1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kutinggalkan Hatiku pada Kota di Jerman

Ahmad Kurniawan
3 Juli 2020

"Ich habe mein Herz in Deutschland verloren..." (aku kehilangan hatiku di Jerman) adalah ungkapan yang layak untuk kusampaikan sekembali dari Jerman. Oleh: Ahmad Kurniawan.

https://p.dw.com/p/3egqw
Deutschland | Weinanbau in Rüdesheim
Foto: privat

(Foto Alte Brücke Heidelberg)

Ini adalah kali pertama saya menginjakkan kaki di Eropa karena tugas dinas selama 1,5 bulan di Oktober-November 2019 lalu. Awalnya muncul keraguan untuk memilih Jerman sebagai negara tujuan pelatihan yang akan saya lakukan, hal ini karena stereotipe orang Jerman yang angkuh, keras, cuek, dan hal negatif lainnya sudah tertanam di kepala saya. Apalagi mendengar kisah rekan-rekan yang studi S2 atau S3 di Jerman yang konon katanya sangat berat dan kompetitif.

Tibalah hari H saya berangkat, paspor yang saya kantongi dan kelengkapan selama di Jerman sudah disiapkan. Kota tujuan saya tepatnya di kota Mainz yang sampai saat itu masih belum terbayang kondisinya seperti apa. Perjalanan diawali dengan penerbangan dari bandara Soekarno Hatta dan transit di bandara internasional Changi, Singapura, selama 1 jam sebelum melanjutkan hampir 13 jam perjalanan ke Bandara di Frankfurt.

Deutschland | Ahmad Kurniawan, indonesischer Student in Mainz
Ahmad KurniawanFoto: privat

Semua berjalan lancar, sampai pada saat menanti bagasi saya bertemu dengan orang Indonesia yang sedang studi di Giessen. Kami berbincang singkat hingga pada akhirnya dia membantu saya untuk memilih kereta api yang cocok menuju Mainz. Hal itu sangat membantu, karena masalah terbesar di Jerman adalah bahasa, sangat jarang warga yang lancar berbahasa Inggris.

Kesan pertama saat menginjakkan kaki di Frankfurt adalah suasana yang bisa dikatakan lenggang, padahal katanya Frankfurt adalah salah satu kota besar dan super sibuk di Jerman, mungkin mindset Jakarta, Bandung, dan Surabaya sudah terlanjur tertanam di benak saya. Saya pun tiba di Mainz dengan menumpang RMV U-Bahn (semacam MRT di Jakarta) dan menuju alamat apartemen yang sudah disiapkan oleh salah seorang staf profesor saya. Bulan September tepat di musim gugur dengan suhu cukup dingin sekitar 4 derajat celcius. Saya tiba di Mainz Hauftbahnhof (stasiun utama Mainz), suasananya tidak seramai Stasiun Gambir dan sangat teratur, sebuah kesan pertama yang positif.

Kegiatan pelatihan yang saya lakukan berlangsung di Johannes Gutenberg Universität di Mainz, sebuah universitas yang cukup terkenal di Jerman dimana saya akan belajar terkait ilmu Kedokteran Dasar Bidang Nuklir. Kegiatan tersebut dibimbing oleh Profesor yang sangat baik, beliau guru besar di bidang kimia nuklir, hal tersebut pelan-pelan memangkas stereotipe negatif saya tentang orang Jerman.

Di awal kegiatan training, sore harinya saya selipkan berjalan-jalan menelusuri kota Mainz, sebuah hal yang sangat mengagumkan melihat keteraturan dan keramahan warga disana. Setiap berpapasan dengan warga lokal, minimal mereka selalu melempar senyum dan dibukakan pintu saat memasuki toko, sebuah hal yang langka yang sulit saya temui di Indonesia saat ini khususnya di kota besar.

Hal lain yang membuat saya kagum adalah hampir semua orang lebih memilih berjalan kaki dan menaiki transportasi publik untuk bepergian. Pernah saya  berdiskusi  ringan dengan seorang rekan di kampus tempat saya menjalani pelatihan, kenapa dia memilih naik mobil untuk ke kampus, sangat tercengang saat dia sebenarnya tidak terlalu suka memilih menggunakan mobil karena polusi mobil tidak bersahabat dengan alam, di dalam hati berfikir betapa kesadaran masyarakat akan alam sudah sangat baik.

