang. Tahun 2005 dan 2007 pernah dicapai kesepakatan, tapi Korea Utara selalu punya tuntutan baru, sehingga kesepakatan itu tidak terlaksana. Bulan April 2009, Korea Utara menghentikan semua perundingan. Sebulan kemudian, rejim Korea Utara kembali melaksanakan ujicoba nuklir. PBB lalu memberlakukan sanksi baru terhadap negara itu.

Dalam pernyataan yang dikeluarkan Kementerian Luar Negeri Korea Utara disebutkan, sikap permusuhan yang ditujukan pada Korea Utara dalam bentuk diskriminasi dan sanksi merupakan hambatan utama dalam perundingan. Jika hambatan-hambatan itu disingkirkan, ini akan membuka jalan untuk memulai lagi perundingan 6 negara. Menurut kalangan pengamat, Korea Utara sedang berusaha menopang ekonominya yang sedang hancur dan sekarang ingin memulai lagi pembicaraan tentang bantuan ekonomi sebagai imbalan atas pengurangan senjata atomnya.

Amerika Serikat sampai saat ini menolak perundingan bilateral secara langsung dengan Korea Utara. Sebaliknya, Amerika Serikat menuntut agar Korea Utara lebih dulu menghentikan program nuklirnya, sebagai pertanda niat baik untuk membicarakan perdamaian secara keseluruhan. Perang Korea berlangsung antara tahun 1950-1953. Ketika itu, Korea Selatan dibantu oleh koalisi PBB yang dipimpin Amerika Serikat, sedangkan Korea Utara didukung oleh Cina. Perang Korea hanya diakhiri oleh perjanjian gencatan senjata antara Korea Utara dan Amerika Serikat di bawah pengawasan PBB. Jadi secara resmi, perang belum berakhir karena tidak ada perjanjian perdamaian.

Isu lain yang menjadi sorotan adalah situasi hak asasi di Korea Utara. Utusan Khusus Amerika Serikat Robert King, dalam kunjungannya ke Korea Selatan menegaskan, situasi hak asasi di Korea Utara sangat buruk. Ia sekaligus menuntut pembebasan seorang warga Amerika Serikat yang ditahan di Korea Utara karena melanggar perbatasan. Robert King menerangkan, hubungan Amerika Serikat dan Korea Utara hanya akan membaik, jika rejim di Korea Utara lebih memperhatikan hak asasi manusia.

Hendra Pasuhuk

Editor: Ayu Purwaningsih