1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

140710 Megacitys Lagos LANG

26 Oktober 2010

Mengenal Lagos, kota dagang terbesar di Nigeria untuk menemui Sefi Atta. Bersamanya mengunjungi lokasi kisah kehidupan Enitan dan Sheri, dua tokoh dalam novel "Everything Good Will Come".

https://p.dw.com/p/Pk6x
Seorang penjual di pasar LagosFoto: DW

"Susah betul rasanya belajar mencintai kota ini. Lagos ini kota dagang yang kerap dalam keadaan semrawut. Perdagangan menjamur di pojok kota yang tersempit, di dalam toko, di atas kepala pengasong, di kompleks perumahan, juga di pinggiran kota di mana keluarga-keluarga berusaha mendapat penghasilan tambahan dengan mengubah sebagian rumahnya menjadi salon kecantikan atau kantor peminjaman uang. Dan hasilnya ya sampah… tumpukan-tumpukan sampah di mana-mana, di jalanan, di dalam got-got yang terbuka dan di pasar-pasar. Di kota ini, kedua hal itulah yang paling mencolok. Kotornya dan perdagangannya." Sefi Atta membaca dari bukunya, tentang Enitan dan Sheri, dua perempuan muda yang kisah hidupnya diceritakan dalam novelnya.

Seperti Sefi Atta, kedua tokoh ini tidak tinggal di antara keributan dan kotornya Lagos, yang bersama jalan-jalan tanah tak beraspal menandai hampir semua kawasan pinggiran kota Lagos. Dunia mereka adalah kawasan Ikoyi di pulau Lagos, yang dulunya ditempati keluarga-keluarga kolonial berkulit putih. Setelah kemerdekaan Nigeria pada 1960, banyak pejabat, politisi dan pengusaha yang pindah ke kawasan itu. Sampai tahun 1991, Lagos merupakan ibukota Nigeria. Sefi Atta lahir di Ikoyi tahun 1964, ke dalam dunia yang aman dan terlindung sebuah keluarga pejabat tinggi Nigeria.

Flash-Galerie MC Lagos Torkontrolle
Petugas keamanan swasta memeriksa mobil yang memasuki komplek perumahan elitFoto: DW

Sulitnya Bergerak di Kota Lagos

Menuju bundaran Falomo, mobil-mobil yang merayap silih berganti membunyikan klakson di jalan Awolowo, nadi lalu-lintas kawasan Ikoyi. Pusat perbelanjaan Falomo, yang sekarang tampak kecil dibangun 1957. Sefi Atta ingat bagaimana penduduk di sana dulu khawatir, mal itu akan menyebabkan macet. Juga pada jembatan menuju Victoria Island, lokasi kantor perwakilan asing dan pusat perbankan kota dagang utama Nigeria.

Sekarang untuk mencapai Victoria Island, naik mobilpun sulit. Jalanan kerap macet. Hanya ada dua jembatan yang menghubungkan pulau utama kota itu dengan kawasan perbankan di jazirah yang melindungi pulau Lagos dari laut lepas. Di belakang deretan bank-bank dan hotel-hotel mewah kawasan Victoria Island, ombak lautan Atlantik menerpa pantai berpasir putih.

Sefi Atta sedikit kaget melihat air laut yang hijau kebiruan dan pasir yang masih putih bersih. Bagi penduduk di pulau Lagos, pantai ini sejak dulu istimewa. Pada hari Minggu, keluarga-keluarga biasanya piknik di pantai sepulang dari gereja. Kini terdapat larangan berenang. "Ini pantai yang bahaya. Hampir setiap orang punya kenalan atau paling tidak pernah mendengar tentang seseorang yang tenggelam di sini. Di tahun 70-an di pantai ini banyak pencuri yang ditembak mati oleh pasukan komando yang melakukan eksekusi. Ini juga termasuk salah satu kenangan saya tentang kota ini, tapi bukan yang positif. Saya ingat bagaimana pantai ini dulu selalu menimbulkan ketakutan."

Sebuah tembok besar dari batu dan beton membatasi tempat pejalan kaki dan pantai pasir. Sampai beberapa tahun lalu, ombak lautan Atlantik sering menerjang jauh ke daratan mengancam rumah dan villa di sekitarnya. Tembok beton itu mengingatkan, bahwa Lagos adalah pulau yang terletak di tengah danau. Meski begitu, tetap terancam oleh naiknya permukaan air laut.

Membangun Wilayahnya Masing-masing

Kembali ke Ikoyi, menuju perumahan mewah “Forshore Estate” yang dikelilingi tembok dan dijaga ketat. Di perumahan itu, bangunan bersaing untuk tampak lebih mewah melalui hiasan yang berlebihan dan penopang gedung ala Yunani. Masing-masing rumah masih dipagari tembok tinggi bermahkotakan kawat berduri. "Setiap orang di Lagos berusaha membangun istanyanya sendiri. Di sini tak ada aliran listrik yang tetap dan pemerintah tidak menyediakan layanan air bersih. Oleh sebab itu, semua orang mengurusnya sendiri, juga dalam urusan keamanan. Rasanya, saya membuat lelucon tentang itu dalam buku saya, bahwa setiap orang membangun republik kecilnya sendiri. Kalau punya uangnya, maka orang akan membelinya."

