1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Krisis Pengungsi Sulut Kebangkitan Ekstrem Kanan

Grahame Lucas
29 Januari 2016

Kaum ekstrem kanan menggunakan krisis pengungsi dan menyasar insting serta prasangka orang. Tapi Barat tidak boleh lupa tanggung jawab moralnya. Perspektif Grahame Lucas.

https://p.dw.com/p/1Hlk2
US Wahlen Donald Trump Unterstützer
Foto: Reuters/C. Keane

Perang saudara di Suriah dan Afghanistan, kelaparan dan kekeringan di Afrika Sub-Sahara, juga tidak adanya perspektif bagi orang muda di Afrika Utara jadi faktor-faktor yang menyulut timbulnya gelombang besar pengungsi dan imigran ke Eropa. Banyak pengungsi yang berasal dari Suriah melarikan diri dari Islamic State (ISIS), sebuah organisasi Islam fundamental yang begitu sesat dan kejam hingga jika dibandingkan, kekejian teroris Al Qaeda tampak tak seberapa.

Krisis pengungsi yang sekarang timbul di Eropa belum pernah terjadi sebelumnya di jaman modern. Inilah eksodus manusia yang paling besar yang disaksikan Jerman sejak berakhirnya Perang Dunia II. Dan krisis ini mendorong negara-negara anggota Uni Eropa hingga batas kemampuannya.

Beberapa negara, termasuk Jerman, memberikan pertolongan sebaik mungkin. Jerman menerima sekitar sejuta pengungsi tahun 2015. Tetapi negara lainnya, seperti Hongaria dan Polandia, menolak ide adanya solusi yang melibatkan seluruh Eropa untuk memecahkan masalah ini. Misalnya Inggris, sekarang mempertimbangkan untuk keluar dari Uni Eropa karena politik imigran yang dijalankannya. Sayap kanan dalam pemerintahan menolak penetapan kuota untuk penerimaan pengungsi. Dan kekasaran mereka terhadap pengungsi sudah tercatat.

Tidak bisa diragukan, kenaikan besar jumlah pengungsi beberapa bulan belakangan ini sudah menggeser koordinat politik Eropa secara dramatis. Kelompok kanan di Jerman sekarang meramalkan berakhirnya masa pemerintahan Kanselir Angela Merkel jika ia meneruskan politiknya yang menyambut terbuka kedatangan pengungsi. Partai berhaluan kanan Alternatif bagi Jerman (AFD) kemungkinan besar akan raih banyak suara dalam pemilu tingkat regional yang akan dimulai beberapa bulan mendatang. Karena warga "dikompori" rasa takut yang timbul setelah serangan massal bermotif seksual terhadap sejumlah besar perempuan di Köln pada malam Tahun Baru lalu. Di Perancis, peluang kubu kanan untuk menang dalam pemilu presiden tahun depan juga tambah bagus. Contoh lain masih banyak. Sentimen anti pengungsi sekarang makin membara.

Sementara itu di AS milyuner Donald Trump terus mendominasi kampanye Partai Republik dan melampaui calon presiden lainnya, dengan mengobarkan rasa benci terhadap imigran dan kaum Muslim. Walaupun tadinya dianggap "outsider" dalam dunia politik, peluangnya untuk menang tambah besar. Resep keberhasilannya mudah. Trump berusaha menciptakan ruang bagi xenofobia dalam kampanyenya. Dan kampanyenya hampir sepenuhnya tidak berisi politik.

Taktiknya menyasar insting serta prasangka orang, agar dapat memperoleh dukungan warga konservatif, dan warga biasa lainnya, yang kini makin banyak mendukung Trump. Ini ibaratnya dorongan bagi "konconya" di kubu ekstrem kanan di Eropa. Bersama-sama mereka membuat dunia Barat makin tidak toleran, dan makin tidak bersedia memberikan pertolongan bagi mereka yang memerlukan. Kebijakan yang ditempuh Angela Merkel sekarang mulai goyah. Opini publik menunjukkan tuntutan perubahan haluan kepada mereka yang berkuasa.

Sebenarnya banyak orang memilih mengabaikan tanggung jawab moral dunia Barat sebagai penyebab krisis tersebut. Gelombang pengungsi ini adalah akibat langsung perang dan intervensi yang dimulai Barat di Afghanistan tahun 2001 dan di Irak tahun 2003. Kenyataan sejarah itu tidak boleh dilupakan begitu saja.

Deutsche Welle DW Grahame Lucas
Grahame LucasFoto: DW/P. Henriksen