1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kronologi Sengketa Program Nuklir Iran

5 Februari 2006

Sengketa program nuklir Iran berawal Agustus 2002. Kelompok oposisi di luar negeri melaporkan tentang instalasi pengayaan uranium di Natanz dan reaktor air berat nuklir di Arak.

https://p.dw.com/p/CJee
Instalasi Nuklir di Isfahan
Instalasi Nuklir di IsfahanFoto: AP

Badan Energi Atom Internasional IAEA kemudian memeriksa kedua instalasi tersebut dan menyimpulkan, Iran melanggar perjanjian non-proliferasi senjata nuklir. Pengayaan uranium itu dinilai bukan untuk tujuan produksi energi. Alasan yang sejak lama tidak dipercaya Amerika dan negara lain, mengingat cadangan minyak dan gas bumi Iran sangat besar.

Hasilnya, Teheran dituntut untuk membeberkan program nuklirnya secara lengkap. Perwakilan dari Jerman, Inggris dan Perancis, yang kerap disebut tiga besar Uni Eropa atau Troika UE, melangsungkan perundingan dengan Iran agar menghentikan program nuklirnya.

Di bawah tekanan internasional, pada Oktober 2003 Iran akhirnya mengumumkan kesediaan untuk menghentikan sepenuhnya program pengayaan uranium. Dua bulan kemudian, Iran menandatangani protokol tambahan perjanjian non-proliferasi dan menyetujui inspeksi mendadak terhadap instalasi nuklir-nuklirnya.

Namun, pada Juni 2004 Iran melanggar batas waktu yang ditetapkan IAEA untuk menyerahkan semua rencana dan informasi mengenai program nuklir negara itu. Pada saat bersamaan, Iran mengumumkan akan melanjutkan produksi mesin sentrifugal gas yang bisa dipakai untuk memperkaya uranium. Sejak itulah ketegangan antara Iran dan dunia barat, meningkat. Janji Teheran untuk menghentikan program nuklirnya dipertanyakan. IAEA lalu memutuskan sebuah resolusi yang menyerukan Iran untuk menghentikan semua kegiatan pengayaan uranium.

Teheran menyampaikan jawaban tegas pada Februari 2005. Presiden Iran ketika itu, Mohammad Khatami menyatakan, pemerintah Iran tidak akan menghentikan program nuklir. Perundingan lanjutan antara Uni Eropa dan Teheran berlalu tanpa hasil. Saat itu, Iran berada di tengah-tengah masa kampanye pemilu. Bulan Juni, Walikota Teheran Mahmud Ahmadinejad dari kubu ultra kanan memenangkan pemilihan presiden, dan menegaskan akan melanjutkan kebijakan pendahulunya Khatami menyangkut program nuklir.

Pada Agustus 2005, instalasi nuklir di Isfahan kembali bekerja. Di fasilitas nuklir tersebut, bijih uranium dikonversi menjadi gas hexafluoride uranium, satu tingkat menuju pengayaan uranium. Uni Eropa sempat menawarkan bantuan ekonomi, jika Iran mau melepaskan ambisi nuklirnya, namun Teheran menolak. Uni Eropa dan Amerika Serikat lalu memperluas tawaran kompromi, Iran boleh melakukan pengayaan uranium, di Rusia. Tawaran ini pun ditolak Teheran. Tetapi disepakati, perundingan mengenai hal itu akan dilanjutkan kembali pertengahan Februari.

Ketika Iran melepas segel IAEA di instalasi Isfahan 10 Januari lalu dan melanjutkan penelitian nuklir, Uni Eropa mengumumkan perundingan dengan Iran berakhir. Uni Eropa mendesak agar Dewan Keamanan PBB dilibatkan.

Tanggal 30 Januari, para mentri luar negeri dari kelima anggota tetap DK plus Jerman, menyepakati posisi bersama menghadapi program nuklir Iran. Rusia dan Cina menyatakan setuju melaporkan sengketa tersebut ke Dewan Keamanan PBB kalau perlu.

Akhirnya pada 4 Februari sidang Dewan Gubernur IAEA setuju membawa kasus Iran ke Dewan Keamanan. Resolusi IAEA tersebut disepakati 27 negara. 3 negara menyatakan tidak setuju dan 5 negara termasuk Indonesia menyatakan abstain. Resolusi tersebut masih membuka kemungkinan perundingan dengan Irak sebelum masalah tersebut dibahas dalam sidang Dewan Keamanan.