1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Libya dan Suriah Miliki Banyak Kesamaan

26 April 2011

Libya dan Suriah kini menjadi negara yang tidak disenangi di kawasan Arab.

https://p.dw.com/p/114B0
This video image taken from amateur video released by Sham News Network, a Syrian Freedom group, shows a tank in the Daraa, Syria Monday April 25, 2011. An eyewitness says at least five people have been killed in the southern Syrian city of Daraa during a security crackdown. Syrian troops in armored vehicles and tanks stormed the southern town of Daraa early Monday and opened fire. It was the latest bloodshed in a five-week uprising against President Bashar Assad's authoritarian regime. (Foto:Sham News Network via APTN/AP/dapd) AP HAS NO WAY OF INDEPENDENTLY VERIFYING THE AUTHENTICITY OF THIS VIDEO
Tank Suriah serbu kubu pembangkang di Daraa.Foto: dapd

Situasi di Libya dan Suriah tetap menjadi topik komentar dalam tajuk harian-harian internasional.

Harian liberal Austria Der Standard dalam tajuknya berkomentar : Libya dan Suriah merupakan dua negara yang memerangi paling brutal para pembangkang di negaranya. Kedua negara itu tidak hanya memiliki kesamaan dipimpin rezim yang represif. Melainkan juga memiliki kesamaan, tidak disenangi di kawasan tsb. Sebagai pembandingnya adalah Arab Saudi, sebuah negara yang diperintah secara diktatur. Tapi di kawasan bersangkutan sangat dihormati dan bersahabat dengan barat. Di Libya dan Suriah hal itu juga tergantung pada personal di puncak kekuasaan. Dalam sejarah panjang kekuasaan Muammar al Gaddafi, kemungkinan tidak ada negara Arab yang tidak pernah berselisih dengannya. Tapi paling tidak, Gaddafi memulai sendiri revolusinya. Sebaliknya, Bashar al Assad mendapat warisan kekuasaan serta sikap menggurui dari ayahnya. Bagaimanapun juga ia tidak banyak menuai penghormatan.

Harian Luxemburg Luxemburger Wort berkomentar, di Suriah berlaku peribahasa, apel tidak jatuh terlalu jauh dari pohonnya. Sama seperti ayahnya, Bashar al Assad juga melancarkan aksi kekerasan berdarah terhadap rakyatnya sendiri. Sejumlah tokoh oposisi meninggal akibat kekerasan militer. Namun tidak terlihat pertanda, Bashar al Assad sementara ini akan mengendurkan aksinya. Hal itu tentu saja memicu pertanyaan, apakah masyarakat internasional selain membom Libya, juga akan menyerang Suriah. Namun, tidak ada yang ingin tangannya terbakar dengan menyerang Suriah, karena situasi di negara itu amat sulit. Siapa yang akan naik ke puncak kekuasaan jika Bashar al Assad digulingkan? Dan bagi Uni Eropa situasi di Suriah merupakan peluang berikutnya untuk memoles citranya, dengan bersikap pasif dan silang sengketa internalnya.

Sementara harian Spanyol El Mundo dalam tajuknya berkomentar : Tidak ada yang dapat membantah, bahwa rezim di Suriah membantai rakyatnya sendiri. Ini paralel dengan kekejaman serupa di Libya. Tapi sekarang masyarakat internasional bungkam. Tidak ada satupun negara yang bersedia menggerakan satupun jarinya. Hal itu menunjukkan, barat memiliki standar ganda. Presiden Suriah, Bashar al Assad tahu persis, bahwa rezimnya dalam kemelut konflik Timur Tengah memiliki posisi kunci. Barat dan Israel kini tutup mata, dan berharap Damaskus dapat mengendalikan suasana. Tapi warga Suriah sudah dapat mengatasi ketakutannya. Barat tidak boleh mengabaikan mereka.

Terakhir harian Belanda de Volkskrant mengomentari situasi aktual dalam konflik Libya. Diharapkan, serangan udara NATO ke pusat komando di sebuah tempat tinggal Gaddafi merupakan sinyal yang disadari, bahwa aliansi pertahanan ini tidak ragu-ragu, untuk menyerang langsung ke jantung rezim. Hal itu dibutuhkan dengan amat mendesak. Menimbang sikap NATO dalam pengepungan untuk menghancurkan kota Misrata amat mengecewakan. Dapat dimengerti, jika presiden AS, Barack Obama tidak mau terlibat perang ketiga, dan karenanya menyerahkan pimpinan kepada Inggris dan Perancis. Akan tetapi, dengan Amerika Serikat yang hanya memainkan peranan sampingan yang kecil, kelihatannya NATO tidak memiliki daya pukul cukup kuat, yang diperlukan untuk menggempur drastis rezim di Libya.

Agus Setiawan/dpa/afp

Editor : Dyan Kostermans