1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Lukisan Gua Tertua di Sulawesi Berusia 44 Ribu Tahun

12 Desember 2019

Pusat Penelitian Arkeologi Nasional bersama Griffith University menemukan lukisan gua tertua di dunia yang terdapat di Sulawesi, Indonesia. Lukisan tentang perburuan ini membuktikan kecerdasan manusia 44 ribu tahun lalu.

https://p.dw.com/p/3UgjY
Indonesien | Vermutlich älteste Jagd-Malerei entdeckt
Foto: picture-alliance/dpa/Griffith University/Ratno Sardi

Lukisan tentang aktivitas perburuan manusia terhadap babi dan anoa, yang diyakini berusia 44 ribu tahun mengejutkan banyak pihak. Penemuan ini memberi pengetahuan baru tentang awal mula pemikiran manusia modern.

Arkeolog pra sejarah yang membidangi cadas atau rock art, Cecep Eka Permana mengatakan bahwa yang unik dari penemuan ini adalah bagaimana manusia purba pada 44 ribu tahun lalu, mampu menggambarkan lukisan secara detail. Artinya ada tingkat kecerdasan luar biasa yang dimiliki oleh manusia purba tersebut.

“Dalam masa pra sejarah belum ada pendidikan tapi orang sudah bisa membuat gambar yang tepat, gambar babi, anoa dan orang. Itu sebuah pengetahuan luar biasa masa itu,” ujar Cecep.

Lantas siapa manusia purba penggambar lukisan gua tersebut?

Bisa jadi manusia pra Austronesia

Dalam beberapa tahun terakhir, penemuan lukisan tua di gua-gua Indonesia menunjukkan tren penemuan lukisan yang semakin tua. Pada tahun 2014 lukisan tua ditemukan di Maros, Sulawesi. Kemudian pada tahun 2018 lukisan gua berusia antara 9 hingga 14 ribu tahun juga ditemukan di Kalimantan.

Cecep meyakini masih ada lukisan-lukisan gua lainnya yang berusia jauh lebih tua.

“Kalau kita mengacu penelitian lain misalnya mitokondria dari yayasan Eijkman, itu manusia sejenis itu memungkinkan sampai 75 ribu tahun lalu,” jelasnya kepada DW Indonesia.

Peneliti perlu mencari tahu siapa manusia penggambar lukisan tersebut. Pasalnya selama ini, penemuan rangka manusia yang ada di gua-gua Indonesia menunjukkan bahwa usia manusia purba masih di bawah 40 ribu tahun.

Kepada DW Indonesia, Cecep menjelaskan bahwa dalam diskusi para ahli tentang arkeologi, banyak yang meragukan kehadiran manusia purba berusia 44 ribu tahun lalu. Beberapa berpendapat, manusia Austronesia hanya berasal dari 4-5 ribu tahun lalu.

“Kalau itu Austronesia, artinya yang menggambar lukisan ini adalah manusia pra Austronesia, tapi masalahnya siapa itu pra Austronesia?” ujarnya.

Dalam beberapa kali penelitiannya di gua-gua Indonesia, Cecep menceritakan bahwa bisa saja gua itu memang tidak digunakan sebagai tempat hunian namun sebagai kegiatan ritual. Dalam hal ini konteks ritual manusia purba tersebut tentang perburuan.

Indonesien | Vermutlich älteste Jagd-Malerei entdeckt
Lukisan gua tertua di Sulawesi, Indonesia.Foto: picture-alliance/dpa/Griffith University/Ratno Sardi

Bantah lukisan cap tangan sebagai yang tertua

Selama ini banyak penelitian yang menyebut bahwa gambar cap tangan manusia sebagai yang tertua. 

“Dulu dianggap representasi aktivitas religi manusia gua itu dengan membuat cap-cap tangan. Asumsinya gambar tangan itu paling mudah dibuat, dia tinggal taruh tangannya di gua lalu disemprotkan,” jelasnya.

Namun lukisan yang menggambarkan konteks perburuan ini dianggap mencengangkan, karena dalam ilmu pengetahuan filsafat membutuhkan manusia dengan pengetahuan yang luar biasa untuk bisa menggambar hal semacam ini. 

Bahkan dalam ilmu arkeologi dikenal istilah theriantrophy, yakni penggambaran gabungan antara wujud manusia dan binatang. Lukisan-lukisan ini menunjukkan bahwa manusia purba mampu melukiskan hal-hal yang di luar nalar dan kepercayaan manusia pada zaman itu.

“Dia menggambarkan makhluk yang adikodrati yang mempunyai kekuatan sehingga bisa menggambarkan makhluk yang disebut teriantrop. Orang itu adalah penduduk yang ada di nusantara ini,” jelasnya kepada DW Indonesia.

Peradaban Eropa dan nusantara berkembang bersama

Meski saat ini menjadi yang tertua, penemuan lukisan 44 ribu tahun ini tidak serta merta menjadikannya sebagai awal mula peradaban manusia. Cecep menjelaskan bahwa peradaban manusia tidak berkembang secara linier. Peradaban manusia di berbagai wilayah di dunia berkembang secara bersamaan di satu waktu dan di berbagai tempat.

“Kalau kita lihat objeknya di Eropa kan gambarnya berbeda. Yang tertua misalnya di Prancis dan Spanyol, gambar objeknya ada yang kuda dan terlihat lebih realistis dengan ukuran penggambaran seni rupanya,” jelasnya.

Namun di Indonesia, jenis hewan yang digambarkan lebih kepada hewan endemik, seperti anoa di Sulawesi. Sedangkan di Eropa, hewan yang digambarkan adalah gajah berbulu lebat, yakni Mammoth. Artinya peradaban manusia purba tidak berkembang secara linier, mereka tersebar di Eropa dan Nusantara, serta berkembang secara bersama-sama.

Gua bersejarah tidak diurus

Hanya saja Cecep menyayangkan sikap pemerintah yang kurang melestarikan situs-situs gua seperti ini. Dalam beberapa kali penelitiannya di gua-gua Indonesia, penemuan semacam ini tidak dilestarikan dengan baik.

“Saya bolak-balik ke Makassar itu, gua Timpuseng yang tertua di Maros itu tidak terawat sama sekali bahkan tidak ada perhatian sedikit pun bahwa ini adalah gua yang tertua di dunia lho,” jelasnya.

Padahal penemuan macam ini tidak bisa hanya diproklamirkan saja, namun perlu dijaga. Bisa juga dijadikan tempat wisata agar tidak hanya orang-orang tertentu saja yang mengetahuinya.

“Sehingga orang mengunjungi tempat itu juga nyaman dan menimbulkan kebanggaan. Bukankah tujuan pariwisata selain rekreasi itu menambah pengetahuan? Bahwa kita memiliki sesuatu yang luar biasa,” jelasnya.

Ia mengharapkan ada tindak lanjut dari pemangku kebijakan terkait, salah satunya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (pkp/hp)