1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Layani Pasar, Brasil dan Indonesia Babat Lebih Banyak Hutan

Ajit Niranjan
19 April 2019

Naiknya permintaan pasar global atas daging dan minyak kelapa sawit mendorong pembabatan hutan pada skala besar, terutama di Brasil dan Indonesia, kata tim peneliti internasional di Swedia.

https://p.dw.com/p/3H4Qa
Indonesien Feuer
Foto: AFP/Wahyudi

Minggu yang lalu, tim peneliti internasional di Swedia menerbitkan hasil penelitiannya tentang kaitan antara perdagangan internasional dengan perubahan iklim. Penelitian itu antara lain didanai oleh Jerman, Swedia dan Norwegia.

Naiknya permintaan konsumen atas daging, keledai, minyak sawit dan bahan material kayu telah memicu penebangan hutan di berbagai kawasan untuk melayani permintaan pasar. Hak itu sudah diketahui sejak lama. Namun bagaimana kaitannya dan kuantitasnya, itulah yang diteliti para ahli.

Tim peneliti internasional dalam studi terbarunya telah mengkuantifikasi seberapa banyak permintaan di pasar dunia telah mendorong kerusakan lingkungan yang berkaitan dengan perubahan iklim.

Infografik Abholzung in den Tropen EN

Negara kaya mengimpor, negara miskin tebang hutan

Studi itu menemukan bahwa 29-39 persen karbon dioksida (CO2) yang dilepaskan melalui deforestasi didorong oleh perdagangan internasional. Di negara miskin dan berkembang, para petani dan perusahaan menebangi hutan untuk membuka lahan pertanian dan perkebunan agar dapat menanam barang-barang yang sering dikonsumsi di luar negeri.

Sedangkan di banyak negara kaya, emisi terkait deforestasi ini "diwujudkan" melalui impor makanan, minyak sawit dan material kayu yang lebih besar, yang dihasilkan oleh pertanian domestik.

"Bukan hanya konsumen di negara-negara di mana deforestasi terjadi yang menyebabkannya (deforestasi) – melainkan itu didorong oleh konsumen di tempat lain," kata Ruth Delzeit, kepala lingkungan dan sumber daya alam di Institut untuk Ekonomi Global (IWF) di Kiel.

Infografik Abholzung für Palmöl und Rind EN

Fakta itu penting untuk jika ingin menghitung emisi CO2 dan memutuskan siapa yang bertanggung jawab. Sebab sampai saat ini, cara PBB dalam menghitung emisi CO akibat produksi pertanian dan peternakan "hanya didasarkan pada laporan emisi di mana barang-barang itu diproduksi," kata Jonah Busch, kepala ekonom di Earth Innovation Institute. Contohnya di Jerman, emisi dari penanaman anggur di dalam negeri yang dianggap sebagai emisi Jerman - tetapi emisi dari margarin yang dibuat dengan minyak kelapa sawit yang diimpor dari Indonesia tidak.

Deforestasi sumber gas rumah kaca terbesar kedua

Penebangan hutan adalah rintangan utama dalam upaya untuk memperlambat perubahan iklim, kata para ahli. Karena hutan selama ini berfungsi untuk menyimpan CO2 dari atmosfer. Kenyataan bahwa produk-produk kehutanan di ekspor ke luar negeri makin menjauhkan konsumen di luar negeri dari kerusakan hutan yang terjadi dalam proses produksi barang-barang yang mereka konsumsi. Sehingga kesadaran tentang kerusakan itu rendah.

Untuk menghitung jejak karbon dari deforestasi di negara produsen, tim peneliti di Swedia menggabungkan data aliran perdagangan dengan gambar satelit perubahan penggunaan lahan dari tahun 2010 sampai 2014. Mereka mengeluarkan data-data penebangan hutan akibat kegiatan non-pertanian - seperti pertambangan, urbanisasi atau kebakaran hutan alam – dari perhitungan, untuk mendapat angka yang lebih akurat.

Selain itu para ahli menemukan bahwa di Afrika, hampir semua emisi yang terkait dengan pemusnahan hutan tetap berada di benua itu, jadi bukan untuk menghasilkan produk-produk ekspor. Tetapi di Asia dan Amerika Latin, sejumlah besar CO2 yang dilepaskan melalui pembakaran dan penebangan pohon secara efektif "diekspor" ke Eropa, Amerika Utara dan Timur Tengah.

Tanggung jawab siapa?

Kesenjangan antara di mana CO2 dikeluarkan dan di mana produk-produk yang dihasilkan itu sebenarnya dikonsumsi menimbulkan pertanyaan sulit tentang siapa yang harus bertanggung jawab.

Sebagian besar emisi deforestasi hanya berasal dari empat komoditas: kayu, daging sapi, kedelai, dan minyak sawit. Di Indonesia dan Brasil, negara dengan populasi keempat dan kelima terpadat di dunia, minyak kelapa sawit dan daging sapi punya pasar domestik yang besar. Namun ekspor produk-produk ini ke luar negeri juga memainkan peran penting.

Brasil mengekspor 1,64 juta ton daging sapi tahun 2018 menurut, data dari Asosiasi Eksportir Daging Sapi Brasil. Ini berarti kenaikan tajam sebanyak 1,48 juta ton dibanding tahun 2017. Indonesia saat ini adalah salah satu produsen minyak kelapa sawit terbesar dunia, bahan yang makin sering digunakan dalam berbagai produk yang ditawarkan di supermarket negara kaya, mulai dari produk roti hingga produk sabun.

"Minyak kelapa sawit adalah salah satu komoditas ekspor terbesar, sehingga orang dapat melacak dampak deforestasi dari perdagangan itu dan melihat dampak besarnya di Indonesia," kata Ahmad Dermawan, peneliti dari Pusat Penelitian Kehutanan Internasional CIFOR.

Selain memuntahkan emisi CO2, pembakaran dan penebangan hutan juga menyebabkan perpindahan penduduk, hilangnya habitat dan bahaya banjir. Di Indonesia dan Malaysia, lebih dari 100.000 orangutan terbunuh sejak 1999, kata sebuah penelitian yang diterbitkan tahun lalu. (hp/vlz)