1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Sentimen Anti Imigran di Kota Cottbus Jerman Timur

27 Januari 2018

Bentrokan dengan pisau dan kekerasan antara pengungsi dan warga kota Cottbus sudah dianggap sebagai hal biasa di kota Jerman Timur itu. Simak laporan reporter DW Kate Brady.

https://p.dw.com/p/2rZV5
Deutschland Cottbus Polizisten
Foto: DW/K. Brady

Kota Cottbus terletak 120 kilometer di sebelah tenggara Berlin. Di jejeran harian lokal, bisa dibaca laporan utama dengan judul: "Cottbus kembali rusuh".

Aksi kekerasan antara warga lokal dan pengungsi sering terjadi. Biang keladinya dari kedua belah pihak.

'Saya tidak merasa aman'

Pekan lalu, seorang remaja Jerman menderita luka di wajah, akibat bertikai dengan remaja asal Suriah. Sabtu lalu (20/01), perempuan Jerman,(18 tahun) yang katanya meneriakkan "Orang asing keluar!" ditahan polisi setelah bentrok dengan pria asal Suriah di sebuah pesta, dan kemudian menyerang polisi yang datang.

Beberapa jam setelahnya, kembali polisi harus bertindak terhadap lima pria Jerman yang menyerang dua pria yang katanya "berpenampilan asing."

"Situasi makin buruk setelah pengungsi datang," kata Stefanie (32). Ia mengatakan tidak merasa aman lagi di kota itu, terutama di malam hari.

Cottbus nach den gewaltsamen Auseinandersetzungen
Polisi berpatroli di sekitar pusat kota Cottbus (25/01/2018)Foto: picture-alliance/dpa/P. Pleul

Saleh (30) melarikan diri dari Suriah ke Jerman dua tahun lalu. Ia bercerita dalam bahasa Jerman yang nyaris sempurna. Ia sendiri belum jadi sasaran. Tapi ia juga merasa suasana bagi pendatang jelas memburuk. Saleh sekarang ikut pelatihan untuk jadi pengasuh anak. Menurutnya, kontak antara pengungsi dan warga lokal kurang. Banyak warga lokal tidak ingin kenal pendatang.

Kota ini sudah lama didera masalah, terutama berkaitan dengan kaum ekstrem kanan. Di awal 1990, kaum neo Nazi memblokir tempat penampungan pencari suaka selama tiga hari, baru polisi bisa mengontrol situasi. Akhir pekan lalu organisasi anti imigran "Zukunft Heimat" (Tanah Air Masa Depan) berhasil mengumpulkan massa 1.500 orang untuk berdemonstrasi.

Tidak ada pengungsi baru

Berkaitan dengan berbagai kasus kekerasan tersebut, Walikota Cottbus Holger Kelch dan Menteri Dalam Negeri Brandenburg Karl-Heinz Schroeter mengumumkan pekan lalu, kota Cottbus tidak akan lagi menerima pengungsi dari pusat penerimaan pengungsi di kota Eisenhüttenstadt.

"Bisa dibilang, karena perubahan terlalu banyak dan terlalu cepat," kata Jens Glossmann, juru bicara bagi pemerintah kota. Dalam dua tahun terakhir, jumlah pengungsi di kota yang berpenduduk 100.000 orang bertambah dua kali lipat. Glossmann mengaku, mungkin bentrokan bisa dihindari jika pemerintah lebih banyak memberikan informasi kepada warga.

Takut kehilangan pekerjaan

Masalah ekonomi yang dihadapi kota ikut menyebabkan ketegangan. Menurut kantor tenaga kerja, di bulan Desember 2017, angka pengangguran di Cottbus 6,9 %, yaitu berkurang satu persen dibanding setahun sebelumnya. Tapi itu jauh di atas rata-rata nasional sekitar 5,6%.

Glossmann menerangkan, kurangnya lapangan kerja menyebabkan timbulnya komentar semacam: "Pengungsi mencuri pekerjaan kita." Padahal kenyataannya bukan begitu. Rencana penutupan pembangkit tenaga batu bara di kota itu juga jadi pukulan bagi lapangan kerja di Cottbus. 8.000 orang bisa kehilangan pekerjaan.

Di samping itu, tempat penitipan anak dan sekolah tidak banyak. Tanpa kapasitas cukup, mengintegrasikan pengungsi juga sulit. Solusinya, sokongan finansial lebih besar, kata Glossmann. Tetapi warga Cottbus, seperti Christa (52) merasa pemerintah pusat di Berlin tidak peduli lagi. Menurutnya, karena itu banyak orang yang memilih partai kanan Alternative für Deutschland (AfD) dalam pemilu September lalu. Di Cottbus, AfD dapat 24% suara dalam pemilu lalu.

Langkah pemerintah kota

Dalam upaya mengatasi kekerasan, pemerintah kota menambah pengawasan dengan kamera video. Selain itu, polisi berseragam dan tak berseragam lebih banyak dikerahkan. Tapi warga kota Cottbus Christina tak yakin itu bisa menolong.

"Kembalikan saja mereka ke negaranya," katanya, "Mereka semua yang jahat." Bagaimana dengan warga lokal yang jahat? Christina tidak menjawab.

Omar (29) mengatakan, ia mengerti kekhawatiran sebagian warga lokal. Ia sering merasakan sikap anti orang asing. "Tidak semua orang yang tiba di sini adalah orang baik. Tapi warga lokal juga tidak semuanya baik," katanya. Setelah mengungsi dari Suriah ke Jerman tiga tahun lalu, ia kini bekerja di sebuah restoran kebab.

"Sebagian dari kami berusaha berintegrasi," ditambahkannya. "Tapi kedua belah pihak harus ikut ambil tindakan."

Penulis: Kate Brady (ml/vlz)