1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Korut Skeptis Akan Manfaat Hubungan Kim Jong Un dan Trump

12 Juni 2020

Dua tahun sejak rangkaian pertemuan Kim Jong Un dan Donald Trump, Korea Utara kini skeptis atas kegunaan hubungan pribadi kedua tokoh politik. Kebijakan Washington kerap dinilai sebagai ancaman.

https://p.dw.com/p/3dgF8
USA | Nordkorea | Entmilitarisierte Zone | Donald Trump | Kim Jong Un
Pertemuan puncak antara Kim Jong Un dan Donald Trump di zona demiliterisasi Panmunjom, 30 Juni 2019Foto: Getty Images/AFP/B. Smialowski

Media pemerintah Korea Utara pada hari Jumat (12/06) melaporkan, hubungan antara Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un dan Presiden Amerika Serikat Donald Trump nyaris tidak ada gunanya untuk dipertahankan, apabila Amerika Serikat tetap menjalankan kebijakan yang dinilai merugikan Korea Utara. Pernyataan ini diungkapkan dua tahun setelah keduanya pertama kali bertemu pada tahun 2018.

"Kebijakan AS membuktikan Washington tetap menjadi ancaman jangka panjang bagi negara Korea Utara dan rakyatnya, dan Korea Utara akan mengembangkan pasukan militer yang lebih andal untuk menghadapi ancaman itu", demikian dikatakan Menteri Luar Negeri Korea Utara, Ri Son Gwon, dalam sebuah pernyataan yang dirilis oleh kantor berita Korea Utara, KCNA.

Trump dan Kim sempat saling kecam dan ancam pada tahun 2017 ketika Korea Utara membuat kemajuan besar dalam program nuklir dan persenjataannya. Saat itu, Amerika Serikat merespons dengan memimpin upaya internasional untuk memperketat sanksi bagi negara komunis itu.

Namun hubungan keduanya secara signifikan meningkat menjelang KTT Singapura. Pada Juni 2018 untuk pertama kalinya ada seorang presiden Amerika Serikat bertemu dengan seorang pemimpin Korea Utara. Meski demikian, tidak ada pernyataan spesifik yang keluar setelah pertemuan tersebut.

KTT kedua pada Februari 2019 di Vietnam gagal mencapai kesepakatan karena ada konflik terkait permintaan AS agar Korea Utara sepenuhnya menyerahkan senjata nuklirnya, dan tuntutan Korea Utara agar adanya bantuan cepat atas sanksi yang diterapkan.

Menlu Ri Son Gwon juga mengatakan bahwa pemerintahan Trump tampaknya hanya berfokus pada upaya menggolkan tujuan-tujuan politiknya sendiri, sambil berusaha untuk mengisolasi dan mencekik Korea Utara, serta mengancam akan terlebih dahulu menyerang dan mengubah rezim di sana.

"Kami tidak akan lagi-lagi memberikan paket kepada kepala eksekutif AS untuk dimanfaatkan bagi pencapaiannya, tanpa menerima imbalan," kata Ri Son Gwon. "Tidak ada yang lebih munafik daripada janji kosong." Departemen Luar Negeri AS dan Gedung Putih tidak segera menanggapi permintaan media untuk berkomentar terkait hal ini.

Pada hari Kamis (11/06), seorang juru bicara Departemen Luar Negeri Amerika Serikat mengatakan kepada kantor berita Korea Selatan, Yonhap, bahwa AS tetap berkomitmen untuk berdialog dengan Korea Utara, dan terbuka pada "pendekatan yang fleksibel untuk mencapai kesepakatan yang seimbang."

Hadapi tekanan jelang pemilu

Pada hari Kamis Korea Utara juga mengkritik Amerika Serikat karena mengomentari permasalahan yang terjadi di antara kedua Korea, dan mengatakan Washington harus tetap diam jika ingin pemilihan presiden November mendatang berjalan lancar.

"Korea Utara kemungkinan akan mencoba meningkatkan tekanan terhadap Amerika Serikat menjelang pemilihan presiden mendatang", kata Daniel Russel, diplomat AS untuk wilayah Asia Timur. Menurut Russel, klaim Trump yang mengatakan bahwa ia telah menyelesaikan masalah Korea Utara telah memberi pengaruh kepada negara itu.

Sementara Ramon Pacheco Pardo, ahli Korea di King's College London, Inggris, mengatakan pernyataan Menlu Ri Son Gwon tersebut menunjukkan bahwa Korea Utara masih mempertimbangkan semua opsi yang tersedia, mulai dari proses diplomatik yang tepat hingga pengembangan lebih lanjut program nuklirnya.

"Korea Utara masih terus membutuhkan kesepakatan yang layak dibandingkan AS," kata Pacheco Pardo di Twitter. "Itu belum berubah."

Ri mengatakan keinginan Korea Utara untuk membuka era kerja sama baru masih tetap seperti sebelumnya, tetapi situasi di Semenanjung Korea setiap hari semakin memburuk. "AS mengaku sebagai advokat untuk meningkatkan hubungan dengan DPRK (nama resmi Korea Utara), tetapi pada kenyataannya ... hanya memperburuk situasi," pungkas menlu Korea Utara itu. 

ae/as (reuters)