Dalam novelnya, "Everything Good Will Come“, tokoh cerita Enitan pada tahun 1980-an pindah ke salah satu perumahan mewah di Ikoyi, bersama suaminya. Kawasan perumahan yang dalam buku itu bernama "Sunrise Estate" sebenarnya bernama "Dolphin Estate". Awalnya dibangun untuk kalangan menengah atas, rumah-rumah bertingkat di Dolphin Estate kini tampak terlantar. Beberapa gedung tampak digunakan sebagai gereja, ada juga yang dialihfungsikan sebagai sekolah. Toko-toko dan bengkel memberi kesan sebuah kawasan kota yang biasa. Apalagi dengan suara generator listrik yang memekkan telinga.

Dalam novelnya, Sefi Atta merinci kehidupan di sebuah perumahan "Estate“ pada masa-masa susah bensin, yang berulang kali terjadi.

"Di hari pertama kami menelpon satu sama lain dan bertanya-tanya, kami hidup di negara macam apa? Bagaiman kami bisa bepergian? Di hari kedua, anak-anak begitu senang karena bisa dua hari tinggal di rumah, tidak harus masuk sekolah. Di hari ketiga, anak-anak di rumah sudah membuat para orangtuanya geregetan… dan merekapun cepat-cepat mencari solusi. Di antara ada yang bekerja di bank, lalu mengirimkan sebuah bis untuk berkeliling menjemput-antar anak-anak itu, lalu ada orang yang punya kenalan yang kerja di sektor minyak dan punya cadangan bensin, lalu orang ini kenal orang lain yang menjual bensinnya secara ilegal dengan harga pasar gelap."

Lagos Harus Tetap Bertahan

Hal yang juga khas di Lagos adalah pasar-pasarnya. Pasar Obalende berada di sebelah sebuah tangsi militer besar. Sefi Atta ingat bahwa dulu ia sering beli sayur-mayur, beras dan kacang-kacangan di sana. Kandang-kandang ayam betina dan ayam jago berjejer dekat tumpukan butir telur, di sebelah bakul-bakul daun salat yang sudah dibersikan dan gunungan buah nanas. Di pasar ini, semua kebutuhan sehari-hari bisa dibeli. Di gang-gang kecil penuh debu, sepeda motor dan becak memaksa orang untuk minggir. Indra penciuman dijejali bermacam bau.

Flash-Galerie MC Lagos Obst
Foto: DW

Meski Sefi Atta sudah terbiasa dengan bersihnya supermarket di Amerika Serikat, ia menikmati suasana pasar ini. Dan iapun menyadari, ia tak hanya harus berjaga dari si panjang tangan. "Di sini kamu musti siap lahir dan bathin, karena ibu-ibu di pasar ini adalah pedagang yang jago-jago. Mereka tahu, kalau kamu bukan dari sini. Mereka juga bisa membedakan orang seperti saya, dari cara berpakaiannya yang agak beda. Dan meskipun saya mengenakan pakaian tradisional, mereka pasti mampu menipu saya atau setidaknya membuat saya membayar lebih mahal "

Sefi Atta menjelaskan, bahwa anak-anak muda yang memiliki gaji tetap sudah jarang datang ke pasar ini. Mereka memilih supermarket modern yang ber-ac. Meskipun hara barang di situ lebih mahal.

Lagos adalah sebuah kota besar yang tengah berubah. Perbedaan sangat besar antara kawasan kumuh dengan gedung-gedung kaca yang tinggi di kawasan perbankan. Tahun 2007, pemerintah baru negara bagian Lagos telah membersihkan sampah dari jalan-jalan di kota itu, jalan-jalan itu kini juga dibebaskan dari warung dan kios. Selain itu diluncurkan sistem transportasi publik.

Apakah ini berarti Lagos semakin maju? Padahal banyak orang menilai, Lagos dulu jauh lebih lebih baik. Sefi Atta pun mengatakan, "Ada ungkapan "Eko o ni baje". Yang artinya "Lagos tidak akan hancur". Saya harap, bahwa kami betul-betul tidak menghancurkannya. Maksud saya, semua warga yang tinggal di Lagos. Karena bila saya melihat perkembangan di sini, optimisme ungkapan itu rasanya sudah terkikis habis. Meski begitu, saya sebenarnya masih punya harapan, entah kenapa. Mungkin karena tidak punya pilihan lain, kecuali untuk tetap optimis."

MC Lagos Sefi Atta 2
Sefi AttaFoto: DW

Thomas Mösch/Edith Koesoemawiria
Editor: Christa Saloh