1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikSuriah

Lebih dari 75% Pengungsi Suriah Alami PTSD

2 Maret 2021

Laporan Syria Relief mencatat lebih dari dua pertiga pengungsi Suriah mengalami gangguan mental. Fenomena ini sedemikian akut, dunia dikhawatirkan sedang menghadapi krisis PTSD paling besar dalam sejarah.

https://p.dw.com/p/3q3v9
Seorang bocah perempuan Suriah belajar di sebuah masjid tua di timur Idlib, Oktober 2018.
Seorang bocah perempuan Suriah belajar di sebuah masjid tua di timur Idlib, Oktober 2018.Foto: picture-alliance/dpa/A. Alkharboutli

Suatu hari jelang Idul Fitri, Ali sedang bekerja di tokonya di dekat Idlib, Suriah, ketika sebuah peluru kendali menghantam pintu masuk pasar, dan menewaskan belasan orang. "Peristiwa itu meninggalkan luka yang dalam di diri kami,” kata dia.

Hingga kini, "delapan belas kemudian, saya masih belum bisa berdamai dengan apa yang saya saksikan di sana,” kata dia seperti dikutip organisasi bantuan Inggris, Syria Relief.

Lembaga itu pada Senin (1/3) merilis studi yang menyimpulkan bahwa lebih dari 75 persen pengungsi Suriah di berbagai negara menderita gangguan mental, gangguan stres pascatrauma (PTSD).

PTSD kerap diasosiasikan dengan veteran perang yang menyaksikan atau mengalami kejadian traumatis. 

Dalam laporannya, Syria Relief menyurvey 721 pengungsi Suriah di Lebanon, Turki dan Idlib, ibu kota tentara pemberontak, dan menemukan sebanyak 84% responden menunjukkan setidaknya tujuh dari 15 gejala PTSD.

Kebanyakan mengaku digelayuti pikiran depresif, semisal bahwa peristiwa traumatis akan berulang atau mengalami stres berat ketika teringat kejadian di masa lalu. Sebagian besar juga mengakui berusaha menghilangkan bagian paling mengerikan dari ingatan.

"Saya hanya ingin berteriak”

Ingatan semacam itu terpatri pada Ali, pemilik toko yang menjadi korban serangan udara di Idlib. Desanya, Ma'arrat al Nu'man, mendapat serangan bom "bertubi-tubi, siang dan malam.” "Kami diserang berbagai jenis bom yang bisa dibayangkan, serangan udara, peluru kendali, mortir.”

Dia akhirnya mengungsi ke sebuah kamp di dekat Idlib, ketika rumahnya hancur dalam serangan bom.

Kisah serupa diceritakan Tahini, seorang ibu muda yang harus mengungsi ketika hamil di usia 15 tahun.

"Ketika kami berusaha melarikan diri, kami dihentikan di banyak pos pemeriksaan. Mereka sangat mengerikan dan kami ketakutan. Kami tidak tahu harus kemana dan hanya ingin lari dari perang. Sementara di atas kami, pesawat tempur terus menerus melancarkan serangan,” kata dia.

Tahini mengaku kerap mengalami episode akut, di mana dia tidak bisa mengendalikan tindakannya lagi. Ketika anak-anaknya sedang bermain di tenda yang mungil, "saya tanpa sadar memukul mereka, cuma karena saya benar-benar tidak tahan mendengar kebisingan mereka,” kisahnya.

Terkadang, "tekanan stres di dalam diri saya sudah sedemikian tinggi, saya tidak lagi bisa memasak. Saya takut melihat orang karena mereka akan ingin berbicara dengan saya, sementara saya cuma ingin berteriak kepada mereka.”

Taktik brutal dan tidak manusiawi

Kamp pengungsi di dekat kota Atma, provinsi Idlib, di perbatasan antara Suriah dan Turki.
Kamp pengungsi di dekat kota Atma, provinsi Idlib, di perbatasan antara Suriah dan Turki. Gambar diambil pada April 2020.Foto: picture-alliance/dpa/G. Alsayed

Saat ini sebanyak 5,5 juta pengungsi Suriah tercatat mencari suaka di kawasan Timur Tengah dan Turki. Sementara 6,1 juta warga hidup di kamp-kamp pengungsi di dalam negeri. "Ini berpotensi memicu krisis PTSD paling besar dalam sejarah manusia,” tulis Syria Relief dalam laporannya.

Provinsi Idlib yang dikenal sebagai sarang pemberontak termasuk yang paling banyak menampung pengungsi domestik Suriah. Diperkirakan, sepertiga penduduk Idlib yang berjumlah 3,5 juta orang, terpaksa mengungsi. 

Serangan terhadap provinsi di timur laut Suriah itu terkenal brutal, di mana pasukan pemerintah yang didukung Rusia dilaporkan secara sistematis membidik warga sipil. Sekolah, perumahan atau rumah sakit berulangkali menjadi sasaran serangan udara. 

Syria Relief melaporkan militer Suriah menggunakan taktik "pukulan ganda,” di mana serangan pertama diikuti serangan kedua beberapa saat kemudian, setelah tenaga bantuan dan masyarakat berkumpul untuk menolong korban. 

Menurut organisasi asal London itu, hanya dua dari 393 pengungsi di Idlib yang tidak menunjukkan gejala PTSD.

Bantuan psikologi bagi pengungsi

Syria Relief sebabnya menghimbau negara-negara internasional mengucurkan investasi tambahan untuk membantu pengungsi yang mengidap PTSD. Menurut laporan tersebut, kebanyakan korban tidak memiliki atau hanya mendapat akses terbatas terhadap layanan kesehatan mental.

Gambar di atas menunjukkan kemana pengungsi Suriah melarikan diri setelah 2015
Gambar di atas menunjukkan kemana pengungsi Suriah melarikan diri setelah 2015

Saat ini hanya 15 persen pengungsi Suriah di Lebanon mendapat perawatan mental. Sementara jumlah orang yang mendapat akses kesehatan di provinsi Idlib hanya berjumlah 1%.

"Ketika dunia sedang berkonsentrasi memerangi pandemi Covid-19, warga Suriah dibekap epidemi kesehatan mental yang diabaikan oleh dunia,” kata Othman Moqbel, Direktur Eksekutif Syria Relief.

Layanan kesehatan bagi pengungsi Suriah di Eropa dan Amerika Utara secara umum mengikuti standar yang ditetapkan Badan Kesehatan Dunia (WHO). Dalam sebuah panduan tertulis, WHO mengingatkan betapa PTSD lebih sering muncul "pada individu yang dipaksa melarikan diri atau mengungsi.”

"Efek stres bisa diminimalisir dengan layanan dasar, keamanan dan dukungan sosial” tulis lembaga PBB tersebut.

Namun bagi pengungsi di Suriah atau kawasan Timur Tengah, bantuan kesehatan adalah barang langka. Kamp-kamp pengungsi kerap tidak dilengkapi fasilitas kesehatan mental. Jika pun pengungsi mendapat bantuan, seringkali cuma berupa obat antipsikotik, tanpa terapi berkelanjutan. 

"Ada jenis kerusakan lain akibat perang brutal ini, sesuatu yang tidak bisa kita lihat, dan laporan ini membuktikan betapa masalah ini sudah mencapai level kritis,” kata Othman Moqbel. (rzn/vlz)

Berita ini dirangkum dari studi Syria Relief berjudul "The Destruction You can't see” tentang gangguan stres pascatrauma (PTSD) di kalangan pengungsi Suriah.