1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

KTT Liga Arab: AS Masih Ingin Turut Andil dalam Proses Perdamaian Timur Tengah

27 Maret 2007

Setelah absen bertahun-tahun, akhirnya pemerintah Amerika Serikat bersedia menghidupkan kembali proses perdamaian di Timur Tengah.

https://p.dw.com/p/CP7k
Logo Liga Arab
Logo Liga Arab

Buktinya sejak musim panas lalu, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Condoleeza Rice telah tujuh kali berkunjung ke Timur Tengah, bertemu dengan pemerintah Mesir, Arab Saudi, Yordania, Israel dan pemerintah baru Palestina. Rice secara langsung menyebut pentingnya pemerintah Palestina dan menjamin pemerintah di Washington akan membantu menyelesaikan konflik.

Usai kunjungan dua hari di Yerusalem dan Ramallah Selasa (27/03), Rice menyimpulkan: "Presiden Abbas dan Perdana Menteri Olmert sepakat untuk bertemu dua pekan sekali. Perkembangan positif ini dibangun melalui pertemuan-pertemuan sebelumnya dan berguna bagi kedua pihak. Amerika Serikat memiliki hubungan unik dengan kedua negara dan kami akan melakukan apa pun untuk membantu hubungan mereka.“

Jika Rice berbicara mengenai kegunaan pembicaraan bilateral dengan Israel dan Palestina, tampaknya dia masih jauh dari tujuan yang akan ditetapkan dalam Konferensi Tingkat Tinggi Liga Arab yang akan berlangsung Rabu (28/03). Sejak konferensi tersebut diselenggarakan tahun 2002 lalu di Beirut, Lebanon, Liga Arab memiliki tujuan untuk menawarkan perdamaian dan hak eksistensi kepada Israel, jika Israel menyerahkan daerah yang didudukinya sejak 1967 dan mengakui pemerintah Palestina.

Walau pun usulan ini telah mendobrak tabu, yaitu memikirkan perdamaian dengan Israel. Dulu Israel menolak untuk menyerahkan daerah pendudukannya termasuk Yerusalem Timur dan menolak mengembalikan pengungsi Palestina dari tahun 1948 ke negaranya, yaitu kawasan yang saat ini menjadi wilayah pendudukan Israel. Sikap Israel tersebut tidak pernah berubah sejak itu. Terakhir Perdana Menteri Ehud Olmert dan Menteri Luar Negeri Israel Zipi Livni menyatakan bahwa usulan Arab Saudi itu masih harus diteliti lagi.

Kalimat seperti itu nyaris tidak mengisyaratkan kesiapan pemerintah Israel untuk berubah arah. Malah mencerminkan tumbuhnya ketidakberdayaan dan ketidakinginan yang dirasakan pemerintah Ehud Olmert. Akibat perang Libanon, pemerintah Israel kehilangan simpati rakyatnya dan sedikit demi sedikit posisi istimewanya dalam pemerintah Amerika Serikat diserang. Amerika Serikat tampaknya mulai menganggap dukungan tetapnya terhadap Israel menjadi sesuatu yang merugikan dan memandang penyelesaian berbagai masalah di kawasan tersebut harus dilakukan bersama kelompok selain Israel.

Amerika Serikat menempatkan Arab Saudi sebagai prioritas pertama. Sebelum perang Irak, pemerintah di Washington hampir menyimpulkan Arab Saudi sebagai penghalangnya. Tapi sekarang Amerika Serikat sangat memerlukan Arab Saudi, sebagai penghubung dengan pemerintah Iran dan Suriah, sebagai juru penengah di Libanon, sebagai penengah di antara kelompok yang bertikai di Palestina dan sebagai kekuatan dalam inisiatif perdamaian di Timur Tengah.

Pemerintah di Riyad saat ini menikmati masa kejayaannya. Suatu kesalahan yang fatal bagi Amerika Serikat dan Israel jika menganggap Arab Saudi sebagai pihak yang terakhir bergerak. Kesepakatannya adalah Arab Saudi membawa dunia Arab ke dalam wacana perdamaian dan Amerika Serikat mengurusi Israel. Jika kedua hal tersebut tidak tercapai, maka kesepakatan juga tidak terwujud. Dan pemerintah Washington akan mendapatkan citra buruk di Timur Tengah.

Beberapa saat menjelang KTT Liga Arab, masih ada kemungkinan usaha dunia Arab dan Israel mengalami kegagalan. Media Israel berspekulasi, Arab Saudi dapat saja melonggarkan persyaratannya dan menginginkan, bahwa hanya usulan Beirut saja yang dapat diterima. Upaya Condoleeza Rice pun menjadi tidak pada tempatnya. Menjelang KTT Liga Arab di Riyad, pemerintah di Washington tampaknya mengenyampingkan inisiatif para peserta KTT. Dan itu, berdasarkan pengalaman di Timur Tengah yang tidak memunculkan optimisme.