1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Laporan Komisi Rekonsiliasi Thailand

17 Juni 2006

Setelah rangkaian kekerasan di Thailand Selatan, Raja Thailand Bhumipol Adulyadej mendesak pembentukan Komisi Rekonsiliasi. Bagaimana menengahi konflik berkpanjangan?

https://p.dw.com/p/CPDd
Militer dikerahkan ke Thailand Selatan setelah rangkaian bentrokan kekerasan
Militer dikerahkan ke Thailand Selatan setelah rangkaian bentrokan kekerasanFoto: AP

Yosathon berusia sembilan tahun, ketika melihat dua orang lelaki berpakaian tradisional kaum muslim Selatan Thailand menembak ayahnya. Sekarang Yosathon harus melihat bagaimana ayahnya yang menjadi lumpuh menggigil ketakutan setiap kali seorang muslim atau berpakaian muslim masuk ke tokonya.

Laporan Komisi Rekonsiliasi untuk Thailand Selatan dimulai dengan sejumlah cerita seperti ini guna memperjelas bahwa yang dipertaruhkan dalam konflik ini adalah masa depan bangsa. Begitu ungkap Professor Chaiwat Satha Anand, direktor Komisi Rekonsiliasi itu. Ia mengatakan bahwa pengalaman seperti itu membangun kebencian di hati generasi muda, yang kemudian memicu kekerasan lebih jauh.

Chaiwat Satha Anand: „Cerita seperti ini kami ungkapkan, agar Thailand dan dunia internasional melihat bahwa konflik ini tidak bisa hanya dilihat dari sisi politik, tetapi juga dari dampaknya terhadap korban. Sementara korbannya kebanyakan adalah anak-anak, yaitu masa depan masyarakat Thailand. Inilah yang harus diperhatikan.”

Kelompok separatis Islam sudah memperjuangkan kemerdekaan Thailand Selatan sejak tahun 70 dan 80-an. Sejak gelombang kekerasan kembali melanda dua tahun yang lalu, berlangsung 3.500 kasus yang menurut sumber resmi menewaskan 1000 orang. Menurut Professor Chaiwat, ada 6000 anak yang menjadi yatim-piatu karena serangan dan pembunuhan yang berlangsung selama ini.

Dulunya Thailand selatan merupakan wilayah kerajaan Pattani yang melayu. Kerajaan Siam menganeksi wilayah ini pada tahun 1902. Mayoritas penduduk wilayah ini beragama Islam dan merasa lebih dekat ke Malaysia daripada ke Thailand yang beragama resmi Buddha. Namun bukan saja perbedaan agama dan budaya yang menjadi penyebab kekerasan itu. Pemerintah Thailand beranggapan bahwa ada kelompok kriminal yang berusaha untuk menyingkirkan pedagang-pedagang yang beragama Buddha. Selain itu ada dugaan, bahwa gerakan kemerdekaan di wilayah itu dikendalikan oleh organisasi teroris, Jemaah Islamiyah. Di lain pihak ada juga kecaman terhadap pemerintah di Bangkok. Tahun 2001 ketika baru mulai memerintah, Perdana Menteri Thailand, Thaksin Shinawatra, mengirim militer ke Selatan untuk menghancurkan perlawanan itu, dengan begitu memicu kekerasan yang lebih dahsyat.

Usulan Komisi Rekonsiliasi yang dibentuk atas desakan Raja Thailand tidak lazim. Sebuah pasukan tidak bersenjata, yang terdiri dari polisi, militer dan masyarakat sipil harus bertindak sebagai penengah, agar kekerasan dapat diakhiri. Banyak orang di wilayah itu yang tidak bisa berbahasa Thai dan merasa terdiskriminasi. Dialog dengan kelompok pemberontak harus segera dimulai. Begitu tertulis dalam laporan Komisi Rekonsiliasi. Selain itu harus ada peraturan khusus untuk Thailand Selatan, yang menanggapi kondisi di wilayah itu secara positif.

Apakah dalam kondisi krisis politik yang sedang dialami Thailand sekarang, sebuah solusi untuk masalah di Thailand Selatan bisa ditentukan, masih belum diketahui. Seluruh jajaran politik di Thailand memfokus perhatiannya kepada pemilu di bulan Oktober mendatang. Tidak ada yang tampak tertarik pada laporan Komisi Rekonsiliasi.