1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Kebebasan PersAsia

Wajibkan Lisensi Video, Malaysia Sulut Amarah Netizen

25 Juli 2020

Sebagai reaksi atas film dokumenter Al Jazeera, pemerintah Malaysia mewajibkan lisensi bagi semua video. Sontak kecaman pengguna Tik Tok dan YouTube berhamburan. Kini Kementerian Komunikasi meralat kebijakan tersebut.

https://p.dw.com/p/3fsH0
China App TikTok
Foto: picture-alliance/dpa/Da Qing

Kisruh seputar film dokumenter tentang penderitaan buruh migran di Malaysia yang dirilis Al Jazeera berbuntut panjang. Usai mengaktifkan UU Perfilman 1981 yang mewajibkan permohonan lisensi untuk pembuatan karya video, kini Kementerian Komunikasi harus ambil langkah mundur menyusul hujan kecaman dari pengguna media sosial. 

Kisruh berawal ketika Menteri Komunikasi Saifuddin Abdullah mewajibkan semua video harus dilengkapi lisensi pemerintah sebelum dipublikasi, Selasa (21/7). Tapi tanpa revisi, regulasi yang diniatkan untuk menyensor pemberitaan miring itu juga secara otomatis menyasar pengunggah video di kanal media sosial. 

Buntutnya Saifuddin jadi sasaran amarah netizen. Kini dia memutar balik kebijakan pemerintah. “Kami ingin menekankan pemerintah memegang teguh prinsip kebebasan media dan kebebasan individu di media sosial,” kata dia, Jumat (24/7).  

“Pengguna media sosial bebas menggunakan platform seperti Tik Tok, YouTube dan kanal lain untuk memproduksi dan mengunggah video tanpa perlu meminta lisensi atau khawatir dipersekusi.” 

Namun pernyataannya itu lebih dibuat untuk meredakan amarah pengguna medsos yang mencapai 80% dari populasi yang berjumlah 32 juta orang. Dia menolak merinci apakah media membutuhkan izin untuk membuat laporan dokumenter atau memproduksi konten berita video untuk publikasi online. 

Arus balik kebebasan pers 

Baru pada April silam organisasi Reporter Lintas Batas (RSF) menempatkan Malaysia 22 posisi lebih baik dalam Indeks Kebebasan Pers di dunia. Namun pergantian kekuasaan di bulan Maret perlahan mengubah lanskap media di negeri jiran itu. 

Aliansi reformis yang dipimpin Perdana Menteri Mahathir Mohamad ambruk Februari lalu usai Parti Pribumi Bersatu Malaysia undur diri dari koalisi, dan bergabung dengan Barisan Nasional, partai bekas PM Najib Razak. Mahahthir digeser rekan seperjuangannya, Muhyiddin Yassin, yang dilantik 1 Maret silam

Sejak itu Malaysia aktif menggeruduk kebebasan media. Selain Al Jazeera, pemerintah juga menyeret situs berita Malaysia Kini ke pengadilan seputar komentar pembaca yang menuding pengadilan terlibat tindak korupsi. 

Perdana Menteri Malaysia, Muhyiddin Yassin.
Perdana Menteri Malaysia, Muhyiddin Yassin.Foto: picture-alliance/AP Photo/J. Lee

“Isu ini akan memicu efek takut tidak hanya terhadap Malaysia Kini, tetapi juga media lain,” kata Pemimpin Redaksi Steven Gan, yang juga didakwa dalam kasus yang sama. 

Kasus Al Jazeera juga ditanggapi secara dramatis oleh pemerintah. Pada 10 Juli lalu polisi memanggil para wartawan yang terlibat dalam pembuatan film dokumenter “atas dugaan penghasutan, pencemaran nama baik dan pelanggaran UU Komunikasi dan Multimedia,” tulis Kepolisian di Kuala Lumpur. 

Menteri Pertahanan Ismail Sabri Yaakob menuntut Al Jazeera meminta maaf karena menurutnya sudah menyebut bangsa Melayu sebagai “rasis.” Dan Menteri Komunikasi Saifuddin juga mengancam bakal mencabut izin lisensi untuk kantor berita asal Qatar tersebut. 

Polisi juga menginterogasi seorang jurnalis harian Hong Kong, South China Morning Post, lantaran laporan yang sama, perihal nasib buruh migran di Malaysia di tengah wabah corona. 

Al Jazeera dalam bidikan 

Amarah pemerintah tersulut perihal sebuah laporan dalam film dokumenter tersebut yang menampilkan bagaimana buruh migran di Malaysia diburu dan dikurung di dalam kamp isolasi atas alasan penerapan karantina. Kondisi ini sudah pula diperingatkan oleh PBB terhadap pemerintah Malaysia, Mei silam. 

Beberapa hari berselang, netizen pro pemerintah menggalang aliansi bernama Bawang Army yang melancarkan kampanye anti Al Jazeera di media sosial. Presenter “Malaysia Petang, Herleena Pahlavy, di stasiun televisi Bernama, ikut menganjurkan agar nama Al Jazeera diganti menjadi “al-Jahiliyah” atau kebodohan dalam bahasa Arab. 

“Saya Leena Pahlavy. Al Jazeera, Anda tutup mulut,” pungkasnya dalam siaran tertanggal 6 Juli tersebut, seperti dilansir situs berita, Free Malaysia Today. 

Pun ketika memrotes penerapan UU Perfilman 1981 di media sosial, vlogar kondang Malaysia, Jin Lim, mengaku bisa “memahami” kebutuhan akan produk perundangan “terhadap pencemaran nama baik,” tuturnya saat membela industri pembuat konten digital agar tidak dikenakan kewajiban lisensi.  

Muhyiddin “pertaruhkan reputasi” Malaysia 

Kasus Al Jazeera dinilai menjadi catatan hitam kebebasan pers di Malaysia. Dalam rilisan teranyar, The Centre for Independen Journalism, sebuah organisasi pemantau kebebasan pers, mengingatkan Perdana Menteri Muhyiddin agar “tidak bersekongkol dengan upaya membatasi hak atas informasi.” 

Tindak tanduk pemerintah dinilai “mengancam reputasi negara di level internasional,” dan sebabnya diminta “menghentikan semua langkah intimidatif untuk mengancam atau menghukum media dan memberangus pandangan berlawanan,” tulis organisasi yang bermarkas di Kuala Lumpur tersebut. 

Hal senada dikatakan pemimpin oposisi, Anwar Ibrahim. Dia mengritik aturan izin lisensi “merupakan perkembangan yang membahayakan, di tengah serangan terhadap media, termasuk Al Jazeera,” kata dia seperti dilansir kantor berita AP. Perdana Menteri Muhyiddin, kata dia, sedang berupaya membungkam suara kritis. 

Rzn/yp (rtr, afp, ap, freemalaysiatoday, scmp)