1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
EkonomiGlobal

5 Ancaman Perekonomian Global 2022

Ashutosh Pandey
1 Januari 2022

Banyak yang berharap 2022 akan menjadi tahun pemulihan ekonomi global dari pandemi COVID-19. Tetapi ada lima ancaman besar yang bisa menghambat perekonomian nasional maupun internasional. Apa saja?

https://p.dw.com/p/4529C
Pelabuhan peti kemas di Inggris
Foto ilustrasi rantai pasokan globalFoto: Gareth Fuller/empics/picture alliance

Dari bulan Oktober sampai Desember, berbagai organisasi ekonomi global, termasuk Dana Moneter Internasional IMF dan Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan OECD, merevisi prediksi prospek ekonomi 2022.

Munculnya varian omicron, rantai pasokan yang masih terhambat dan ketegangan regional yang terus berlangsung membuat para ahli harus menurunkan prediksi pertumbuhan ekonomi yang dibuat beberapa bulan sebelumnya.

Di banyak negara geliat ekonomi sudah terasa dan menunjukkan perkembangan positif. Namun para ahli memperingatkan perlunya meredam pandemi Covid-19 dengan vaksinasi luas dan penerapan aturan-aturan mendasar, seperti menjaga jarak dan memakai masker. Tapi pandemi corona bukan satu-satunya ancaman bagi pemulihan ekonomi. Inilah 5 potensi ancaman perekonomian global pada tahun yang baru:

1. Munculnya Varian COVID yang kebal vaksin

Munculnya varian omicron yang pertama kali dilaporkan di Afrika Selatan pada bulan November sempat mengguncang pasar keuangan. Kepanikan melanda pasar bursa karena data-data tentang omicron belum terlalu jelas. Ketika para ilmuwan terus menganalisis data dan menyampaikan bahwa omicron memang lebih menjalar namun kemungkinan besar tidak menyebabkan penyakit parah seperti varian Delta, kepanikan mulai mereda. Selama minggu-minggu pertama tahun 2022, investor dan pelaku ekonomi akan mengikuti dengan cermat temuan-temuan baru soal omicron. Yang pasti, informasi tentang munculnya varian berbahaya bisa menyulut reaksi pasar dalam sekejap.

Pusat kota Rotterdam, 19 Desember 2021
Penyebaran omicron memaksa otoritas Belanda menerapkan lockdown baru. Suasana di pusat kota Rotterdam, 19 Desember 2021Foto: Abdullah Asiran/Anadolu Agency/picture alliance

Para ahli kesehatan memperingatkan, jika pandemi dibiarkan berkecamuk di satu wilayah, maka hal itu bisa mempercepat munculnya varian COVID yang makin kebal terhadap vaksin. Jika hal itu terjadi, artinya akan makin banyak penguncian maupun pembatasan harus dilakukan, dan ekonomi bisa mandek lagi.

"Jika COVID-19 memiliki dampak yang berkepanjangan dalam jangka menengah, itu dapat mengurangi PDB global dengan kumulatif 5,3 triliun dolar selama lima tahun ke depan," kata Kepala Ekonom IMF Gita Gopinath bulan Oktober lalu. Karena itu dia mengatakan bahwa kebijakan utama yang harus diprioritaskan adalah memastikan bahwa 40% dari populasi di setiap negara sudah mendapat vaksinasi sampai akhir 2021, dan 70% sampai pertengahan 2022.

2. Gangguan rantai pasokan

Gangguan rantai pasokan bahan mentah telah memainkan peran kunci dalam menghambat pemulihan ekonomi global tahun 2021. Ini termasuk gangguan pengiriman barang dan kelangkaan peti kemas untuk pengiriman. Lonjakan permintaan secara mendadak terjadi ketika lockdown dicabut hampir bersamaan di berbagai wilayah membuat produsen berlomba-lomba untuk mendapatkan komponen dan bahan baku. Situasi itu memicu kenaikan harga komponen.

Sektor otomotif termasuk yang paling terpukul. Produksi mobil di banyak tempat di Eropa harus dihentikan beberapa kali, termasuk di Jerman. Meskipun ada tanda-tanda bahwa kelangkaan komponen dan bahan mentah mulai berkurang, para ahli tetap memperingatkan bahwa situasinya bisa kembali memburuk sewaktu-waktu.

"Kami berharap situasinya akan membaik tahun 2022 – dan kapasitas transportasi laut bisa pulih pada 2023,” kata Frank Sobotka, direktur pelaksana di perusahaan transportasi dan logistik DSV Air & Sea Germany kepada DW.