Deutschland | Markt in Mainz
"Pasar kaget" Sabtu Pagi di kota MainzFoto: privat

Tidak lengkap rasanya jika bicara tempat yang baru tanpa bicara tentang bangunan dan keindahan alamnya, mungkin yang saya kunjungi di Jerman tidak sampai 5% dari tempat favorit dan wajib dikunjungi sebagai destinasi wisata. Kota pertama yang saya kunjungi tentunya Mainz, yang merupakan Ibukota dari Rheinland–Pfalz, kota ini terkenal sebagai kota kelahiran Johannes Gutenberg, serta tim sepak bolanya FSV Mainz 05. Bagi saya yang seorang penganut agama islam, tidak terlalu sulit menemukan tempat ibadah, di sini toleransi umat beragama sangat diperhatikan. Bangunan katedral yang indah, museum Johannes Gutenberg, Mainz citadel dan indahnya Sungai Rhein membuat saya jatuh cinta pada pandangan pertama di kota ini.

Tidak lupa pula keramahan penduduknya. Suasana yang sangat saya kenang adalah adanya "Pasar Kaget” di hari Sabtu pagi di mana suasana sangat ramai namun teratur. Ada warga yang berkumpul sekedar menikmati segelas wine atau secangkir kopi dan roti. Pedagang sayur dan buah segar berkumpul di hari Sabtu di pusat kota. Oh iya, hari Minggunya semua komplek pertokoan tutup, sudah menjadi aturan di Jerman, kecuali toko yang berada di dalam stasiun utama.

Pengalaman selanjutnya adalah mengunjungi Wiesbaden, yang merupakan ibu kota dari negara bagian Hessen. Hanya membutuhkan waktu sekitar 10 menit dengan menumpang U-Bahn saya pun tiba di Wiesbaden. Saya kebetulan berangkat pada hari Minggu sehingga suasana sangat lenggang. Taman kota yang indah, beberapa bangunan dengan arsitektur lama sangat memikat. Tidak lupa dengan katedral yang sangat indah, suasanana yang sepi membuat saya bebas mengambil foto.

Setelah sekian lama di Jerman, tidak lengkap rasanya jika tidak mengunjungi kota yang menjadi tujuan favorit semua orang. Yap, kota itu adalah Heidelberg, mungkin kota ini sudah tidak asing bagi orang Indonesia, selain sebagai tujuan wisata juga terdapat kampus ternama yang sudah sangat tua yaitu University of Heidelberg. Menelusuri kota tua di Heidelberg (Altstadt), Alte Brücke, dan kastil Heidelberg menjadi pengalaman tak terlupakan. Sungai yang bersih, kota dengan arsitektur bangunan tua serta jembatan yang menjadi salah satu ikon kota Heidelberg menjadi daya tarik tersendiri.

Deutschland | Ahmad Kurniawan, indonesischer Student
Alte Brücke (Jembatan Tua) di HeidelbergFoto: privat

Tetapi ada satu tempat yang sangat membuat saya jatuh hati, yaitu Rüdesheim am Rhein. Berawal dari perubahan rencana yang awalnya saya ingin ke Brussels atau Luxembourg, sayapun memutuskan ke Rüdesheim, sebuah kota penghasil wine terbaik di Jerman (foto artikel).

Sebuah tantangan saat mengunjungi kota ini adalah tidak adanya tranportasi umum di dalam kota, sehingga kita "dipaksa” melewati ladang anggur yang indah serta menaiki kereta gantung. Pemandangan yang sangat indah, dan konon katanya tidak banyak berubah sejak zaman dahulu.

Setelah mengujungi berbagai tempat dan berinteraksi dengan orang Jerman, pandangan saya berubah total. Jerman adalah negara yang sangat layak untuk dikunjungi, banyak hal baru yang bisa dipelajari disini. Kemajuan teknologi dan industri yang tidak melupakan lingkungan sangat patut diapresiasi.

Sayapun meninggalkan Jerman dengan perasaan campur aduk, antara sedih dan bahagia. Sedih karena berpisah dengan kota dan segenap orang yang ramah, dan bahagia bahwa masih ada kesempatan untuk memacu diri agar bisa melanjutkan studi di Jerman. Belahan bumi yang luas ternyata menyimpan banyak sekali mutiara keindahan. Indonesia dengan keanekaragamannya sangat menarik perlu dijaga, kita perlu belajar dengan orang Jerman, tentang bagaimana mencintai dan menjaga alam.

*Ahmad Kurniawan berkunjung untuk riset ke Jerman pada Oktober - November 2019. Saat ini bekerja sebagai peneliti di Badan Tenaga Nuklir Nasional

**DWNesiaBlog menerima kiriman blog tentang pengalaman unik Anda ketika berada di Jerman atau Eropa. Atau untuk orang Jerman, pengalaman unik di Indonesia. Kirimkan tulisan Anda lewat mail ke: dwnesiablog@dw.com. Sertakan 1 foto profil dan dua atau lebih foto untuk ilustrasi. Foto-foto yang dikirim adalah foto buatan sendiri. (hp)