1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Libya Makin Panas

22 Februari 2011

Memasuki pekan kedua perlawanan rakyat di Libya, eskalasi kekerasan semakin terpusat di ibukota Tripoli. Di Bengazhi yang menjadi pusat awal pergolakan, dilaporkan telah dikuasai kelompok penentang pemerintah.

https://p.dw.com/p/10Ld7
Demonstran di kota BengazhiFoto: picture alliance/dpa

Berbagai saksi mata melaporkan, pesawat tempur membombardir sejumlah tempat di ibukota. Sebagian lain mengatakan, para serdadu yang ditempatkan di Tripolis menembaki massa dengan senjata otomatis dan artileri. Sebaliknya para demonstran yang mengamuk membakar gedung televisi dan radio pemerintah, kantor polisi, gedung parlemen serta kantor pusat Komite Revolusi. Belasan bank dan gedung-gedung publik habis dijarah massa. Menurut keterangan saksi mata, sampai Senin sore (21/02) sudah jatuh sedikitnya 60 korban jiwa akibat bentrokan di Tripoli. Kebenaran informasi tersebut sulit dikukuhkan karena pemerintah Libya sudah mengusir seluruh wartawan asing.

Sementara itu, kota terbesar kedua di Libya, Bengazhi, yang menjadi pusat awal pergolakan, dilaporkan telah dikuasai kelompok penentang pemerintah. Para demonstran membakar gedung-gedung pemerintahan dan kantor kepolisian serta menduduki markas besar militer di kota tersebut. Warga kota melaporkan, massa menjarah toko dan gudang senjata polisi.

Sebagian besar diplomat-diplomat Libya yang ditempatkan di Perserikatan Bangsa Bangsa telah menyebrang ke kelompok oposisi. Mereka mengecam tindakan brutal pemerintah terhadap para demonstran. Wakil Duta Besar Libya untuk PBB, Ibrahim al-Dabbashi, menuding Muammar Gadaffi melakukan genosida terhadap rakyatnya sendiri. "Ini adalah genosida, entah itu di kota-kota di timur atau seperti yang kini terjadi di Tripoli. Informasi yang kita dapat dari penduduk adalah bahwa rejim ini membunuh siapapun yang turun ke jalan. Gadaffi menempatkan pasukannya di semua ruas jalan. Dan di manapun mereka menjumpai demonstran, mereka membunuhnya. Saya kira ini adalah pertama kalinya dalam sejarah bahwa pemimpin negara menembaki rakyatnya sendiri yang berdemonstrasi secara damai. Saya kira putra Gadaffi telah menyatakan perang terhadap rakyat Libya."

Pemerintah Libya hingga kini masih kukuh berusaha mempertahankan kekuasaan Muammar Gaddafi hingga penghabisan. Putra sang pemimpin revolusi, Saif al-Khadafi, dalam pernyataannya di televisi pemerintah hari Minggu malam (20/02) mengancam, pertumpahan darah di Libya akan juga berdampak bagi dunia internasional. "Kita semua bersenjata, militer dan juga para penduduk. Kita akan menangisi ratusan ribu korban jiwa. Akan banyak darah yang tumpah - warga akan melarikan diri. Tidak akan ada pengeboran minyak lagi dan semua perusahaan asing akan meninggalkan Libya. Dalam tempo sehari tidak akan ada minyak lagi."

Ancaman perang saudara di Libya bisa dipastikan bukan cuma sekedar isapan jempol belaka. Hari Senin (21/02), dua klan yang paling berpengaruh di negara itu, Al-Warfalla dan al-Zuwayya, menyatakan bergabung dengan barisan oposisi. Gaddafi selama ini menyandarkan kekuasaannya kepada klan-klan terbesar di negara itu. Mereka mengisi berbagai jabatan tinggi di militer dan di tubuh pemerintahan. Berbagai pakar menulis, loyalitas terhadap klan dan keluarga bagi perwira militer lebih penting daripada perintah Gaddafi . Sekarang saja sejumlah anggota militer telah menyebrang ke barisan oposisi. Hari Senin (21/02), dua perwira angkatan udara Libya dilaporkan mendarat di Malta dan meminta suaka politik.

Kutukan dan kecaman juga mengalir dari dunia internasional terhadap pemerintah Libya. Di antaranya Italia yang merupakan sekutu terdekat Gaddafi di Eropa, Perdana Menteri Silvio Berlusconi menyebut tindakan brutal aparat keamanan sebagai sesuatu yang "tidak bisa diterima." Berlusconi mengimbau dunia internasional untuk melakukan segala sesuatu agar tidak terjadi perang saudara di Libya.

Sementara itu di pekan ke dua kerusuhan di Libya, harga minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) merangkak menjadi 93 US Dollar per barrel. Sementara minyak jenis Brent melonjak menjadi 105 US Dollar per barel. Lonjakan ini merupakan yang tertinggi sejak krisis keuangan global 2008 lalu. Kenaikan tersebut diantaranya terdorong oleh ancaman sejumlah klan-klan berpengaruh di Libya untuk menghentikan paksa produksi minyak di wilayah mereka, jika Gaddafi tidak mengundurkan diri.

Menurut Dora Borbely, Analis pasar minyak di Deka Bank , selambatnya akhir pekan lalu Libya telah menjadi pusat perhatian pasar internasional. "Pasar minyak mengamati betul situasi di Libya. karena negara itu memproduksi dua persen dari minyak dunia. Jumlah itu dua kali lipat lebih besar dari Mesir. Dan bersama Aljazair, Afrika Utara memproduksi lebih dari lima persen kebutuhan dunia. Jumlah tersebut relatif besar dan sebab itu kita melihat lonjakan harga jenis minyak Eropa, Brent."

Rizki Nugraha/dpa/rtr/afp

Editor: Ging Ginanjar