1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kota-kota Yang Menciut

3 Mei 2006

Wabah penyakit, perang dan keterpurukan ekonomi selalu menjadi pemicu raibnya penduduk kota dan bahkan lenyapnya beberapa tempat dari peta.

https://p.dw.com/p/CPUV
Jumlah kelahiran kurang, salah satu penyebab penciutan kota di Eropa
Jumlah kelahiran kurang, salah satu penyebab penciutan kota di EropaFoto: Illuscope

Fenomena kota yang menciut bukanlah hal baru, ia sudah meluas sejak tahun 90-an, abad lalu. Seperempat dari kota besar di seluruh dunia kehilangan penduduknya. Pertanyaannya, bagaimana hal itu bisa terjadi dan apa sebabnya? Sebuah proyek yang diusung oleh para peneliti dari Amerika Utara, Tengah dan Selatan, dari Britania Raya, Perancis, Jerman, Korea Selatan dan Australia memberikan informasi tentang hal tersebut. Proyek itu diperkenalkan dalam sebuah simposium di Dresden di depan sekitar 200 ahli.

Penyebab Belum Diketahui

13 pakar ingin mengetahui penyebab terjadinya proses penciutan kota yang khususnya menimbulkan masalah bagi penduduk yang bertahan di kota bersangkutan. Berbagai studi kasus dari seluruh dunia diharapkan bisa membantu menemukan strategi yang sukses dalam menyikapi fenomena kota yang menciut. Dr. Karina Pallagst, pakar tamu pada Universitas Berkeley di Kalifornia menjelaskan perihal proyek 'Shrinking Cities' ini:

"Kami berencana mengembangkan semacam Bench-Line: Di mana ambang batas untuk menyatakan sebuah kota telah mengalami penciutan secara kritis? Dan apabila bisa ditemukan indikator-indikator tertentu dalam konteks, maka kita sudah punya pijakan dasar untuk mengolah informasi yang penting secara tepat bagi kota, kabupaten dan pihak politik."

Partisipasi Masyarakat

Walaupun para ilmuwan dalam upaya mencari faktor-faktor yang sukses untuk menangani proses penciutan kota masih berada pada tahap awal, ada satu hal yang sudah jelas: partisipasi masyarakat adalah salah satu kunci agar bisa menghidupkan kembali kota:

"Partisipasi adalah resep sukses karena, jika kita berangkat dari titik tolak bahwa masih ada orang yang tinggal yang harus dimotivasi, dan biasanya fenomena penciutan kota itu berkaitan dengan hilangnya identitas pada tempat tertentu, maka penting sekali jika kita mendengar apa yang diharapkan oleh masyarakat dari lokasi tempat mereka bertahan."

Contoh apa yang akan terjadi apabila dibuat rencana tanpa melibatkan penduduk kota yang bersangkutan ditemukan oleh peserta proyek dari Korea Selatan, Dong Chun Shin, dalam pembangunan bekas kota tambang Yubari di Jepang. Upaya untuk menggantikan pertambangan batu bara yang hijrah dengan industri pariwisata gagal total. Alasannya:

"Kesalahan dalam kasus Jepang dalam menyikapi masalah kota Yubari adalah bahwa pihak pemerintah lokal mengabaikan penduduk setempat. Mereka terlalu memfokuskan pada industri, bukan pada manusianya. Oleh karena itulah kebijakan tersebut mengalami kegagalan“, jelas pejabat teras Kementerian Pembangunan dan Transportasi Korea Selatan tersebut.

Motivasi

Akan tetapi, kemauan untuk berpartisipasi pada perencanaan proses-proses pembaruan antara kota yang satu dengan yang lainnya sangat berbeda, demikian pengalaman Dr. Pallagst:

"Saya harus katakan, di Jerman mekanismenya cenderung lain. Di sana masyarakat harus dimotivasi dari sisi perencanaannya untuk selalu mengajukan diri ke dalam proses-proses seperti ini. Di belahan dunia lain hal ini sangat berbeda. Di Amerika Serikat misalnya, pihak swastalah, yakni masyarakat, yang memprakarsai hal-hal seperti ini. "

Terjadi di Seluruh Dunia

Namun, perbedaan dalam menyikapi kota-kota yang menciut tidak hanya terletak pada tingkat partisipasi warga yang bersangkutan. Tapi pandangan manusia terhadap mobilitas di berbagai negara juga memainkan peran. Sama halnya dengan pertanyaan apakah mereka yang bertanggung jawab untuk hal itu juga mencoba ikut campur dalam perencanaan atau lebih cenderung menyerahkan proses itu kepada kekuatan pasar. Di samping perbedaan-perbedaan ini terdapat juga kesamaan:

"Proses Hollowing out atau pengosongan daerah kota adalah sebuah pola yang berlangsung di seluruh dunia, benar-benar terjadi di mana-mana." Demikian dijelaskan Dr. Pallagst.

Menurutnya lebih lanjut, pola dasar ini juga ada pengecualiannya:

"Contoh kota Paris perlu disebutkan di sini. Kota dengan daerah inti kota yang sangat stabil dan atraktif di mana proses penciutan berlangsung di lingkaran suburban pertama dan kedua, di mana secara tradisonal terdapat perusahaan-perusahaan industri yang memproduksi."

Pengembangan Budaya

Di suatu masa di kala kota Sydney Australia bersaing dengan London dan New York untuk mendapatkan orang muda yang berpendidikan baik, maka pendekatan-pendekatan perencanaan yang ditujukan pada penawaran budaya yang luas akan lebih berpeluang. Seperti yang dinyatakan Dr. Pallagast:

"Ada pandangan untuk melihat budaya dan kreatifitas sebagai industri, sebagai motor bagi pembangunan, yakni bagi pembangunan yang dengan sadar mengatakan: melalui pengembangan budaya dalam kota kita sekaligus mencoba lagi menarik orang-orang dengan latar pendidikan yang sangat baik. "

Gay Index

Satu takaran, yang didiskusikan secara kontroversial, bagi atraktifitas budaya di kota-kota adalah apa yang disebut dengan ‚gay-index’. Indeks yang menyatakan bahwa kota yang memiliki banyak homoseksual membuktikan tingginya tingkat keanekaragaman budaya dan dengan demikian menjadi atraktif bagi orang-orang berlatar pendidikan tinggi dan bagi perusahaan yang bergerak di sektor high-tech."

Angka Kelahiran dan Migrasi

Di Eropa sebab terjadinya penciutan kota adalah jumlah anak yang dilahirkan terlalu sedikit. Di belahan dunia yang lain pengecilan kota berarti tumbuhnya sebuah kota lain. Bahwa dalam prosesnya negara-negara industri maju sekarang akan terkonsentrasi dan menjadi beberapa megacity raksasa seperti Manila, itu menurut Dr. Pallagst tidak mungkin terjadi:

"Di negara-negara berkembang pada umumnya terjadi migrasi ke daerah perkotaan, suatu proses yang di dunia Barat sudah sejak bertahun-tahun terkonsilidasi. Sementara itu kita bisa melihat adanya trend yang sama sekali bertolak belakang: kondisi hidup di kota-kota menjadi begitu buruk sehingga sebagian penduduk kembali daerah pedesaan. Kota New York misalnya, dalam tahun-tahun belakangan ini terus kehilangan penduduknya, juga San Francisco telah banyak kehilangan penduduknya, antara lain karena biaya tinggal terlalu tinggi, lalu orang-orang mulai berpikir apakah bisa hidup di bagian lain di AS dengan gaji yang lebih rendah tapi memiliki kualitas hidup yang lebih baik."