1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Laporan Amnesty Internasional 2007: Kutuk Politik Menebar Ketakutan

Ayu Purwaningsih25 Mei 2007

Perang melawan teror yang dipelopori Amerika menunjukkan catatan pelanggaran hak asasi manusia yang luar biasa. Demikian laporan tahunan terbaru lembaga pemantau hak-hak asasi Amnesty International, yang baru dirilis.

https://p.dw.com/p/CP5y
Sekjen Amnesty International Irene Khan
Sekjen Amnesty International Irene KhanFoto: AP

Amnesty International juga mencatat, sepanjang tahun 2006 lalu, dunia diwarnai penerapan politik menebar ketakutan, baik oleh para penguasa maupun kelompok-kelompok pemberontak bersenjata. Laporan tahunan ini mencatat keadaan HAM di 150 negara, mencakup pelanggaran berat HAM dalam skala besar hingga pelanggaran biasa.

"Para milisi itu melucuti pakaian anak-anak perempuan. Kami semua ditelanjangi. Bahkan juga ibu-ibu, harus telanjang di depan anak-anak mereka. Dan memaksa anak perempuan melayani keinginan seks mereka.Jika menolak, mereka akan membunuh kami. Banyak yang hamil. Bahkan ada anak perempuan yang baru berumur 10 tahun yang sampai melahirkan bayi."

Cerita pedih itu diceritakan oleh seorang bekas serdadu anak, saat ia dipaksa memanggul senjata, ikut berperang bersama para pemberontak Kongo.

Afrika memang merupakan benua yang paling parah pelanggaran HAM-nya. Seperti tergambar di Chad, tempat penampungan jutaan pengungsi yang menyelamatkan diri dari Darfur, Sudan.

Di Darfur, milisi Arab Janjawid melakukan kekerasan brutal terhadap kaum Sudan kulit hitam yang bahkan dipandang dunia sebagai tindakan pembantaian etnis. Kelompok Janjawid didukung pemerintah Sudan. Sudah ratusan ribu orang tewas dan setidaknya 2,5 juta orang terusir dan mengungsi. Pembunuhan, kekejaman di luar kemanusiaan, perkosaan, dan berbagai kebrutalan lain merupakan peristiwa sehari-hari. Seperti dialami Azza, yang kini hidup di sebuah kamp pengungsi di Chad, negara tetangga Sudan. Sejak suaminya hilang saat mencari ternak yang dicuri oleh milisi Janjawid tahun lalu, Azza, 23 tahun kini harus berjuang menghidupi anak mereka sendirian, di kamp pengungsian.

„Mereka membunuh suami-suami kami. Mereka menggunakan pisau untuk menebas leher suami kami dan menembak mati orang-orang tak berdosa lainnya. Kami dibiarkan menderita, dan tak ada yang menolong kami Kami bahkan sukar memperoleh makanan di negeri kami sendiri.“

Konflik atau perang, merekat erat dengan pelanggaran HAM. Di Sudan, Afghanistan, Palestina, Libanon, tentu juga Irak, penindasan terhadap hak-hak asasi manusia merajalela. Rezim bertangan besi maupun kelompok-kelompok bersenjata menjalankan politik menebar ketakutan kepada kalangan warga sipil. Ini dipapar dalam laporan tahunan Amnesty Internasional yang kali ini tebalnya lebih dari 300 halaman. Sekretaris Jendral Amnesty International Irene Khan mengungkapkan:

"Kami menyaksikan munculnya gelombang xenophobia atau anti orang asing dan rasisme terhadap misalnya kelompok Gipsi di Eropa. Kita menyaksikan bangkitnya Islamofobia dan anti Yahudi, sebagai dampak dari ditebarkannya ketakutan terhadap kondisi keamanan dan ancaman terorisme. Maka dalam hal ini, bisa disimpulkan, dunia diliputi oleh ketakutan, dan ketakutan itu digunakan oleh berbagai pemerintahan untuk menerapkan kebijakan keras dengan dalih untuk menciptakan keamanan, sembari mengelak dari pertanggungjawaban."

Tetapi pelanggaran HAM tidak hanya terjadi di negara-negara yang tengah dilanda perang dan dikuasai pemerintah bertangan besi. Negara-negara maju pun tidak luput. Khususnya Amerika Serikat dengan pelanggaran HAM dalam operasi-operasi perang melawan terorismenya, serta sejumlah negara Eropa dalam diskriminasi terhadap kaum minoritas dan perlakuan terhadap pengungsi. Mereka dinilai „mengkhianati“ nilai-nilai mereka sendiri tentang HAM.

Semua ini berkenaan dengan wacana ketakutan yang berakibat pada suburnya rasialisme dan diskriminasi. Iklim ini juga mendorong stigmatisasi maupun kecurigaan terhadap orang Islam di satu pihak dan sikap anti Yahudi di lain pihak, dan menimbulkan masalah-masalah bagi para pengungsi dan buruh migran. Sementara perang melawan terorisme menimbulkan jurang yang dalam antara muslim dan non muslim.

Amnesty International juga menyebutkan penahanan tawanan di penjara Amerika Serikat di Guantanamo merupakan monumen ketidakadilan dalam perang melawan terorisme. Terdapat 400an tawanan dari 30 negara, separuhnya mogok makan. Sepersepuluhnya mencoba bunuh diri. Sebagaimana dialami Muhammed Faraj Bashmilah:

Ia ditahan dalam perjalanan dari Yordania menuju Amerika Serikat. Selama 18 bulan ia ditahan dan dikucilkan. Tanpa pernah tahu apa alasannya sampai ia ditahan.

„Mereka langsung menutup mata dan telinga saya dengan kain, dilapisi lagi dengan plester. Pada saat itu saya tidak dapat merasakan apapun lagi, karena mereka memukul setiap bagian dari tubuh saya. Saya hanya percaya bahwa Tuhan pasti akan melepaskan kepedihan dan penderitaan saya.”

Catatan penting lain dari laporan Amnesty Internasional adalah penangkapan aktivis dan pembungkaman wartawan di Turki serta pembatasan aktivitas LSM dan pembunuhan jurnalis di Rusia. Yang juga dibahas khusus adalah pembatasan media internet di China, Iran, Vietnam, Suriah dan Belarus.

Bagaimana dengan Indonesia? Negara yang kembali terpilih untuk duduk menjadi anggota Dewan HAM PBB ini, catatan pelanggaran HAM nya pun tidak bisa dibilang ringan. Buntunya kasus pembunuhan aktivis HAM Munir, perlakuan buruk terhadap para tahanan sebagai mana dialami 23 warga Papua, masih dijalankannya hukuman mati, dan yang khusus, adalah diskriminasi dan perlakuan buruk terhadap perempuan, sehubungan pemberlakuan berbagai aturan berdasarkan syariah. Banyak perempuan yang dihukum dengan tuduhan berprofesi sebagai pekerja seks komersial, gara-gara berada sendirian di luar rumah pada malam hari. Serta berbagai pelanggaran terhadap hak beragama dan berkeyakinan yang dialami banyak kelompok-kelompok agama dan kepercayaan minoritas.

Harapan bahwa dunia akan terbebas dari pelanggaran HAM, masih jauh panggang dari api. Namun Sekjen Amnesty International, Irene Khan tidak mau bersikap pesimistis:

„Pengikisan hak-hak asasi manusia hanya dapat diatasi bila ada kesadaran yang lebih kuat dari solidaritas bersama. Jika politik menebar ketakutan dapat dihentikan dan ada kesadaran atas nilai-nilai sejati HAM, maka dunia dapat seiring jalan membangun nilai hak-hak asasi manusia secara global.“