1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kritik Boleh,Tapi Harus Kritis!

15 Juni 2016

Kecanduan facebook, twitter dan sejenisnya? Keranjingan meme-meme lucu? Luh Ayu Saraswati mengajak Anda berpikir kritis dalam bermedia sosial. Kritis, bukan sekedar kritik.

https://p.dw.com/p/1J3R9
Foto: Getty Images/AFP/B. Ismoyo

Media sosial seperti Facebook atau Instagram memang merupakan fenomena yang relatif baru. Namun ketika kita menganalisa medsos yang sangat populer di masa kini, kita dapat memahami lebih baik interaksi manusia di dunia maya ini, yang pada dasarnya adalah cerminan dari pola pikir masyarakat umum bangsa yang sudah mengakar.

Sayangnya, walaupun ada teman-teman yang berpikir kritis, mayoritas komentar dan posting di medsos lebih banyak yang mengungkapkan kata-kata dan gambar atau meme yang sifatnya mengkritik tetapi tidak kritis. Padahal, agar bangsa kita bisa maju, kita butuh pola pikir yang KRITIS, tetapi bukan menjadi tukang KRITIK.

Indonesien Luh Ayu Saraswati Vortrag Uni Hawaii
Penulis: Luh Ayu SaraswatiFoto: privat

Kritis vs. Kritik

Kerap kali konsep kritis dan kritik menjadi sepadan, padahal sebenarnya kedua konsep tersebut memiliki arti yang berbeda. Menurut “bell hooks“, pola pikir kritis adalah pola pikir yang selalu mencari tahu apa, siapa, kapan, di mana, dan bagaimana dari suatu hal, namun kemudian dapat menggunakan pengetahuan tersebut untuk memilah hal apa yang paling penting dalam memecahkan suatu masalah.

Berdasarkan teori dari Richard Paul dan Linda Elder, pola pikir kritis merupakan suatu seni dalam menganalisa dan mengevaluasi masalah dengan tujuan untuk memperbaiki problema tersebut. Pola pikir kritis, menurut mereka, diarahkan, dimonitor, didisiplinkan, dan juga dikoreksi oleh diri sendiri.

Sementara itu, mengkritik adalah proses berpikir yang tujuannya adalah mencari kesalahan dan kekurangan dari orang lain atau sesuatu hal, seperti novel, misalnya. Bagaimana dengan kritik membangun?

Kritik membangun pada dasarnya adalah bentuk pola pikir kritis, bukan semata-mata mengkritik.

Sebelum Klik “Share,” Berpikir Kritis Dulu

Platform media digital seperti Facebook atau medsos lainnya memang membuat berbagi meme atau postingan di internet menjadi sangat mudah. Hanya menekan tombol “share” dan meme tersebut dengan mudahnya menjadi viral di dunia maya.

Sebuah contoh yang belum lama ini saya temukan di Facebook teman-teman saya adalah meme yang menggunakan humor yang memojokkan transgender dan kaum waria di Indonesia. Di sebelah kiri terpampang foto selebriti Bella Saphira, di tengah foto Bella Shofie, di sebelah kanan foto seorang waria dengan tulisan “Bella Sungkawa.” Memang meme ini bukan satu-satunya yang membuat banyolan dengan menjelek-jelekkan waria ataupun yang mencela fisik seseorang.

Kerap kali di televisi ataupun di pergaulan sehari-hari kita membanyol dengan menggunakan kata-kata yang mencela penampilan seseorang. Sepintas lalu, hal ini nampaknya memang tidak berbahaya dan bersifat ringan. Namun sebenarnya, pola pikir mengkritik ini tidak hanya sudah membudaya, dan membuat tingkat percakapan tidak bermutu, selain itu, pola pikir mengkritik tanpa berpikir kritis memiliki konsekuensi yang tidak produktif: Kritikan menimbulkan hirarki. Seperti contoh yang saya sebutkan sebelumnya, wanita cantik menduduki hirarki yang lebih tinggi daripada wanita yang tidak cantik.

Ketika kita mengkritik seseorang, sebenarnya yang kita lakukan adalah merendahkan orang tersebut. Ketika kita menganggap rendah orang lain, kita sudah melanggar hak asasi manusia, yaitu hak untuk diperlakukan dengan baik dan hormat (dignity). Selain itu, merendahkan orang adalah langkah pertama dalam proses kekerasan terhadap kelompok tersebut, baik waria ataupun wanita.

Sebelum meng-klik share, ada baiknya kita berpikir kritis terlebih dahulu. Berpikir kritis adalah memahami sepenuhnya ideologi apa yang beroperasi dibalik meme tersebut dan apa konsekuensi yang dapat terjadi ketika kita ikut menyebarkan meme tersebut.

Tentu saja, hal ini tidak hanya menyangkut masalah meme di Internet, tetapi secara menyeluruh. Jika kita ingin bangsa Indonesia bangkit dan menjadi maju, kita harus mulai mendidik anak kita untuk berpikir kritis, untuk mengajarkan mereka untuk selalu bertanya agar mereka dapat berpikir lebih mendalam mengenai sesuatu hal, dan supaya mereka dapat memiliki keahlian untuk memecahkan masalah dengan kreatif. Sebelum kita mendidik anak, tentunya kita harus mempraktikkan pola pikir kritis dalam kehidupan kita sehari-hari terlebih dahulu.

Penulis:

L. Ayu Saraswati, seorang penulis, staff pengajar, dan professor di kajian Wanita di Universitas Hawaii. Bukunya yang berjudul Seeing Beauty Sensing Race in Transnational Indonesia mendapat penghargaan dari National Women's Studies Association sebagai buku terbaik di bidang feminisme transnasional tahun 2013.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

Kami tunggu komentar Anda di sini.