1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Lapar dan Marah, Derita Korban Banjir Pakistan

12 Agustus 2010

Rakyat Pakistan merasa diabaikan oleh presiden mereka, Asif Ali Zardari yang baru pulang dari lawatan manca negara. Ketika banjir meluluhlantakan negeri itu, sang presiden malah berada di Prancis dan Inggris.

https://p.dw.com/p/OmIf
Pengungsi berebut makananFoto: AP

Ketika pertamakali melihat truk kecil milik Organisasi Bantuan Kristen Shelter Now, sekelompok massa di Kota Nowshera, Pakistan, berlarian. Mereka berusaha menghentikan truk itu dan memperebutkan kantung-kantung plastik berisi Kabli Pulao, yaitu nasi yang dicampur dengan kismis dan kacang-kacangan. Dalam beberapa detik, sekelompok orang itu saling tumpang tindih.

Pakistan Überschwemmung
Kelaparan dan kemarahan bercampur jadi satuFoto: AP

Dengan tangan kecilnya, anak-anak mencoba meraih makanan bantuan itu. Para relawan berusaha melakukan yang terbaik dalam menenangkan mereka. Dengan tidak sabar para korban banjir itu melahap makanan yang diperoleh.

Kemarahan pun Terlontar

Di antara para relawan terdapat seorang Jerman. Kepadanya, tak berapa lama seorang korban banjir mengutarakan kemarahannya terhadap pemerintah Pakistan: „Pemerintah kami sangat tidak membantu. Tidak ada pemimpin pemerintah yang datang ke sini. Karena mereka semua adalah perampok dan anjing. Jika presiden kami Asif Ali Zardari datang ke negeri kalian, jangan beri dia bantuan apalagi uang. Dia perampok.“

Überschwemmung in Pakistan
Pengungsi Nowshera mencari tempat amanFoto: ap

Tudingan berat yang dilontarkan sebagaimana yang dikeluhkan di Nowshera, Pakistan barat laut, dan terdengar kemana-mana adalah : Pemerintah Pakistan terlalu sedikit membantu dan yang dibantupun hanya yang mendukung pemerintah. Uang untuk bantuan darurat dikorupsi dan dalam jangka waktu panjang tidak mampu membangun kembali kerusakan akibat bencana.

Seorang warga berujar: „Dalam lima puluh tahun ke depan, situasi tidak akan kembali seperti sebelumnya. Apakah kami harus mati? Haruskah kami bunuh diri? Haruskah kami saling bertempur? Tak ada yang peduli, hanya Tuhan.“

Kata-kata itu diucapkan Noorul Basar. Ia dulunya tinggal di sebuah rumah di bantaran kali di Sungai Kabul. Kini Basar tinggal di jalanan bersama ribuan orang lain, di antara puing-puing, lumpur, dan air kotor dari sungai.

pakistan1.jpg
Korban banjir di NowsheraFoto: AP

Bantuan Amat Diperlukan

Sejak hari Kamis pekan lalu, para petugas kemanusiaan dari Organisasi Shelter Now membagikan 2000 bungkus makanan setiap harinya. Pemimpin proyek bantuan Naseem Jan kuatir: Bagaimana bila organisasi kehabisan uang? Lalu bagaimana kemudian, siapa yang membawakan makanan bagi mereka? Keluhnya: „Situasi ini benar-benar di luar kontrol. Orang-orang ini tampak makin memburuk situasinya. Mungkin mereka mulai menjarah rumah, atau memalak orang di jalan. Banyak orang muda bakal jadi kriminal.“

Tak lama, setelah dua puluh menit makanan diperebutkan, 2000 bungkus makanan yang dibawa organisasi bantuan itu pun habis hari itu. Di bagian depan truk sebenarnya terdapat tas-tas yang berisi barang berharga, namun tak ada yang tertarik meliriknya. Tampaknya pada saat ini, nasi bungkus jauh lebih berharga bagi mereka.

Rupert Waldmüller/Ayu Purwaningsih

Editor : Marjory Linardy