3. Lonjakan Inflasi

Kekurangan bahan baku dan komponen, seiring dengan harga energi yang terus naik, telah  mendorong inflasi di Eropa dan Amerika Serikat ke level tertinggi. Hal ini sempat membuat para investor global cemas. Bank Sentral Eropa ECB menerangkan, kenaikan harga didorong oleh faktor-faktor sementara seperti kekurangan pasokan, harga energi yang lebih tinggi dan efek dasar. Frank Sobotka memperkirakan bahwa inflasi akan mereda lagi setelah efek ketidakseimbangan permintaan dan penawaran global mereda.

Pabrik Volkswagen (VW) di Jerman timur
Mandeknya rantai pasokan memaksa perusahaan mobil di Jerman menghentikan produksi untuk sementaraFoto: Matthias Rietschel/dpa/picture alliance

Di Amerika Serikat, inflasi diperkirakan akan tetap tinggi, karena pemulihan ekonomi berlangsung cepat, dbarengi dengan program stimulus fiskal besar-besaran. Bank Sentral AS The Fed sekarang mengatakan akan mengurangi program stimulus secara bertahap. The Fed juga mengisyaratkan akan ada kenaikan suku bunga pada tahun 2022.

4. Kebijakan ketat di Cina

Melambatnya perekonomian Cina, ekonomi terbesar kedua di dunia, tentu akan menambah kekhawatiran investor pada 2022. Tahun 2020, Cina masih bisa menopang perkembangan perekonomian global dengan mendorong pembelian barang-barang elektronik dan peralatan medis. Cina adalah satu-satunya perekonomian dunia yan g menunjukkan pertumbuhan pada 2020. Namun belakangan ini, Cina tiba-tiba memperketat pengawasan kepada perusahaan-perusahaan maupun pengusaha yang sukses besar, seperti raksasa teknologi Alibaba dan Tencent. Di lain pihak, kasus raksasa properti Evergrande yang terlilit utang besar dan praktis bangkrut hanya dalam hitungan hari, membuat pemerintah Cina ingin tetap mengendalikan perusahaan-perusahaan swasta dan mengawasinya dengan ketat. Namun jika negara itu terus memperketat pengawasan, situasi itu malah bisa berdampak buruk bagi kreativitas dan dinamika sektopr swasta, yang selama ini jadi andalan pertumbuhan ekonomi dan daya saingnya di pasat globalsemangat. Yang jelas, kalau perekonomian Cina oleng, dampaknya akan terasa di seluruh dunia.

5. Ketegangan geopolitik

Dunia tidak hanya sedang mengalami dua krisis besar, yaitu krisis pandemi dan krisis iklim, melainkan juga menghadapi ketegangan politik yang belakangan makin meruncing. Pengerahan puluhan ribu pasukan Rusia di kawasan perbatasan ke Ukraina mengingatkan dunia ke masa-masa Perang Dingin yang memecah Eropa menjadi dua blok militer. Washington telah memperingatkan Moskow agar tidak menginvasi Ukraina dan mengancam akan membalas dengan sanksi yang luas dan masif. Tapi di Uni Eropa (UE) sendiri, belum ada kesepakatan tentang apa yang perlu dilakukan. Beberapa negara anggota UE, terutama yang pernah berada di bawah pengaruh Uni Soviet dulu, menuntut langkah yang lebih tegas terhadap Rusia. Sementara Jerman bersikap lebih hati-hati dan tidak ingin ada konflik terbuka dengan Vladimir Putin.

Selain Rusia, sikap Cina dalam sengketa tentang status Laut Cina Selatan juga makin keras. Cina beberapa kali mengerahkan pesawat militernya memasuki wilayah udara Taiwan sambil mengancam semua negara yang membuka hubungan diplomasi dengan negara pulau itu. Di lain pihak, AS berulangkali menegaskan kewajibannya untuk mendukung Taiwan, jika negara kecil itu diserang. Pertikaian AS-Cina membuat negara-negara di Asia Tenggara gelisah. Setiap konflik militer bisa mengganggu upaya pemulihan ekonomi di kawasan itu. Beberapa bulan belakangan, AS dan Cina mengirim pejabat tingginya berkeliling Asia untuk memperluas pengaruh geopolitiknya. Pengumuman AS untuk memboikot Olimpiade Musim Dingin di Beijing yang rencananya akan berlangsung Februari mendatang menambah ketegangan. Cina sendiri sudah mengancam bahwa AS dan siapa saja yang mengkuti langkahnya akan "membayar harga mahal" atas keputusannya.

(hp/yp)